Kabut pagi menyelimuti punggung perbuktian bersama ribuan cemara yang terbangun oleh sapuan sang surya. Tak seekor pun kicauan burung menemani. Mungkin di ketinggian lebih dari 2000 mdpl ini, tidak ada satupun bangsa Aves sudi bersemayam. Tapi sublimasi H2O menari sempurna bersama semburan CO2 dari setiap desahan nafas.
Konon, kata sebuah legenda, inilah tempat para dewa bersemayam. Waktu yang seakan terhenti oleh alam, kebisingan yang sudah dilumat warna hijau dan identitas diri yang terungkap keasliannya. Di sinilah cerita dimulai, di bawah negeri para dewa. Arjuna de Montagne.
Arloji di tangan sudah menunjukkan jam 5 sore. Sementara hujan yang sudah kita terjang dari jam 3 tidak kunjung reda. Justru kabut tebal menyeruak memenuhi segala penjuru. Dalam radius tiga meter saja, tak satu pun benda bisa kita lihat. Cahaya matahari pun lamat-lamat menghilang, beberapa kali petir terjun di punggung gunung Arjuno.
Kita, sembilan orang (Syani, Mila, Ugi, Nivita, Dio, Arsy, Bibil, Bondan dan Saya) masuk ke dalam gubung kecil. Hujan menjelang malam dicampur kabut dan deruan angin membuat beberapa dari kita ada yang menggigil. Pelan-pelan, gubuk kami pun dipenuhi kabut putih tebal. Saya hanya telentang di atas jerami tanpa mengoceh sama sekali dan lebih sering merenung.
Di sebuah gubuk, hujan deras, tidak ada penduduk, tidak ada pendaki lain, jarak pandang menipis, menjadikan sebuah situasi yang benar-benar pertama saya alami. Kadang saya ingin memberitahukan isi hati kepada alam, "berapa banyak rahasia kehidupan yang kau simpan dalam dirimu?"
Menjelang jam 6, hujan mulai menipis. Tersisa secuil mega merah di langit dan headlamp mini yang bisa menerangi sisa perjalanan kami. Bermodal nekad, kita lanjutkan perjalanan menuju pos terakhir sebelum malam benar-benar kelam sempurna. Syani, sebagai ketua perjalanan mencari track, dan kita? Memegang tali pramuka bersama agar tidak ada yang tertinggal atau sengaja meninggalkan diri sendiri (ini gueh banget).
Hujan masih menderu, jalan yang kita lalui pun berubah menjadi selokan. Pos terakhir, tanjakan paling ekstrem, dan benar-benar gulita sempurna. Jatuh, kepleset, keprosot, ngos-ngosan beradu sengak dengan suara petir di atas kita. Tak banyak bercanda di perjalanan terakhir ini, semua hanya bertanya: kapan perjalanan ini bisa berakhir? Dimanakah pos terkahir?
Kepasrahan total nyaris bertemu dengan keputusasaan. Sudah sejam kita berjalan, padahal menurut pendaki lain hanya 20 menit. Apakah kita nyasar? Saya sendiri tidak pernah terlintas jika perjalanan perdana mendaki gunung ini harus berakhir dengan nyasar di malam hari pada ketinggian lebih dari 2000 mdpl, dan hujan. Entah apa jadinya.
Tapi itulah naluri manusia, terlalu sering menjadi realistis, padahal ada kejutan sudah menanti beberapa langkah di depannya. Diselingi suara anjing yang mengaum, ada lampu pendaki lain yang mengarahkan kita ke lokasi pos 5 yang gelap gulita. Akhirnya kita mencapai pos 5!
Ternyata sudah ada puluhan pendaki yang sudah tidur nyenyak di gubuk pos 5. Di sampingnya, bangunan tua yang nampak suram dan seram menyembul paling megah. Belasan anjing menggogong yang membuat suasana makin mistis. Namun ternyata semua anjingnya jinak, bahkan bisa dielus-elus layaknya kucing.
Selamat pagi, Indonesia!
Pagi ajaib. Saya optimis pagi ini seluruh badan saya, terutama kaki, akan mengalami njarem-isasi massal. Ternyata salah besar, pagi hari ini saya sehat walafiat. Yah, walaupun saya ditinggal anak-anak ke air terjun. Eh, lihat air terjun atau lihat orang mandi (dan telanjang massal?) Hahaha
Pagi-pagi kita langsung kecanduan selfie. Itulah penyakit mental orang kota. Setiap perjalanan hanya bernilai di atas foto saja, mejeng sana sini, upload sosmed, dan sejenisnya. Dan itu sangat menggelikan juga memprihatikan. Terlalu banyak foto yang kita ambil dari sudut pandang yang sama. Suatu saat nanti, studio photo pasti akan pindah ke alam, juga ke gunung asli. Maybe.
Selanjutnya kita bingung dengan tenda. Ya, ini menjadi kegelian kita selanjutnya. Padahal kita sudah sewa tenda mahaal banget, tapi tak terpakai. Jadilah kita mendirikan tenda di depan gubung, memasak di depan tenda dan berselfie ria di situ. Padahal itu hanya manipulatif hahaha
Tenda menjadi semacam perangkat photo studio yang bawa dan dipasang di atas tanah yang seharusnya itu adalah jalanan, haha. Tapi tak apalah, karena kita semuanya masih newbie dalam kisah perjalanan pendakian ini. Walaupun saya tidak terlalu suka dengan selfie, tapi saya turut ketularan menjadi narsistic. (ini kelihatan saya boong banged haha).
Jadilah kita mejang mejeng di pagi hari. Sayan, hari itu berkabut. Jadi tidak melihat awan secara jelas.
*) Lihatlah foto di atas dengan seksama. Tak perlu saya tambahkan caption di dalamnya. Hehehe.
Pertama dan Memalukan
Jika foto di atas mempermalukan anggota lainnya, sekarang giliran saya mengakui "dosa" saya plus beberapa kejadian behind the scene. Karena lama tak menulis, saya masih terlalu kaku untuk berkisah secara runtut. Jadi saya penggal saja biar ringkas.
#1 Karena ini perjalanan pertama, kita benar-benar tak tahu apa itu gunung selain dapat informasi dari mulut-mulut atau di gugel. Jadi di hari pemberangkatan, kita membawa aneka bekal yang ternyata dalam perjalanan, kita seperti orang mau minggat. Di saat pendaki lain cuman bawa tas ransel saja, kita bersembilan membawa tas karier full packed.
Paling parah ya saya sendiri. Bawaan saya paling ekstrem. Satu kilo kacang hijau, 1 kg beras, 1 kg gula merah, sarden, mie, telor, sayur, frame tenda, dll. Karena tas saya yang paling besar, tentu paling berat jadinya. Di tanjakan pertama, saya sudah ngos-ngosan dan menyerah di 50 meter pertama!!! Memalukan!!
Nyaris 15 menit saya hanya berdiam diri di tempat mengatur nafas, sementara yang lain sudah berjalan di depan. Bahkan yang perempuan juga sudah di depan sanaaaa!! Malukah saya? Saya jawab dengan tegas: tidak! Hahahaha. Dan di tengah ketidakberdayaan saya, Syani menggantikan tas saya. Dan saya cuman membawa tas ransel mini. Ini keegoisan saya pertama.
Di sepanjang perjalanan, SAYA SELALU TERBELAKANG! Bukan karena saya keberatan beban, tapi karena saya tidak bisa adaptasi dengan nafas yang benar-benar menggenjot denyut jantung. Alhasil, sepanjang perjalanan naik, saya adalah tersangka yang membuat perjalanan menjadi lambreett.
#2 Pagi hari di pos 5, karena saya merasa benar-benar capek, saya mbangkong di saat anak-anak pergi ke air terjun dan menonton cowok-cowok mandi massal. Dan saya baru bangun pas anak-anak sudah kembali dengan foto-foto bugil di atas. Selepas sarapan dan selfie ria, kita memutuskan untuk turun hari itu juga karena kondisi tidak memungkinkan untuk ke puncak.
Dan sekali lagi, tas saya yang super berat, harus dipanggul orang lain. Dan korban kedua saya adalah Arsy (yang sering saya bully saat pemberangkatan).
#3 Ini kejadian pas turun. Saya sudah adaptasi nafas, tapi kaki saya seperti pegas yang kehilangan identitas, gemeteraan akuutt (duch, emang usia nggak bisa boong). Dari pos 5 sampai 2 masih bisa ditahan. Tapi menuju pos 1 sampai titik pemberangkatan, kaki saya seperti mati rasa. Sementara anak lain yang melambat dalam perjalanan turun ada Ugi dan Bibil.
Ugi karena kaki terkilir, Bibil karena hipothermia. Tanpa rasa kasihan, saya meninggalkan mereka. Dan berjalan terus dan terus, yang penting bisa segera sampai di pos pemberangkatan. Jahat banget kan? Haha.
#4 Di pos 1, kita ditinggalkan oleh Syani, Dio dan Bondan yang mendahuli untuk turun. Sudah jam 5 sore. Akhirnya kita masak, sementara Bibil sudah hyperthermia, menggigil akut. Padahal saya cuman pakai kaos tanpa jaket malah sumuk-en. Saat mie sudah siap saji tinggal makan, di tengah keremangan cahaya, kita melihat ada seonggok benda yang berada 3 cm dari panci mie yang akan kita makan.
Saat lampu headlamp-nya Arsy menyorot benda itu, nampaklah sosoknya. Bukan penampakan mak lampir, kuntilanak atau tuyul, tapi benda itu adalah: S*MP*K! Omooooo...Padahal kita mau makan brooow. Tak sudi memindahkan benda itu, kita memaksakan untuk makan saja. Dan setelah disorot ke jarak beberapa centi, masih ada 2 benda sejenisnya dengan warna yang berbeda. Saya tak perlu memberitahu itu benda milik siapa hahaha. Cukuplah saya dan Arsy yang tahu.
#5 Jam 6 lebih, kita sampai pos pemberangkatan. Di sana sudah menunggu Bondan, Dio dan Syani yang sedang memadu kasih di dalam tenda -.-'
Sementara Bibil dan Ugi sampai paling akhir, dengan kondisi Bibil yang menggigil akut. Dengan ekspresi melas akut, Bibil saya minta ke dalam tenda saja karena di luar angin cukup kencang. Tak dinyana, muncullah celetukan "Ojo mlebu, engko teles kabeh. Tak gibeng koen". Dan akhirnya, Bibil langsung broken heart dan tak sudi masuk tenda itu untuk selama-lamanya. Sementara peng-nggibeng itu malah nggak peka blas -.-'
#6 Kita tidak tahu kalau di atas ada gubuk, jadi sepertinya kita menghamburkan uang untuk menyewa tenda. Jadi kita hanya mendirikan tenda hanya sebagai seting foto saja. Dan karena waktu berangkat saya habis diomelin pemilik tenda, saya melimpahkan tanggung jawab mengembalikan tenda kepada anak-anak. Hal itu dikarenakan saya takut emosi jika kena omelan lagi. Bisa berabe hubungan saya dengan Devi nantinya (siapakah Devi? Tanya saya langsung saja ya hehe)
Jam 7 kita langsung cus ke Surabaya. Jam setengah 10 sampai surabaya dengan kondisi kaki yang sudah njarem. Yah, 2 satu malam ternyata sudah bisa sampai 2800 mpdl. Rekor saya sepanjang hayat. Saya berhasil breaking my limit!
Welcome Back to The Real Life
Selamat tinggal Arjuna, maaf tidak bisa menyapamu di ketinggian maksimum. Tapi kita menyimpan keyakinan, suatu saat kita akan bersua kembali. Dan, selamat datang di Surabaya. Selamat datang njaremisasi akut. Dan selamat datang kehidupan yang sebenarnya.
Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih sudah membantu saya mencoret salah satu mimpi 2014 saya. Dan, selamat datang #Semeru2015