Dan bahkan, ketika gaji kita digabungkan, masih ada beberapa bulan kita mengalami fase defisit keuangan
Ajaibnya, kita justru memutuskan untuk menikah (setelah perundingan bersama orang tua yang alot) tepat ketika beberapa bulan rumah baru selesai dibangun. Keputusan yang nekad pula.
Konon katanya salah satu komponen penting rumus pra-nikah adalah keterbukaan tentang keuangan. Praktis, di awal-awal pernikahan kami, urusan ini menjadi menu santapan utama. Sebulan, dua bulan, tiga bulan pertama pernikahan bener-bener fase pendewasaan kita.
Ego, ambisi, kekurangan-kelebihan, kebiasaan, sampai hal-hal remeh mengaduk-aduk emosi kita, Juga, keuangan.
Ibaratnya, ketika langkah kaki kanan pengennya maju, tapi kaki kiri masih nyangkut di kali. Namun kita dipaksa harus melangkah bersama. Benar-benar harmonisasi yang indah. Tapi beginilah seninya menikah. Fase sukanya banyak, tapi apakah cerita pernikahan yang akan kita ceritakan kepada anak-cucu?
Balik ke keuangan. Gegara kenekadan itu, yah beberapa bulan kita pengalami defisit. Lalu?
Alhamdulillah, saya memilih istri yang luar biasa tabah. Ada beberapa point yang kami jadi evaluasi dan renungan bersama.
Pertama, kami berdua dibesarkan dalam keterbatasan. Banyak orang sekitar kita yang nyeletuk "kamu bisa dewasa sebelum waktunya" atau cuman sekedar adigum "kasihan hidupnya". But, it's our destiny. Jadi ujungnya, fase defisit itu biasa bagi kita hehe.
Kedua, saya dan istri punya karakter berlawanan. Jika saya mbatinan (lebih banyak mikir daripada aksi), istri saya kebalikan. Dan di saat fase krisis hadir, istri justru menjadi orang pertama yang membuat saya tersenyum dan bersyukur. Kata-kata khasnya, "Ayo ayah semangat mencari rejekinya, disyukuri rejeki yang sekarang. Inshaa Allah ke depan lebih baik". So sweet kan? Bikin lumer hati ini.
Ketiga, biasanya dalam kondisi kepepet, pikiran pun bisa buntu, aktivitas terganggu. Itu tipikal saya. Berbeda dengan istri, dalam kondisi sepailit apapun, istri selalu menekankan untuk menghargai diri sendiri. Bentuk pola menghargai hasil polah sendiri adalah kunci kita bisa menikmati hidup. Bukankah hidup di dunia hanya sebentar?
Keempat, dan yang paling mengharukan. Istri, sebagai bendahara rumah tangga selalu tidak pernah absen menaruh prioritas shodaqoh dan infaq dalam kondisi apa pun. Prinsipnya yang saya adopsi, sedekah tidak akan membuatmu miskin. And, it's work.
Terakhir, sawaktu bujang saya dan kebanyakan orang mungkin sering bertanya, menikah itu menunggu mapan atau nggak? Lebih banyak orang (di sekitar saya) yang berprinsip:
Menikahlah ketika sudah mapan, kerena kesengsaraan hidup itu untuk laki-laki seorang, tidak untuk dibagi dengan anak dan istri
Anda boleh setuju atau tidak. Tapi berdasarkan pengalaman kita, naik turun finansial dalam berkeluarga itu adalah perekat hubungan suami istri. Ibarat sepoi-sepoi angin, ia merambat ingin merenggangkan genggaman erat kita. Tapi kita memilih untuk menikmati bersama. Berdua. Eh, bertiga sama Mb Denisa gembul2.
Yah, asal jangan keseringan defisit saja *eh