19 Jun 2014

Utopisasi Orang Dewasa



Kejengkelan ini membuncah. Tentang diri sendiri, orang lain dan realitas yang kian menjemukan. Ini bukan soal impian yang ingin digaruk dalam beberapa langkah di depan sana. Ini hanya tentang identitas yang dipertanyakan kevalidannya.

Saya benci dengan orang dewasa -pun begitu dengan pribadi ini.

Menjadi dewasa itu berasa jadi malaikat atau bahkan dewa, yang dianggap tanpa cela dan tanpa dosa. Tak ada yang mau peduli dengan kondisi kita -tentu selain sobat dekat kita sendiri. Mau bagaimana pun tingkah laku kita, siapa pun tidak akan peduli karena kita sudah dianggap SUDAH DEWASA. Tanpa pembenaran, tanpa penyalahan.

Konsekuensi logis dari definisi dewasa yang saya tangkap dari realita adalah keadaan dimana semua hal yang kita urus adalah BENAR tanpa syarat. Menjadi sempurna tanpa mau dicela. Dan selalu ngotot dengan argumen pribadi tanpa mau dikeluhkan. Sungguh memilukan, menjadi dewasa justru menjadi jalur menuju proses pengerasan hati.

Sebenarnya, dalam perspektif psikologis, fase dewasa adalah kondisi pembenaran atas nilai yang selama hidup manusia dapatkan dari dia lahir. Yang dia dapatkan dari orang tua, teman dan lingkungan yang membangun idealisme sematang dan sekeras sekarang.

Bahkan jika seluruh dunia ini berkata salah, sementara dia mengatan benar, maka dia tetap akan kokoh dengan pendiriannya. Inilah karakter utama orang dewasa.

Parahnya, jika Tuhan mengatakan salah pun, dia akan tetap membenarkannya! Dia akan merasa menjadi terbaik dari semua orang sedunia-akhirat ini.

Persepsi dalam pikirannya membangun bahwa apa yang dia lakukan selalu benar karena tidak ada satu orang pun yang menyalahkannya. Omongan dan tindakannya menjadikan role mode seumur hidup yang dijadikan panutan personal dalam keluarganya. Untuk menjadikannya acuh tak acuh dengan kritikan. Tak ubahnya seperti idiom "senggol bacok".

Saking kerasnya karakter orang dewasa itu, mau disalahin sedikit saja, pasti secara reflek dia akan mencari seribu satu alasan untuk menyangkalnya -dan, saya pun mengalami hal yang sama. Orang dewasa suka sekali menjadi pribadi (sok) bijaksana soal kehidupan. Ia akan menjadi penceramah handal jika disuruh berbicara soal pengalaman hidup. Padahal, apa sih yang sudah dia dapatkan selama hidupnya? Apa yang dia banggakan dari hidupnya? Prestasi apa yang telah menjadikannya manusia setengah dewa?

Jika mau sedikit memberikan konklusi, satu-satunya kelemahan orang dewasa adalah SELALU MERASA BENAR!




Jika dewasa itu hanya soal usia, lalu untuk apa manusia harus belajar?

Jika dewasa hanya soal uang, mungkin ini sebabnya banyak orang tua memeras anaknya.

Jika dewasa hanya soal berkeluarga, lalu apa bedanya kita dengan anjing di jalanan?

Jika dewasa itu soal pribadi yang benar, sejak kapan ada manusia mengaku jadi nabi?

Jika dewasa itu adalah mengerasnya hati, mungkin ini ada benarnya. Atau justru yang sebenarnya?

2 Jun 2014

Menumpuk Salah

2014 sudah berlalu lima bulan yang lalu. Ini sudah middle year. Apa yang sudah saya lakukan? 

Saya pun harus melakukan pengakuan dosa-dosa yang telah saya perbuat selama lima bulan berselang.

Enggan membaca dan menulis
Entah darimana datangnya penyakit ini. Namun saya merasa sangat berdosa sekali dengan tumpukan buku yang tergeletak di atas kasur. Begitu merana nasib mereka. Sudah susah-susah dibeli/dipinjam, namun hanya digunakan pelapis bantal saja. Dan penyakit ini pun menjalar kemana-mana. Saya menjadi orang yang sangat apatis dengan informasi baru, sehingga nyaris tidak ada paradigma baru yang saya telaah selama lima bulan ini.

Selayaknya tipe pembaca budiman, saya bukan tipe orang yang bisa menggali manfaat dari ceramah (gaya oral) orang lain. Kecenderungan saya menjadi cuek dengan obralan kalimat yang dogmatis. Sekali lagi saya tekankan, membaca buku sudah membutakan mata hati saya sendiri. Menjadikan pikiran saya nyaris membatu dengan merasa sok benar selamanya. Hati saya menjadi keras. Dan saya benar-benar menyadarinya.
Menulis. Kata ini seperti makhluk halus yang hampir tidak pernah saya lakukan selama dua bulan terakhir. Menulis mendadak seperti seekor singa liar, yang tak satu pun intuisi saya mampu menjinakkannya. Pribadi ini bermetamorfosis ke belakang, dari kepompong menjadi ulat. Melupakan impiannya yang sudah digaungkan sejak lama. Mengingkari janjinya untuk menjadi perangka aksara. Lupa dengan citanya. Menjadi lupa diri.

 Perbendaraan kata saya terjun bebas. Otak saya seperti mengerut karena kekeringan informasi. Tulisan saya pun mendadak menjadi sangat datar tanpa diksi yang pernah saya agung-agungkan berada dalam diri saya. Semua lenyap dengan kesengajaan.

Sok Sibuk
Seberapa banyak aktivitas yang saya emban hari ini? Pasti hanya seperduabelas dari aktivitas saya dua tahun lalu. Dengan beban yang cuman seperduabelas itu, kok bisa fisik dan pikiran saya cuman bisa jalan di tempat saja? Apa jawabannya? Adakah penyangkal dari perasaan bersalah ini? Tidak ada!

Saya terlampau nyaman dengan zona ini. Menjadikan saya malas melakukan hal-hal baru. Hanya beraktivitas sebatas apa yang memang menjadi kewajiban. Selebihnya? Gak ada!

Lupa dengan Impian
Deretan impian itu hampir lenyap dimakan makhluk bernama LUPA. Mana idealisme saya yang dulu? Mengapa saya masih jalan di tempat sementara teman-teman saya sudah melaju kencang jauh di depan. Mengapa saya menjadi orang yang dulu sangat saya benci? Yaitu menjadi orang yang menerima kondisi apa adanya. Orang yang tidak mau menekan kemampuannya sampai batas ketidakberdayaan. Orang yang percaya bahwa manusia adalah makhluk serba bisa?

Mendaki gunung. Mampu berenang. Menulis Buku. Menuntaskan 20 judul buku...bla..bla..blaaaa.. (dan mata saya hanya bisa meratap saja)

Termakan Rutinitas Usia
Bertambahnya usia memberikan saya kesadaran tentang kedewasaan dan tanggung jawab. Efek sampingnya, saya bertumbuh menjadi pohon yang beneran tua, yang tidak bisa digoyang ke mana pun, menjadi pribadi yang kokoh namun juga tidak mampu melihat ke segala arah. Apalagi ke bawah.

Usia telah membuat saya benar-benar kaku dengan idealisme yang pasti penuh dengan ketidaksempurnaan. Menjadi selalu merasa benar -yang pada kenyataannya, kebenaran adalah kemustahilan. Hati saya menjadi kaku dengan masukan orang lain. Ini adalah titik dimana saya merasa benar-benar ingin berubah menjadi Power Ranger.

dan mengapa ketika saya menuliskan daftar dosa ini seperti orang menelan orang? Itu karena saya marah dengan diri saya sendiri. Mengapa gak mau berubah? Mengapa kedewasaanmu mundur? Mengapa selalu merasa sok benar?

Kapan berubah?