16 Jun 2012

Mengenang Pejuang ITS (4)


Bapak itu tidak pernah marah. Setidaknya pada saya, anaknya yang paling bandel.

Dalam suasana hari puluhan tahun yang lalu, sore itu Bapak Toni bertutur tentang sebuah kisah ayahnya, dr Angka Nitisastro. Sebagai anak yang mengakui dirinya sebagai anak paling bandel, beliau sangat mengagumi sosok Bapaknya apa adanya. Terlebih sebagai anak bungsu, beliau menganggap kenakalannya sebagai hal wajar.

Setiap kesalahan yang beliau perbuat, Bapaknya selalu menasehati dengan pikiran dingin, tidak dengan kalimat bentakan. Apalagi dengan nada emosi tinggi atau marah. Dari urusan kesalahan personal, perkelahian, atau karena soal nilai jelek di Sekolah.

“Ada kebiasaan unik Bapak jika menegur saya. Beliau biasanya menyelipkan selembar kertas yang berisi tulisan nasehat beliau ke dalam kamar saya diam-diam. Saya dimarahi lewat selembar kertas, justru dari kertas itu saya ‘bertobat’ dari kesalahan saya,” ujar Pak Toni terkekeh.

Itu adalah salah satu momen berkesan dalam pribadi ayah beliau yang namanya lebih dikenal sebagai Plaza dr Angka di kampus Perjuangan.

dr Angka Nitisastro di Mata Putra-Putrinya
Pribadi menonjol yang nampak dari Pak Angka adalah kemauannya yang sangat kuat. Jika dikaitkan dengan ITS, walaupun beliau berprofesi sebagai dokter namun beliau mendedikasikan salah satu jalan hidupnya untuk membangun kampus teknik ini.

Selain sebagai pencetus ide adanya kampus teknik di Indonesia timur, beliau pulalah yang dipercayakan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) saat itu untuk menjadi nahkoda perintisnya. Menjadi direktur Yayasan 10 Nopember, sekaligus menjadi Rektor pertama ITS.

“Bapak itu nyandak-nyandak (bersemangat, red) terus, seperti tidak mau tahu harus terwujud. Darah perjuangannya itu sangat tinggi,” ungkap Bu Budi, putri ke-2.

Saking bersemangatnya beliau, banyak anggota YPPT 10 Nopember yang sering mengeluhkan watak kerasnya. Ada pula yang mengganggap beliau seperti tidak mau tahu kondisi yang sebenarnya. Salah satunya tentang kondisi pelaksanaan perkuliahan dan finansial yayasan yang serba minim dan kerepotan. Namun dengan sifatnya itu, kampus ITS tidak menjadi pailit dan justru menjadi salah satu kampus teknik yang semakin besar dan besar.

“Mendirikan ITS, bagi Bapak seperti sebuah tujuan hidup beliau,” tambahnya menyakinkan.

Tekad kuatnya itu pula yang menjadikan semangat untuk survive dengan segala keterbatasannya. Sebagai orang yang (hanya) seorang dokter saja tanpa punya bidang usaha apa pun, beliau memiliki “intuisi” untuk mengajak orang-orang memiliki kedermawanan di dunia pendidikan.

 “Bapak menyadari tidak bisa mendirikan ITS sendirian, jadi suka nodong orang untuk dimasukkan dalam Yayasan,” imbuhnya.

Dari pengusaha, ada Jahja Hasyim dan Asnoen Arsad yang saat itu dikenal sebagai pengusaha kelas atas di kota Surabaya. Bahkan saat itu pak Jahja Hasyim juga memiliki radio yang difungsikan sebagai sarana pengumunan ke warga kota Surabaya terkait ITS. Dari golongan akademikus, ada Prof Ir Soemadijo, Ir Soendjasmono, Ir Ibrahim Zahir, Prof Ir Mr Ag Pringgodigno, dll.

Dari pihak militer ada Aris Moenandar dan Kol AL Hadiwinarso yang saat itu bertugas di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI, nama lain TNI AL dahulu). Dari birokrasi turut ada nama Soemani dan Ruslan Abdul Ghani yang juga punya garis keturunan sedarah dengan Bung Karno, serta Bapak Soemadigoel yang menjabat sebagai Gubernur Jatim kala itu (1949-1957).

Karakter lain dari Pak Angka yang dominan adalah jiwa pendidik beliau yang menular dari keluarganya. Walaupun beliau satu-satunya dokter dalam keluarga besarnya, jiwa pendidiknya tidak memudar sampai sebatas beliau melayani pasiennya. Hingga banyak anaknya yang menjadi pendidik pula.

Kebiasaan lain yang berkesan dalam memori Bu Budi adalah setiap hari, Bapaknya selalu mengantarkan dan menjemput semua anak-anaknya ke Sekolah. Diangkut dalam satu mobil lawas, ke-7 putra putrinya diantarkan dari sekolah satu ke sekolah lainnya (tiga anaknya sudah kuliah). Padahal tidak ada satu pun dari saudaranya beliau yang satu sekolah.

“Sesibuk apa pun Bapak, beliau selalu meluangkan waktu untuk menjadi Bapak antar-jemput. Kecuali kalau beliau tidak bisa misalkan tugas ke luar kota atau rapat Yayasan sampai dini hari,” ujarnya.

Pun ketika pada 30 September 1965, Surabaya turut terkena imbas ketakutan luar biasa. Kala itu, ada salah satu putrinya yang berwajah sangat putih, bermata sipit dan sangat mirip wajah Tionghoa. Di hari itu, seluruh putra-putrinya disuruh berdiam seharian di rumah yang terletak di Jalan Ambengan untuk mengantisipasi hal-hal buruk.

Sejarah yang Hampir Terputus
Tidak semua anak-anak Pak Angka tahu sejarah perjuangan Bapaknya dalam mendirikan kampus ITS. Dari sedikit yang tahu, hanya satu orang saja yang masih “terikat” dengan ITS yakni ketika ada kegiatan besar kampus seperti Dies Natalis. Selebihnya, mungkin karena waktu yang terlampau lama, putra-putri beliau justru semakin terasingkan dengan nama ITS.

Sejujurnya memang agak aneh, dari sepuluh anaknya pak Angka, tidak satu pun yang tahu atau setidaknya bersinggungan dengan kegiatan YPPT Sepuluh Nopember kala itu. Penyebabnya sama, Pak Angka tidak pernah melibatkan putra-putrinya langsung dalam pendirian ITS. Apalagi tak ada satu pun putra-putri Pak Angka yang lulusan ITS.

“Kita hanya tahu sekilas saja ketika Bapak mau rapat saja. Terkadang adik saya yang disuruh jadi notulen rapat. Kalau saya paling banter hanya ngurusi belakang, ngurusin dapur, Mas,” tutur Bu Budi sambil tertawa lepas.

Awalnya memang terkesan aneh, namun ternyata cerita yang sama kita dapatkan dari narasumber yang merupakan generasi kedua para founding father ITS, tidak ada kisah perjuangan pendirian ITS melibatkan anaknya. Bahkan, beberapa dari mereka tidak mendapatkan ceritanya sama sekali. Apalagi generasi yang seumuran dengan saya, generasi keempatnya, mungkin sudah menguap.

“Kita tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba kita tahu ITS sudah sebesar itu,” tambahnya terkaget.

Seperti beberapa putra-putri Pak Angka yang sejak kuliah harus berada di luar kota Surabaya, yang otomatis sejak itu pula, cerita tentang aktivitas Bapaknya terputus dengan sendirinya. Hal sama berlaku sama untuk putra-putri Bapak Prof Ir R Soemadijo, Jahja Hasyim, Asnoen Arsat, dan lainnya.

Beberapa arsip kisah pendirian ITS memang pernah didokumentasikan dalam bentuk tulisan atau foto, namun dokumen dari sisi perjuangan yayasan itu tidak banyak. Padahal sisi perjuangan itu sebenarnya yang bisa “diwariskan” daripada yang diabadikan menjadi nama ruangan/bangunan saja.

“Padahal kisah perjuangan itu yang penting. Karena saya tahu, bagaimana Bapak saya rapat hingga shubuh dan paginya tetap harus praktek sebagai dokter,” ujarnya serius.

Selain itu, suami beliau juga merupakan alumni pertama Teknik Mesin ITS. Ada banyak kisah perjuangan yang beliau ketahui, walaupun beliau bukan alumni ITS.

“Bapak (suaminya, red) itu kuliahnya nggoyo (berat). Jam 4 pagi sudah harus berangkat dari rumah dengan berbekal telo godhok (ketela rebus), berangkat menggunakan sepeda onthel,” akunya.

Sepenuhnya, beliau dan keluarganya tidak menuntut apa-apa ke ITS atas dedikasi Bapaknya. Pun ketika ada tetangganya yang sudah puluhan tahun hidup bertetangga baru menyadari kalau beliau adalah putri Pak Angka, beliau pun memaklumi.

“Kita sebagai anak-anaknya itu tidak ngoyo apa pun agar Bapak atau kita diingat terus. Yang penting, semasa hidup Bapak pernah berbuat hal baik, itu saja sudah cukup,” pungkasnya.

Kembali kita merenung, mungkin beliau hanya seolah dokter biasa. Namun, ribuan Insinyur terlahir dari tangannya.


a.n Tim Djoeang


Bisa pula diakses di web ITS sini atau fesbuk saya di sini :)

No comments:

Post a Comment