26 Nov 2014

Pesan dari Masa Depan



Jadi ceritanya, tadi ada rapat yang mengharukan. Kita, seluruh peserta diminta untuk memberikan sebuah kalimat yang datang dari masa depan. Kita diminta untuk memvisualkan impian kita, seolah kita dari masa depan sedang berbicara dengan kita di 2014. Karena tidak dibatasi waktu, jadi kita bebas berkeinginan. Because dreams make a life feel live!

Tiba-tiba seuasana menjadi sangat sentimentil. Mengharu biru. Ternyata, seluruh ruangan bergemuruh menjadi lautan emosi. Isak tangis menghiasi sejuta impian yang menyembul tebang ke langit. Semesta bersaksi atas do'a di atas masa. Semoga.

Dan, ini tulisan saya. Untuk masa depan ku di 2018.

Dear my family..Senja baru saja pamit sejengkal yang lalu. Biarkan Bang Danish menyelesaikan mainannya. Jika tiba pukul 7 nanti, tidurkan dia di atas pulau impiannya. Lihatlah, betapa lucu dan menggemaskan setumpuk daging menggumpa di pipinya. Polahnya itu, menjadi muara keoptimisan dan keciaraan di istana kita. Iya, sewajarnya dia adalah titisan semangat hidupmu.

Tadi sore, ada pesanan donat dari tetangga desa. Minta tolong pada Tutik, karyawan yang kemarin baru daftar, untuk ikut belanja sampai mengantar. Proposal dari Masjid kecamatan bulan lalu juga sudah ku antarkan langsung. Menurut catatan kita, masih kurang sedikit lagi sudah melampaui target shodaqoh tahun lalu. Kembang akhirat tidak muncul dari tanah. Atas do'a yang terkumpulkan, jariyahnya terkembang melewati masa. Kita percaya atas nasehat itu.

Oh, sepekan lagi sudah Desember 2018. Selesai Tambora, esok kita jadwalkan untuk menyusuri negeri di atas angin. Kita ajak si Abang, bebaskan dirinya agar bisa menghirup hawa di atap dunia, Himalaya, Sri Lanka. Sembari ku selesaikan isian draft buku ini, besok mari kita tumbahkan impian kita di atas nampan dunia dan semesta.

Terima kasih atas kebersamaan dalam berkehidupan, Dik :)

14 Nov 2014

Menulis: Sebuah Tanya?



Ritual saya sekarang tiap pagi dan malam menjelang tidur: ngepoin tulisan teman-teman dalam my bloggger-list. Aktivitas ini adalah pelarian saya menghadapi keterdiaman pikiran saya karena virus-jenuh-akut. Tiba saya ditulisan dari seorang mahasiswa Ilmu Gizi UI yang pindah jalur keprofesian menjadi penulis. Ia memaparkan sejarah dirinya berkenaan tentang pertanyaan: Apa menulis itu cita-citamu? Tulisan lengkapnya ada di sini.

Seperti tersandung, pikiran saya bergelora. Dalam time-line yang pernah saya susun sekitar dua minggu lalu, tertulis "menjadi penulis" sebagai aktivitas utama saya sekitar 7-10 tahun mendatang. Apakah itu sebuah kegiatan sampingan? Sebuah cita-cita? Sebuah passion? Atau hanya sekedar profesi?

Dahulu, dari SD sampai SMA, saya bukanlah orang yang hobi menulis. Tapi saya akui suka membaca buku. Kuliah, awal saya berkenalan dengan dunia tulis menulis. Tiga tahun lamanya dunia jurnalistik saya geluti. Tulisan yang dihasilkan sangat kaku, khas koran. Disela itu, saya bisa menerbitkan tiga buku. Ya, tiga buku! Sampai sekarang saya sering tidak percaya bahwa tulisan saya layak menjadi buku ditengah background kuliah yang sangat otak kiri (engineering minded). 

Berbekal pengalaman itu, di saat sedang ber-mukhasabah diri, saya merasa wajib menyelipkan "aktivitas menulis" di sela kesibukan utama. Walaupun saya sadari bahwa menulis ada keterampilan, bukan bakat dari Ilahi, tetapi pengalaman mengajarkan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dan, menerbitkan buku keempat menjadi target saya tahun ini!

Dus..waktu merayap. Semakin bertambah usia, produktivitas saya justru anjlok dastris. Termasuk urusan tulis-menulis dan baca-membaca, akumulasinya tidak sampai separuh target tahun lalu tercapai! Mengesankan dan mengenaskan sekali!

Ini adalah evaluasi sekaligus renungan, sebenarnya saya menulis itu untuk apa ke depannya? Di tengah pencarian identitas tentang definisi "apa itu passion?", akhirnya saya menyerahkan jawaban itu pada waktu dan proses. Beberapa hal yang menjadi ambisi hidup tetap akan saya jalani bersamaan dengan hal-hal sampingannya -termasuk menulis. Mungkin dengan seperti itu, kelak saya bisa menemukan bongkahan berlian yang terpendam dalam diri saya. Entah berlian model apa yang akan keuar itu.

Menulis, apapun yang terjadi, saya tetap harus menulis. Saya hanya perlu menemukan alasan kuat kenapa saya perlu menulis terus. 


Menulis menjaga diri dari ketidak-warasan (kata teman)

1 Nov 2014

Pemuda dari Bulan Merah



Aku pernah mengenal senja seperti ini
Senja yang mengaburkan pelita
Membawa malam ke sanubari mimpi
Bersama jutaan kepala tanpa nurani

Ia datang menyela embun negeri ini
Pelan
Merayap dalam kesunyian
Hening
Menggilas asa hingga tak bernyawa
Runtuhkan raungan takdir

Aku pernah pernah mengenal malam seperti ini
Di negeri kita

Duhai semesta
Saksikan di bawah kaki para dewa
Aku, pemuda dari Bulan Merah
Akan ku kobarkan gulita pekat
Ku hijaukan pekarangan kemarau negeriku
Dan akan ku tumbahkan hujan di gurun nestapa

Karena aku pemuda dari masa depan
Akan ku taburkan harapan pada sekujur masa
Akan ku lukis warna di atas nampan bumi pertiwi
Merupa hamparan permadani raksasa
Tanpa goresan sepia

Wahai jiwa yang tangguh, bangunlah
Kokohkan janji kita pada tanah air
Dan, sematkan takdir dalam genggaman

Karena kita pemuda
Pemimpin masa depan