19 Jul 2014

Super-ego-sentris

"Saya bisa bersahabat baik dengan orang yang pernah memarahi serta melemparkan gelas ke ke kepala saya"
Itu ungkapan dari pembina di kantor saya. Kisah nyata. Bukan sinetron. Namun, saya hanya bisa menggeleng hampir tidak percaya. Bagaimana saya bisa berbesar hati sejauh itu? 

Hatta..

Tadi saya habis sholat tarawih. Nah, imamnya itu qiroah-nya sangat lama sekali. Saking lamanya, bahkan sampai saya hitung waktunya. Hasil menunjukkan 7 menit per dua rakaat. Nah, kelihatan kalau saya sholatnya tidak khusyu' kan? Memang! *ngaku dosa*

Sebenarnya saya lebih suka imam yang bacaannya lebih lama dari pada lebih cepat, kalau tidak mau dibilang sangat cepat bin dikejar *njing. Namun, kejadian tadi sangat mengganggu konsentrasi saya. Tepat di depan saya itu ada orang dengan (maaf) kaki polio, jadi harus sholat dengan ditopang satu kaki saja. Saya saja yang masih muda, kaki saya selalu kram setelah sholat dengan model durasi seperti itu. Lha bapak itu bagaimana?

Lalu, pas sholat witir. Di depan saya ada bapak dengan kondisi sangat ringkih, dan kelihatan sekali sangat memaksakan untuk bergerak dari sujud-berdiri. Dan ini terjadi dengan ritme sejak 7 menit kali 4 yang lalu. 

Terus (saking semangatnya cerita), qiroahnya sangat keras sekali. Bahkan sampai suara dari soundnya pun tidak bisa mengimbangi nilai desibel dari sang Imam. Sampai menggelegar cempreng seperti over-louder. Memang bacaannya bagus, namun saya semakin tidak konsentrasi dengan volume yang seperti suara sound kondangan. 

Su'udzan saya ini sangat menumpuk bak upil di hidung *kemproh*. Apa ya tidak sadar imamnya bahwa yang diimamin itu mayoritas ada sesepuh yang sudah manula. Dan juga ada orang cacat, atau mungkin ada musafir yang ingin bergegas menuju tempat lain.

Dan lagi-lagi saya mengumpat dalam hati, pas ceramah dengan entengnya imam memaparkan bahwa banyak yang mengeluhkan lamanya sholatnya namun hanya ditanggapi dengan kalimat bahwa niatnya mengajak untuk berdzikir yang lama (ngomong dengan nada sinis banget dan seakan kita itu memang amatiran ibadahnya). Wooowww..luar biasa sekali entengnya. Apa beliau tidak pernah mengamati siapa makmumnya? Ada yang sakit atau tidak? Yang sebagian besar usia muda sudah hilang sebelum witir?

Sejatinya Rasulullah sendiri sudah memberikan teladan sebagai berikut:

Dahulu di zamanya para sahabat, ternyata shahabat Muadz bin Jabal pernah di protes ketika beliau bertindak sebagai imam, bahkan diantara makmum nya ada yang mufaraqoh (memisahkan diri).
Karena pada waktu itu beliau membaca ayat yang panjang-panjang. Kemudian bagaimana reaksi Rasulullah ketika mendengar hal itu?. Kemudian Rasulullah menegur shahabat Muadz: “Hai Muadz, Janganlah kamu menjadi tukang fitnah; di belakangmu ikut bersembahyang orang yang sudah tua, orang yang lemah, orang yang punya hajat, dan musafir”
Dalam riwayat lain disebutkan shahabat Abu Mas’ud Al-Anshari r.a berkata, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, saya sungguh kurang bersemangat berjamaah shalat Shubuh, sebab si “Anu” kalau mengimami shalat lama sekali”.
Maka belum pernah aku melihat Nabi saw marah dalam khotbah beliau seperti saat itu. Beliau lalu berkhotbah, “wahai manusia, diantara kalian ada orang-orang yang suka membuat orang lari. Maka, barang siapa mengimami jamaah hendaklah tidak berpanjang-panjang; dibelakangnya ada orang tua, ada orang lemah, dan ada orang yang punya sesuatu hajat”.
Sang imam saya akui hebat sekali dalam banyak hal, namun saya tidak setuju jika standar ajakan beribadah itu dipaksakan merata kepada semua jamaah. Dipukul membabi-buta. Dalam perspektif yang saya dapatkan selama ngaji di desa dan juga liqo di surabaya, urusan ibadah yang sifatnya pribadi silahkan digenjot maksimal. Namun jika itu ibadah yang sifatnya komunal, perhatikan dulu siapa saja jamaahnya. Sehingga sang Da'i bisa memetakaan karakter ibadah sehingga bisa menentukan level tingkat ibadah jamaahnya dan juga memahami tingkat pemahaman terhadap islamnya.

Jangan sampai ajakan beribadah secara maksimal justru malah membuat jamaah menghindari, dan semakin berkurang. Apalagi terhadap jamaah yang masih baru dan awam dengan masjid, apalagi buat yang masih fobia dengan Islam (walaupun sudah ber-KTP Islam). Agaknya percuma mengajak sholat berlama-lama, namun hatinya tidak di situ. Bukankah ketauhidan itu jauh lebih penting sebelum membangun bangunan ibadah?

Sebenarnya, kejengkalan saya ternyata membuatkan segalanya. Ketidaksukaan saya terhadap Sang Imam membutakan semua hal positif dari beliau. Dan, saya baru menyadarinya setelah pulang tawarih. Saya sering sekali mengalami hal ini. Susah untuk berlapang dada terhadap kesalahan orang lain (yang saya lihat dari perspekstif pribadi). Hal ini berlaku untuk semua orang, bahkan untuk sekaliber Imam Masjid sekali pun. Mianeee T.T


Dan sampai detik ini, jika kalimat pertama dari tulisan ini terjadi pada (kepala) saya, maka akan ku lempar golok ke leher orang itu (???) Atau lempar granat dan TNT 5 ton!   *sarap*

Nantikan kelanjutannya :)

16 Jul 2014

Rumitnya Das Capital

Judul Buku: Das Capital untuk Pemula






Adooh, buku ini walaupun dari judulnya tertulis bagi pemula, tapi isinya tetap saja ribet, seribet buku aslinya. Yah, walaupun (lagi) dibumbui dengan grafis dan karikatur yang lucu, tapi tetap saja sangat susah untuk dijelaskan bagi pemula -termasuk oleh saya.

Jadi, kurang lebih seperti ini yang berhasil saya fahami. *dudukmanis*

Sistem perekonomian dunia dahulu kala, jauh sebelum revolusi Industri bergema di Eropa, terdapat suatu sistem yang dikemukakan oleh teolog beranama Karl Marx. Ideologi ini kembang kempis dari awal buku ini diterbitkan sampai pada saat dunia sosialis sedang jaya-jayanya bersama Uni Soviet.
 
Hatta, Das kapital lahir bersamaan dengan revolusi industri yang melahirkan sistem mandor-buruh dengan kapitalismenya. Dalam perjalannya, kedua ideologi yang saling timpuk ini sama-sama punya penggemar, penganut dan pemujanya. Dari kalangan teolog, ekonom, rakyat jelata, sodagar sampai negarawan.

Karena ini buku idelogi, jadi maafkan saya kalau nanti ada tulisan yang sangat tidak jelas. Karena mayoritas saya tidak faham, hahaha.


Karl Marx itu beranggapan pada suatu dasar fundamental pembentukan sistem perekonomian dunia yaitu jual beli. Entengnya, hal ini diilustrasikan tentang penilaian dia terhadap suatu barang yang biasa dijual-belikan. Misalkan roti. 

Roti bagi orang zaman dahulu dinilai sebagai bahan makanan untuk mengenyangkan perut. Sebagai kebutuhan pokok pemenuh kebutuhan biologis seseorang. Oleh karenanya, jika ada orang yang ingin mendapatkan roti namun dia tidak bisa membuat roti, maka roti bisa dibeli senilai dengan NILAI FUNGSINYA. Bagaimana membarter roti dengan singkong, misalkan? Maka dilihat dari niai fungsi dan bagaimana proses pembuatannya.

12 Jul 2014

Jejak Politik Soekarno Versi Timur

Parah! Ada suatu masa dimana saya tidak membaca buku sama sekali. Rasanya? Kayak orang ketindihan truk, diam tak bergerak. Ada suatu masa saya merasa sangat sok sibuk sekali, sampai saat otak saya sudah tertindih pun, saya merasa tidak merasa bersalah sama sekali. Hingga tiba di suatu masa, saya menjadi nyaris kehilangan otak kanan. Tak mampu berimajinasi.

Parahnya lagi, dengan target membaca 20 buku dalam setahun, pertengahan 2014 ini saya hanya membaca 6 buku ajaahhh . Bahkan pernah saya dua bulan tidak minat baca sama sekali. *janganditiru*

Daripada saya menyesali berlebihan, bulan ini saya targetkan untuk membaca tiga buku. Mumpung libur ada banyak sekali dan waktu kerja lumayan longgar. Dan sebagai bentuk 'penebus dosa', berikut saya cuplikan beberapa buku yang sudah saya baca. Sekalian mencoba mengingat-ingat kembali bagaimana gaya penulisan saya dulu -yang cukup membahana. *bukansombong*

Soekarno: Biografi Politik



Bagi saya -mengakunya peminat sejarah, rasanya sungguh kepo sekali dengan seluk beluk Sang Proklamator ini. Nah, yang bikin rasa kepo saya ngelunjak, buku ini ditulis oleh orang Uni Soviet! Itu tuh, negara yang luas negaranya hampir menguasai peta dunia. Bisa dibilang buku tulisan Kapitsa M.S berduet dengan Maletin N.P ini adalah profil politik Soekarno versi timur.

Dari buku ini, saya bisa mengerti bagaimana susahnya perjuangan lewat jalur politik ketika zaman itu. Terlepas dari kelemahan beliau, membayangkan bagaimana rasanya dipenjara berkali-kali tanpa kejelasan nasib untuk bebas itu seperti nonton film aksi. Pas beliau dikeluarkan dari penjara di Ende, Flores, rasanya seperti ada 'skenario' ajaib sekali yang menyengajakan beliau agar bisa keluar dan melanjutkan perjuangan beliau di tanah Jawa.

Bagian terpentingnya adalah, buku ini memaparkan pandangan sosialis yang menjadikan alasan mengapa Soekarno menganggat dirinya menjadi Presiden seumur hidup. Penjelasan yang sangat logis sekali, mengingat saat itu kekuatan timur begitu dominan, pun karena kedekatan Putra Sang Fajar dengan Soviet dan Tiongkok.

Karena selama ini saya dan mungkin mayoritas pelajar di Indonesia dicekokin dengan buku sejarah yang memberikan wacana kegagalan sistem orde lama adalah karena keangkuhan Soekarno dengan mengangkat diri sendiri sebagai Presiden RI seumur hidup. Di buku ini, saya berpikir bahwa keputusan itu ada benarnya juga. Mengingat kendali nasional terhadap pemberontakkan daerah sangat kendor. Juga friksi antar parpol dan organisasi yang menginginkan adanya perubahan sistem kepemerintahan. 

Dengan usia RI yang belum berumur 10 tahun, sangat diperlukan sikap tegas pemimpin untuk membereskan semua kerusuhan itu hingga Indonesia siap dengan sistem demokrasi yang sebenarnya. Melihat perjuangan beliau sampai Indonesia merdeka, saya sendiri tak terbersit bahwa ada keinginan dari Soekarno untuk menjadi diktator.

Namun kenyataannya, dunia politik itu keras dan banyak sekali kacamata ideologi yang tercampur-campur. Perbedaan cara pandang inilah yang justru menjadikan perjuangan Soekarno terhenti dengan tragis lewat G 30S/PKI yang sering disebut sebagai ajang Coup De Etat (kudeta). Bahkan kematian beliau pun menyisakan kenangan pahit sejarah bangsa ini -terutama dengan Orba.

Terakhir, beliaulah satu-satunya presiden yang juga penulis buku (sendiri, bukan ditulisin). Menyadari tulisan adalah senjata propaganda, buku menjadi senjata politiknya. "Di Bawah Bendera Revolusi" dan "Indonesia Menggugat" menjelaskan bagaimana kerasanya idealisme beliau dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Yang saya garis bawahi lagi, buku-buku yang sempat dilarang terbit ketika zaman Orba itu ditulisa bukan saat beliau lagi segang, tapi justru ditulis ketika beliau di penjara!

Buku yang berat, namun sangat recommended bagi penyuka sejarah, utamanya untuk mengimbangi pemahaman cara berpolitik Soekarno dari buku-buku dari barat.