17 Feb 2017

Tentang Kita (4): Sepoi-Sepoi Finansial

Dan bahkan, ketika gaji kita digabungkan, masih ada beberapa bulan kita mengalami fase defisit keuangan



Kita adalah pasangan nekad. Sebelum saya melamar istri, ada impian besar saya yang belum terwujud dan harus diwujudkan: membangun rumah orang tua saya. Dan, istri juga memiliki impian yang sama. Itu tadi, kita adalah sepasang manusia nekad!
 
Ajaibnya, kita justru memutuskan untuk menikah (setelah perundingan bersama orang tua yang alot) tepat ketika beberapa bulan rumah baru selesai dibangun. Keputusan yang nekad pula.


Konon katanya salah satu komponen penting rumus pra-nikah adalah keterbukaan tentang keuangan. Praktis, di awal-awal pernikahan kami, urusan ini menjadi menu santapan utama. Sebulan, dua bulan, tiga bulan pertama pernikahan bener-bener fase pendewasaan kita.

Ego, ambisi, kekurangan-kelebihan, kebiasaan, sampai hal-hal remeh mengaduk-aduk emosi kita, Juga, keuangan.

Ibaratnya, ketika langkah kaki kanan pengennya maju, tapi kaki kiri masih nyangkut di kali. Namun kita dipaksa harus melangkah bersama. Benar-benar harmonisasi yang indah. Tapi beginilah seninya menikah. Fase sukanya banyak, tapi apakah cerita pernikahan yang akan kita ceritakan kepada anak-cucu?

Balik ke keuangan. Gegara kenekadan itu, yah beberapa bulan kita pengalami defisit. Lalu?

Alhamdulillah, saya memilih istri yang luar biasa tabah. Ada beberapa point yang kami jadi evaluasi dan renungan  bersama.

Pertama, kami berdua dibesarkan dalam keterbatasan. Banyak orang sekitar kita yang nyeletuk "kamu bisa dewasa sebelum waktunya" atau cuman sekedar adigum "kasihan hidupnya". But, it's our destiny. Jadi ujungnya, fase defisit itu biasa bagi kita hehe.

Kedua, saya dan istri punya karakter berlawanan. Jika saya mbatinan (lebih banyak mikir daripada aksi), istri saya kebalikan. Dan di saat fase krisis hadir, istri justru menjadi orang pertama yang membuat saya tersenyum dan bersyukur. Kata-kata khasnya, "Ayo ayah semangat mencari rejekinya, disyukuri rejeki yang sekarang. Inshaa Allah ke depan lebih baik". So sweet kan? Bikin lumer hati ini.

Ketiga, biasanya dalam kondisi kepepet, pikiran pun bisa buntu, aktivitas terganggu. Itu tipikal saya. Berbeda dengan istri, dalam kondisi sepailit apapun, istri selalu menekankan untuk menghargai diri sendiri. Bentuk pola menghargai hasil polah sendiri adalah kunci kita bisa menikmati hidup. Bukankah hidup di dunia hanya sebentar?

Keempat, dan yang paling mengharukan. Istri, sebagai bendahara rumah tangga selalu tidak pernah absen menaruh prioritas shodaqoh dan infaq dalam kondisi apa punPrinsipnya yang saya adopsi, sedekah tidak akan membuatmu miskin. And, it's work.

Terakhir, sawaktu bujang saya dan kebanyakan orang mungkin sering bertanya, menikah itu menunggu mapan atau nggak? Lebih banyak orang (di sekitar saya) yang berprinsip: 

Menikahlah ketika sudah mapan, kerena kesengsaraan hidup itu untuk laki-laki seorang, tidak untuk dibagi dengan anak dan istri


Anda boleh setuju atau tidak. Tapi berdasarkan pengalaman kita, naik turun finansial dalam berkeluarga itu adalah perekat hubungan suami istri. Ibarat sepoi-sepoi angin, ia merambat ingin merenggangkan genggaman erat kita. Tapi kita memilih untuk menikmati bersama. Berdua. Eh, bertiga sama Mb Denisa gembul2.



Yah, asal jangan keseringan defisit saja *eh

2 Feb 2017

Cerita Kita (3): Seribu Wajah Parenting



Kekhawatiran itu muncul lagi Serupa tukang pos tiap pagi, ia datang mengantar pertanyaan tanpa jawab yang menjulur pada hati yang was-was. Adakah ilmu pakem untuk orang tua dalam membesarkan anak? Istilah, ilmu parenting.
 ****

Kita duduk bertiga, dalam ruangan ber-AC sekitaran pukul 10 malam.  Mereka berdua masih berusia belasan menjelang dewasa, anak kelas XII SMA yang berjuang mendewasakan diri. Dialog dimulai. S: saya, A1: anak pertama cowok, A2: anak kedua cewek.

S: Mood turun atau fase down itu biasa. Apalagi kalian masih hitungan remaja menjelang dewasa. Jutru kalau nggak naik-turun, namanya bukan manusia. 

A1: Bener, kamu fokus pada kelebihan, jangan menangisi kekurangan. Manusia kan pasti ada paketan kelebihan-kekurangan.

A2: Tapi apakah sifatku yang kayak gini itu ada hubungannya dengan masa kecilku yang sering melihat kedua orang tuaku berantem setiap hari? (Lalu, A2 bercerita panjan lebar tentang orang tuanya yang cekcok dari dia kecil sampai cerai. Berada dalam strata ekonomi atas, keduanya dokter spesialis, keluarga besar tanpa catatan cerai, tidak menjadi jaminan usia pernikahan. Lalu, anaknya menanggung masa lalu yang rumit, kelam dan tidak sehat)

25 Jan 2017

Cerita Kita (2): Satu Tahun Kebersamaan

Ngowohnya kayak ayah >.<


Setahun silam.

Pandangan saya fokus ke satu titik, tapi pikiran kemana-mana. Mencoba segala jurus untuk rileks tapi nihil. Dalam satu ruangan bersama dengan keluarga saya dan keluarga dia, adalah momen paling dag-dig-dug-der selama saya hidup.

Sambil mengalihkan grogi staidum 88, saya ngobrol dengan Pakdhe saya yang humoris. Ngobrolin apa menjelang detik-detik akad? Entahlah. Keringat dingin tak hanya membasahi baju saya, tapi juga ingatan saya.

Sudah satu jam lebih kita menunggu Naip (petugas KUA) datang. Artinya terlambat 30 menit dari jadwal. Tapi pikiran aneh-aneh justru muncul di saat sakral. Satu yang saya ingat: mulai hari ini dan selamanya, saya akan hidup dengan wanita yang saya pilih. SELAMANYA?

Namun saya selalu ingat wejangan teman lama: bukankah jalan pernikahan itu selalu terjal?