31 Aug 2011

Elegi Rumah Sakit



Inilah pengalaman pribadiku “tinggal” paling lama di rumah sakit. Enam hari aku harus bolak-balik ke rumahnya orang sakit ini. Bahkan, tiga hari diantaranya aku harus i’tikaf di sini. Ingat, ini masih bulan Ramadhan dan sebentar lagi akan segera selesai. Nasib target amal yaumi pun harus bekejar-kejaran dengan jatahku tidur sambil duduk.

Tilawahku terkadang diselingi aksi “mendadak teler”. Juga sholat tarawih yang selalu menemani jam kuntilanak beraksi, lewat tengah malam. Bukan persoalan waktu tengah malamnya itu, tapi AC Mushola di RS itu yang dipasang entah pada suhu minus berapa, dingin sekali. Dengan ukuran AC tiga kali lebih gedhe dari AC ruangan biasa ini, sukses menusuk kulit tipisku yang kehilangan lemak selama puasa.

Jatah tidurku tidak menentu, tergantung angin, kemana kamu membawa. Fisikku berlomba antara ke kampus, pulang ke rumah dan RS. Hari pertama, aku berhasil memarkirkan tubuhku 24 jam di RS, lengkap dengan kuda besi tercinta. Terjaga hingga menjelang sahur atau hanya sekedar menunggu, menunggu dan menunggu.

28 Aug 2011

Karena Ini Salahku




Kawan...

Dalam derasnya lingkup masalah dan bergulirnya kesenangan, senantiasa hadir kelapangan dalam kesedihan, juga problema dalam senyuman. Seperti kejedot tiang, sama juga dengan kesambet boomerang dari arah depan. Perjalanan waktu memberitahukan saya tentang sebuah alpha. Kesalahan lama yang tidak pernah ku sadari bahwa efeknya sedemikian besarnya. Sedemikian rumitnya, hingga logika pun tidak bisa dijalankan.


Sobat...

Pikiran ini tertindih oleh massa yang tak terdefiniskan, begitu berat. Hingga udara pun enggan melewati nafas, juga darah yang tiba-tiba mengendap pasrah. Otak ku terhenyak beberapa hari untuk mendefinisikan semua kisah tentang masa lalu. Kisah yang tak tergantikan oleh apapun, namun tiba-tiba hilang bersama gerusan kisah masa kini. Masa lalu itu, indah tak terperi. Dia memberikan relung kasih bersama serpihan makna yang tak ternilai. Terlalu berlebihan untuk memaknai, tapi tak jua hilang walau kisah sudah berganti.

Rekan...
Rasa salah ini membuncah. Awalnya, aku seperti orang pingsan, amnesia dengan masa lalu. Bahkan merasa sok tidak tahu, sok tidak ingat. Seperti jalan logika, aku selalu ingin melangkah dalam setiap serakan masalah di depan mata. Bukankah masalah ada untuk diselesaikan, bukan ditangisi? 

20 Aug 2011

Air Mata Laki-Laki



Ya Allah...

Saat tangan tak bisa menjangkau
Saat kaki tak bisa melangkah
Saat tanya tak menemukan jawaban
Saat pikiran berbenturan keras
Saat ratapan itu mengiba lepas

Aku hanya bisa berdiam diri
Tak tahu diri
Mematung tak berarti
Menunggu sampai entah kapan

Menantinya
Hingga waktu menjawabnya
Bersama dengan rintihan yang terus mengalun

Ya Allah....
Salahkah jika aku menagis?

"Aku dibesarkan dalam lingkungan dimana menangis adalah sebuah kelemahan"

19 Aug 2011

Sekolah, Untuk Apa?




Oleh: Rhenald Kasali

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang "salah kamar". Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.

Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.

17 Aug 2011

Seni Menertawakan Diri (season 3)



“Kamu nggak ketilang Da?”

“Nggak lah, kan aku juga bawa SIM dari Surabaya dan STNKmu”

“Serius?”

“Ya boi. Tapi tadi sempat ada razia Polisi. Eh, pas sudah mengeluarkan SIM dan STNK, polisinya dengan judes menyuruh kita jalan terus tanpa diperiksa. Tahu gitu kan kita tidak usah berhenti?”

“Hahahaha....syukurlah..”

Saya merasa ada yang aneh dengan teman saya ini. Dari gelagat tawanya sepertinya ada sesuatu yang benar-benar lucu, tentu bukan dari cerita ku sebelumnya. Dan seperti biasa, selalu ada udang di balik rempeyek. Misterius, khas pribadinya.

“Da, tau nggak?”

“Apa?”

“Untungnya kamu nggak ketilang”

“Lha kenapa”

“Ya iyalah, itu kan STNKnya sudah mati beberapa bulan yang lalu”

“Asem! Jadi dari awal kamu sengaja supaya SIMku disita di Jakarta?”

“Hahahaha...,” tawanya semakin keras. Lepas.

16 Aug 2011

Belajar Senyum :-)



Air mata terkadang lebih spesial daripada senyuman. Karena senyuman bisa diberikan kepada siapa saja, tapi air mata hanya bisa diberkan kepada orang yang kita sayangi dan cintai. 

Jika kita tidak bisa menjadi pensil untuk menulis kebahagiaan orang lain, setidaknya kita bisa menjadi penghapus untuk menghapus kesedihan orang lain.

Setetes air mata kesedihan yang kita hapus, maka sejuta kebahagiaan yang menanti kita.

Laa tahzan, innallaha ma'ana....

12 Aug 2011

Seni Menertawakan Diri (season 2)



Dufan di depan mata? Matanya siapa? Matanya Kingkong?

Di peta, jalan itu lurus terus, memotong kawasan Jakarta Pusat sampai di ujung peta, ANCOL, Jakarta utara. Sekali lagi, peta tak semanis apa yang tertera. Jalan lurus ini penuh dengan kemacetan luar biasa ditambah dengan lampu merah yang angkanya sampai 150 detik! Menunggu dari merah menjadi hijau pun bisa disambi dengan ngopi sejenak.

Satu lebih seperempat jam kita baru sampai di depan. Warna punggung kaki dan telapak tangan saya memikri, dari sawo busuk menjadi semakin busuk. Sementara pantat saya seolah sudah menjadi cetakan sama dengan tekstur jok sepeda ini. Benar-benar sempurna!

¬¬¬¬¬¬¬

Di Dufan.

“Nggak pengen nyoba lagi?” tanya Mas Dede, aktor utama cerita ini pasca diputar-putar oleh wahana Halilintar, kereta ekspres setengah menit.

“Boleh, tapi nanti saja,” ujarku ringan sambil menahan tawa selepas melihat muka Lutfia yang merah padam, mirip kepiting rebus dengan saus tomat, haha.

9 Aug 2011

Seni Menertawakan Diri (season 1)



Apalah arti keluguan, jika lugu itu berkonotasi sebuah kebodohan. Menjelma menjadi aksi ketololan akut. Bermetamorfosa menjadi muka yang hobi mringis, menertawakan sang pemilik tubuh. Senyum keterpaksaan yang lahir dari ketidakberdayaan menghadapi kenyataan. Tapi, justru inilah seni. Sebuah seni untuk menertawakan diri sendiri. Aneh kan?

¬¬¬¬¬

Tiga belas jam pasca pantat saya beradu dengan kursi kereta, mata saya tiba-tiba diadu dengan Kopaja yang hendak men”cium” bajaj yang kita tumpangi. Maksrooot, main srobot bung! Hingga hampir bersinggungan dengan sisi bajaj, tak sampai semeter! Mungkin, Lutfia yang baru kali pertama naik kuda besi beroda tiga ini, sudah istighfar 33x! Asap hitam pekat dari knalpotnya sungguh mesra memeluk kita yang belum mandi air, tapi sudah mandi keringat seharian ini. Sempurna!

Untuk menikmati fasilitas eksklusif nan menantang adrenalin tadi, saya harus merogoh kantong 30ribu. Padahal angka itu sudah saya tawar sama seperti menawar harga bayam di pasar, huft. Memang, Ibu Kota sangat amat sungguh lebih kejam dari pada Ibu tiri? Jama’ah...Oh...Jama’ah, betul nggak?

Selamat datang di Jakarta!

Eh, habis ini kita mau kemana? Terdiam. Menggeleng. (#bingungnangalau)

Silahkan dinikmati sebuah memoar: Catatan Perjalanan Orang Udik Masuk Kota.

¬¬¬¬¬¬¬

Di kawasan Sunter.

Tips paling jitu mensiasati hidup sebagai musafir adalah: carilah gratisan dimana pun kesempatan itu ada. Kalau pun tidak ada, buatlah kesempatan itu (#mekso). Yap, agenda pertama kita adalah mencari gratisan. Tepatnya meminjam sepeda motor seorang teman yang kerja di sini. Eh, tak dinyana, kita dapat bonusan berupa pinjaman dua helm plus peta.
Akhirnya, bermodalkan sepeda motor dan peta pinjaman, kita memulai perjalanan ke barat mencari kitab suci, hehe (#lebai1).