25 Sept 2010

Lebaran Itu...



Niat hati memborong segudang daftar tugas yang bisa saya kerjakan selama lebaran kali ini.  Nyatanya tidak sampai separuh bisa saya selesaikan. Selalu ada saja alasan untuk melepaskan diri dari rutinitas dan kepenatan kota Surabaya. Waktu lebaran sepekan di rumah sendiri begitu berharga. Melahirkan banyak inspirasi dan kesadaran diri untuk senantiasa melangkah. Ini adalah seruas kisah ku selama lebaran 1431 H. Sederhana namun semoga bisa bermanfaat.

Halal bi halal. Momen rutinitas namun selalu ditunggu setiap umat muslim Indonesia. Tidak berbeda pula dengan seluruh umat muslim dari Sabang sampai Merauke, saya pun juga turut berlalu lalang dari rumah satu ke rumah sampingnya. Jika di masa kecil saya harap-harap cemas seberapa banyak uang yang bisa ku kumpulkan, menjelang gede saya menghitung seberapa kuat kaki ku melangkah ke rumah saudara ku.

Alasannya sederhana, saudara saya terlampau banyak dan hanya berkutat di dua desa. Dari Bapak ada 10 Pak-Bu Lek dengan 22 sepupu dan 13 keponakan. Dari Emak ada 5 Pak-Bu Lek dengan hanya seorang keponakan. Itu belum termasuk mertua dan saudaranya kakek dan nenek yang mbuletisasi. Juga belum saudara kakek dan nenek dari Mbah yang sama. Kalau diruntut detail silsilahnya sampai 4 sampai 5 generasi teratas, saya hanya bisa terperangah sambil manggut-manggut kebingungan. Dijelaskan berkali-kali juga tetap saja bingung, terlebih untuk menghafalkan nama, nyerah. Menghafal nama keponakan saja sering tertukar.

Jadi kalau seluruh keluargaku dikumpulkan menjadi satu, dua rumah pasti tidak cukup. Harus antre kalau mau ke rumah kakek/nenek. Atau kalau tidak mau, lantai rumah siap menampungnya. Dari sini saya harus pinter-pinter memilah kemana kaki ku harus melangkah sebelum terkapar karena capek dan panas. Butuh dua hari untuk thowaf dua desa tersebut. Itu pun masih ada saja yang tidak saya kunjungi. Lupa. Payah kan?


18 Sept 2010

Ramadhan di Dolly (#feature edition)


Jujur saya cukup tergugah oleh tulisan saudari Lisana tentang opini buka bersama bulan Ramadhan bersama  Sanggar Alang-Alang. Niat awal ingin menyajikan kisah Ramadhan di Dolly ini dalam bentuk berita dengan model tulisan feature yang bersambung di website ITS. Namun justru malah menjadi tulisan yang  tak tahu aturan. Cukuplah tulisan ini menjadi tumbal daripada tidak ada tulisan sama sekali. Semoga bermanfaat.
*****
Musim kemarau. Matahari kota Surabaya sedang tidak hobi tersenyum. Terlebih jika jarum jam sudah merangkak diatas angka 10. Suhu yang senantiasa diatas 30 derajat Celsius setidaknya sudah cukup membuat orang malas keluar rumah. Tidak mengherankan karena ramadhan tahun kemarin saja, suhu kota pahlawan mencapai titik maksimum melewati rekor 35 derajat. Cobaan untuk orang yang sedang berpuasa. Juga menjadi nikmat untuk tidur siang hari.

Kaki kecil itu justru melangkah terus. Melawan aspal jalanan yang menggeliat, memuai tak beraturan. Menapaki jengkal demi jengkal kilometer jalan. Kira-kira 30 menit dari kampus ITS Sukolilo. Cukup jauh untuk skala perjalanan mahasiswi. Nyatanya gempuran panas hari itu tidak cukup untuk melelehkan semangatnya demi menemui malaikat-malaikat kecil di sudut kecil kawasan prostitusi Dolly.

Kegiatan sosial rutin setiap hari minggu masih tetap berjalan walaupun ramadhan telah tiba. Bahkan saat masa liburan panjang mahasiswa, aktifitas ini tetap berlangsung. Memilah antara hasrat pulang kampung, suksesi himpunan, raker, musyker, rapat, kerja praktek, kerja dan aktivitas kampus lainnya. Memang tidak banyak jumlahnya namun senantiasa ada jalan tambah sulam selama setahun lebih kegiatan ini berlangsung.

“Saya suka dengan anak kecil,” sebuah alasan sederhana dari seorang pengajar, begitu kami biasanya menyebut setiap mahasiswa yang rela menjadi relawan sosial di sini.

4 Sept 2010

Air Mata Laki-Laki



Salahkah jika seorang laki-laki menangis? Jika iya, adakah alasan logis yang bisa diterima semua orang? Jika tidak, mengapa semua perempuan membenci laki-laki yang menangis?
*****
Dia tidak menangis. Juga tidak sedang ingin menangis. Setidaknya, guratan wajah serta sorot matanya sudah cukup menjawab teka teki itu. Polah tingkahnya juga sangat lincah, dinamis. Tidak ada pula ada perubahan dengan logat bicaranya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang membendung air mata. Senyum simpulnya. Ceria bersama raut muka yang teduh.

“Terima kasih mas atas kedatangannya. Gimana kabar teman-teman? Naik apa ke sini?,” tanyanya singkat.

“Alhamdulillah, sehat selalu Don. Ini tadi rombongan naik sepeda motor, takut macet di Porong kalau bawa mobil. Kabar Ibu gimana?,” jawab Adam, pimpinan rombongan kami.

2 Sept 2010

Bermalam di Dolly



Akhirnya saya bisa mewujudkan impian saya. Harapan yang sempat ditentang oleh beberapa kawan saya. Cukup ekstrem dan tidak mengindahkan adat manusia normal. Takut terjadi hal-hal yang diingankan sekaligus hal yang tidak diingankan. Ibarat ibu hamil yang ngidam, tindakan ini merupakan obsesi komplusif bersama dengan teman sejawat saya terdahulu (sekarang dia harus merantau). Tahu apa itu kawan? “Bermalam di Dolly”.

Yachhh… Akhirnya saya bisa bermalam di Dolly kawan. Menikmati setiap jengkal nafas kehidupan di sini. Tapi jangan berfikir yang iya-iya lho! Saya berhasil ke sini karena saat itu masih bulan Ramadhan. Jadi tak satupun wisma dan tempat karaoke buka. Semua bisnis esek-esek dan hiburan di sini diliburkan total. So, jangan harap akan menemui gempita perempuan jalang dengan pakaian minimnya atau pun lelaki hidung belang di sini. Di sini, tenang sekali. Sama seperti daerah kampung di belahan kota Surabaya.

Tahukan kamu kawan? Obsesi komplusif saya adalah mengunjungi “kedai malam” ini saat hari biasa. Ikut masuk ke dalam dunia mereka. Menyusuri tiap lekuk, jengah, panas dan dinginnya wilayah otonomi khusus ini. Ikut hadir dalam kehidupan mererka. Menjadi mereka. Menjadi anak-anak yang setia ikhlas menyaksikan dunia kecil dan gemerlapnya klakson hiburan di sekitarnya. Yo opo critane arek cilik urip nang daerah koyok ngono?