6 Nov 2013

Cincin Lelaki



Tak apalah saya posting curcolan geje yang masuk dalam kategori “Khusus Dewasa” ini. Semoga tidak salah tafsir saja (bagi yang mau baca aja,hehe). Harap maklum kalau over-melankolis isinya.

Ada suatu gejala tak terdefinisikan setiap kali saya melihat cincin melingkar di tangan seorang lelaki. Ini bukan tentang akik atau cincin jimat lho ya. Ini tentang cincin komitmen sehidup semati. You Know What.

Saya tak hendak membahas berapa harga cincin atau pun harganya, tapi si pemiliknya. Mereka itu memiliki aura yang tak tampak namun bisa dirasakan orang sekitarnya. Rata-rata, dari enam orang pemilik cincin yang setiap hari saya temui itu, selalu memancarkan wajah sumringah sekali. Bahkan, dalam kondisi penat sehabis lembur dari pagi sampai jam 12 pun, wajah mereka berbeda dengan wajah para jomblowan #ngacadirisendiri

Sebagai Jomblowan, mereka sering sekali berkoar-koar kepada saya dengan slogan “menikah membuat mereka jauh lebih baik dan bahagia”. Tak lupa mereka memamerkan hal-hal so sweet yang membuat para jomblowan cuman bisa bilang “seneng banget pamer”, hahaha.

Yang paling “sok pamer” adalah Bapak senior pembimbing saya yang hampir setiap hari membahas tentang hal ini. Mulai dari iseng-iseng tanya hal-hal menyerempet ke sini, atau terang-terangan pamer betapa indahnya pernikahannya, atau yang paling sering lagi adalah macok-macokin saya dengan yang lain. Dan, yang terakhir ini selalu berakhir geje dan garing karena saya tidak begitu faham dengan logika orang Barat (Jakarta-Bandung). Ujungnya, saya cuman ditertawakan bersama.

Pernah suatu hari, saya curcol soal berat badan yang sangat susah sekali naik. Bahkan seumur hidup, saya hidup dengan berat badan kurang dari normal alias kerempeng. Berikut komentar mereka.

Bapak 1 “Saya bisa gemuk seperti ini itu setelah menikah”

Bapak 2 “Setelah Bapak menikah nanti, pasti bisa gemuk”

Bapak 3 “Iya, pernikahan sangat mempengaruhi kondisi fisiologis. Dan hati menjadi lebih tenang”

Saya “Jadi saya harus menikah dengan segera supaya gemuk?”

Dan mereka mulai memacok-macokan lagi dengan ujungnya garing krik krik krik.

Positifnya, saya banyak belajar dari mereka yang sudah berpengalaman. Terkadang saya ngiri juga sama mereka, hehe. Misalnya, Bapak 3 yang mengidap sakit mag, setiap hari dibawakan bekal makanan oleh istrinya dengan ditulisi “pagi, siang, malam” dan setiap jam makan selalu ditelpon! Dan tahukan apa ringtone handphone Bapaknya? “Cinta Pertama dan Terakhir”-nya Sherina, romantis gak?

Yang paling so sweet tentu Bapak 2 yang barusan kemarin memamerkan foto anak pertamanya. “Berapa usianya, Mas?” tanya saya. “Baru satu bulan, namanya Fahri dari Bahasa Arab yang artinya Membanggakan. Anak yang membanggakan orang tuanya,” jawabnya dengan wajah yang bener-bener bahagiaaaaaaaaaaaa. #lebaykumat

Terakhir, dari curcol edisi dewasa ini, saya akhiri dengan pertanyaan yang sering dilontarkan oleh mereka “Kapan Menikah?”. Dan saya cuman tersenyum dengan jawaban diplomatis alias ngeles. Hehe


Sekian.

1 Nov 2013

Memilih Usia



Ini mungkin sebuah refleksi saya yang agak serius levelnya. 

Beberapa hari terakhir ini, saya hampir setiap hari berada dalam posisi sebagai orang baru dan unyu dalam satu komunitas para "tetua". Beruntungnya bagi saya, secara pribadi saya merasa paling muda dan paling menggemaskan #toyorsendal. Selalu merasa sebagai junior, yang diperhatikan, dibimbing dan di-adik-kan. Jadinya saya tersugesti untuk menjadi adik yang ingin selalu diperhatikan dan diajari oleh sang kakak-kakaknya. Kesannya saya menjadi lebih manja dan santai.

Pada kenyataannya, mayoritas hidup[ yang saya alami, saya selalu berada di atas usia saya. Menjadi pendengar, penengah, 'menasehati' atau sekedar menjadi pihak yang selalu mengalah demi sang junior. Dan, inilah letak paradoksnya.

Menjadi orang dengan pikiran sebagai 'adik', menjadikan saya merasa lebih muda daripada usia sendiri. Ini murni sugesti, tapi saya rasakan lebih membahagiakan dari pada merasa lebih tua dari usia sendiri #pengalamanpribadi

Namun, dalam waktu bersamaan, saya juga merasa bahwa saya amat kerdil. Pengalaman saya, kedewasaan saya, kepintaran saya, keterampilan personal saya, semua mendadak lenyap ketika saya berada di tengah mereka. Saya mengerut menjadi seorang Hobit berpikiran manusia seperempat abad. Menyedihkan memang.

Tapi positifnya, di depan orang dengan usia dan pengalaman hidup yang jauh menjulang itu, saya menjadi pembelajar hiperaktif. Setiap senti jejak kehidupan para senior itu menjadi setetes demi tetes ilmu kehidupan yang membangun saya. Kelak. saya pasti akan menjadi mereka, pikir saya singkat. 

Walaupun kadang saya lebih suka dibully sama mereka, tapi saya mengamati setiap sisi lain dari mereka yang saya kagumi. Everyman is special, mereka menjadi diri sendiri dengan umurnya dan juga dengan perbedaannya dengan saya -yang merasa masih muda.

Usia bertambah bukan soal keniscayaan, namun juga sebuah pilihan untuk menentukan letak usia kedewasaan mana yang kita pilih untuk melewati jalan kehidupan di depannya.