22 Jul 2011

Paradoks



Ada yang berbahagia mendapatkan medali di Pimnas, ada yang cemberut tidak mendapatkannya. Padahal sudah optimis. Ada yang hampir menangis tidak lolos ujian Lintas Jalur, ada yang teriak-teriak di Hand Phone karena bahagia, lolos. Ada yang sumringah disambut Rektor, ada yang menjamur gara-gara menunggu. Ada yang ingin Sholat Isya' khusyu, ada yang telephone berkali-kali, arrrggghhhh....!

21 Jul 2011

Little Act (1)



A word's just a word
Until you mean what you say
And love isn't love
Until you give it away

Sejarah itu membentang. Menyeruak bebas bersama manusia, kebaikan yang terserak dengan gunungan kesalahannya pula. Baik-buruknya adalah harta karun, penuh misteri dan senantiasa tanpa ujung kepastian. Menjadi perburuan para pencari publisitas, yang terkadang benar, juga terkadang menutupinya. Sama seperti demonstrasi.

Saya tidak percaya demokrasi. Ia yang hadir bersama demonstrasi, bagi saya seperti kisah legenda Cleopatra –begitu legendaris, namun tidak pernah diketahui bagaimana kehidupannya, juga jasadnya. Atau tak ubahnya peringatan Hari Kebalikan oleh Spongebob bersama Patric, bentuk penerimaan mutlak atas doktrin yang tidak pernah ada. Diada-adakan. Mengada-ada. Namun, inilah sejarah. Benar-salahnya bukanlah esensi.

Bagaimana nalar bisa berkata “iya”, jika justru sepanjang Tanah Air ini dihuni manusia, tidak pernah ditemukan bentuk demokrasi atau pun orasi demonstrasi. Perlu ditekankan, terlebih orasi demonstrasi. Bagaimana suara manusia bisa disamakan dengan suara Tuhan? Sementara dengung keras demokrasi tertebar di hampir seluruh penjuru bumi, bersama para diktator di singgasananya. Lengkap dengan ketimpangan pemenuhan hak para rakyatnya.

Kata dari mulutnya itu mengular, berjejer tak tahu aturan dengan mengatakan atas nama rakyat, demi golongan marijinal. Adakah rakyat yang merasa sadar bahwa dirinya dibela, diperjuangkan oleh para demonstran itu? Atau sebanyak apa rakyat yang nasibnya berubah karena demonstrasi? Toh, para demonstran juga kebanyakan bukan dari haluan proletar, bukan pula rakyat marjinal.

Merasakan ruh kaum pinggiran, menjadi bagian dari mereka, adakah para demonstran di situ?

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

We've all gotta give
Yes, something to give
To make a change

Sepuluh meter di atas permukaan aspal, panas. Radiasi matahari membuat kilatan hitam di kaki saya semakin tidak bisa dibedakan mana warna kaki, mana aspal. Satu setengah meter di atasnya, pengap. Beginilah rasanya pemanas otomatis yang tiba-tiba aktif di pusat saraf manusia. Helm hitam yang berpadu dengan kulit sawo busuk ini berpadu, meningkatkan nilai koefisien perpindahan panas menuju kepala.

Siang ini, matahari begitu sangat ceria. Dia tersenyum merekah, menatap seluruh penjuru kota Surabaya dengan senyum membara. Lumayan hangat, otak bagian komparasiku berontak. Ingatlah dua tahun kemarin. Angka 37 derajat celcius hampir setiap hari bisa ditemui. Atau setahun kemarin. Saat setiap minggu pasti diagendakan bermain hujan bersama-sama. Atau basah kuyup bersama. Ah, disyukuri saja. Tampaknya tubuh ini juga lebih mampu beradaptasi dengan iklim Surabaya dibandingkan tujuh tahun silam.

17 Jul 2011

Send It On





:: Lyric ::

A word's just a word
'Til you mean what you say
And love isn't love
'Til you give it away

We've all gotta give

Yes, something to give
To make a change

Send it on, on and on

Just one hand can heal another
Be a part, reach a heart
Just one spark starts a fire

With one little action

The chain reaction will never stop
Make it strong
Shine a light, and send it on

Just smile, and the world

(Just smile, and the world)
Will smile along with you
That small act of love
Is meant for one who will become two

If we take the chances

To change circumstances
Imagine all we can do

If we send it on, on and on

Just one hand can heal another
Be a part, reach a heart
Just one spark starts a fire

With one little action

The chain reaction will never stop
Make it strong 

5 Jul 2011

Memburu Peluang (Emas)


"Rasanya, empat tahun kuliah di ITS itu selalu dipermudah"

Ujar seorang sobat karib saya sambil terus mengunyah makanan. Hari itu, dia juga baru saja selesai sidang Tugas Akhir (TA) dan besoknya akan dilanjutkan sidang kedua. Dia pun melanjutkan kisahnya.

"Kuliah tidak membayar, bahkan sempet dibayari"

Enak sekali ya? Sejak awal masuk kampus Perdjoeangan ini, dia dibebaskan dari biaya akademik hingga detik ini. Untuk tempat kos, tahun pertama dia tinggal di Ma'had Ukhuwah Islamiyah yang hanya membayar 50 ribu per bulan. Selanjutnya, dia masuk asrama Pesantren Mahasiswa SDM IPTEK, dibayari pula. Tahun ketiga, dia masuk jajaran Pengurus Harian JMMI ITS, tinggal di sekretariat putra setahun penuh, gratis. Ditengah-tengah itu, dia juga menerima beasiswa lainnya. Saat ini, dia ngekos bersama teman-teman seperjuangannya. Enak ya?

"Ya, hanya perlu keberanian mengambil kesempatan," ujarku (sok) bijak.

Bayangkan, kedua orang tuanya adalah buruh pabrik yang pendapatannya pas-pasan -kalau tidak mau dibilang kurang. Dari desa yang dikepung perusahaan besar, hampir sama dengan cerita yang saya alami. Hanya saja, dia kalem, begitu kiranya kesan pertamaku saat perkenalan liqo' tiga tahun silam. Dan tentunya jauh lebih pinter daripada aku, IPK terakhir yang berhasil saya intip 3,7..(sekian).