30 Oct 2011

Aku Malu




Lamat-lamat ia berjalan di atas jalan dan langit yang menghitam ini. Tubuh ringkihnya tidak sepadan dengan senyuman yang ia umbar setiap detik. Ia juga tersenyum padaku.

"Koran Mas, koran.."

Saya terdiam. Hanya membalas dengan sebalut senyum kecil. Ingin rasanya aku menumpahkan rasa malu ku saat itu juga. Di bawah lampu lalu lintas yang sedang memerah. Bersama lolongan suara puluhan kendaraan yang menderu. Aku malu dengan nenek ini. Beliau tersenyum, semangat mengais rejeki masih membubung tinggi, walau hari sudah menjelang tengah malam. Beliau juga masih tersenyum padaku, kepada semua orang.

Beliau tersenyum lagi. Raut mukanya, tampak lebih tua dari nenek saya yang sudah memiliki 14 cicit. Beliau sungguh nampak sangat tua. Tapi, senyumnya mampu mengaburkan semuanya. Semangatnya, melunturkan rasa malasnya. Gairahnya mencerahkan pekatnya malam itu. Tidak seperti aku.

Aku malu. Aku ingin menangis. (Sungguh) malu.

Amatir Tiiirrr

Ini gambar buatan adik saya, Dandy dengan modal PAINT. Entah gambar apa, haha

Meretas Dini Hari

Tengah malam. Meretas dinginnya air hujan yang berdenting bersama hembusan angin menjelang dini hari. Bersyukurlah, di jok sepeda motor sudah saya siapkan jas hujan. Lama, hampir sepuluh menit sengaja menelanjangi tubuh dengan balutan air yang merembes ke pakaian. Segar, itu sensasi pertama. Lama kelamaan, dingin juga. Sementara bulir air dari langit semakin keras, besar dan deras!

Beruntunglah, pikir saya. Walaupun kedinginan sementara. Dan belaian angin malam itu terasa sejuk, mendekati menggigil. Hingga sampai di Bundaran ITS. Apa? Di sini hanya gerimis rintik-rintik saja, sementara jas hujan saya sudah seperti habis dicuci. Balutan air yang tercecer di jalanan sudah menunjukkan kawasan sini sudah diguyur hujan sebelum. 


Tengah malam telah berlalu. Seorang anak manusia merayapkan kaki di antara kegelapan dini hari. Ia sendirian. Bercelana sambil menenteng tas hitam pula, ia semakin terlihat samar. Hanya wajahnya yang saya ingat, penuh dengan guratan lelah. Namun ia masih tetap bisa mengumbar senyum. Kuda besi ku berhentikan.


"Belum bisa pulang, masih nunggu hujan reda"

Itu jawabannya, masih dengan semangatnya untuk tersenyum dengan saya. Ya, walaupun saya juga tidak mengenal siapa dia, ia nampak akrab saja. Saya pacu kuda besi ini menuju Keputih. Tapi ini sudah terlanjut dini hari, terlambat. Kalah cepat dengan portal yang sudah tertutup.



"Nggak papa Mas, di sini saja. Di saya ngekos di gang 2D kok, sudah dekat"


Nampaknya ia sadar dengan baju dan celana saya yang sudah basah kuyup. Juga wajah saya yang terlihat sangat kusut (karena pada dasarnya sudah kusut), dan agak membiru karena dingin. 


"Oke,hati-hati"


Satu teman ku tambah dalam katalog hidupku. Walapun, esok harinya pasti saya sudah lupa dengan wajahnya. Benar-benar faktor T(u)A.

¬¬¬¬¬¬¬¬

"Males mas, engko malah dipikir wong homo"

Saya tertawa ringan, hampir ngakak. Padahal niat saya hanya ingin motret dia dengan latar kerumunan orang saja, tapi dia sudah antipati. Sementara di samping kanan-kiri, depan-belakang saya, berjajar muda mudi yang bercengkerama bebas. Bercahayakan temaram lampu penerang jalan yang menyilau kuning, semua nampak eksotik, klenik (?). Di tengah kesibukan penjual yang mondar mandir, mereka nampak selaras dengan alunan jalan yang dilewati aneka kendaraan. Nampak seimbang.

Inilah kawasan jembatan Middle East Ring Road (MERR) di tengah malam minggu. Ya, saya malam mingguan di sini. Bersama seorang teman -yang justru adalah laki-laki. Memang disengaja untuk membicarakan sesuatu. Yang teramat mendesak, penting dan tertunda sejak lima jam sebelumnya.

Namun, ia yang hadir bersama wajah cemberutnya karena Chelsea kalah 3-5 dengan Arsenal, justru masih sempat bercanda dan tersenyum. Walaupun (lagi), dia juga harus menunggu cukup lama. Kita diskusi. Mengobrol. Tertawa. Dan pulang bersaing dengan hujan.

Ditemani segelas Bir Bintang isi STMJ :)

Kaget: ada penampakan HANTU! Hahaha

Sudahlah, lupakan hantu itu. Setidaknya sebelumnya saya sudah malam mingguan berlima dengan kawan-kawan ITS Online di Taman Mundu. Dari tidak mengertinya saya dengan orang yang saya bonceng, Lutfia yang sayang anak ehh...keponakan maksudnya, Rani yang minta ampun polosnya serta Icha yang jeprat jepret sana sini sono. 

Juga dengan Boneka Lumba-Lumba Pink jam setengah delapan malam sebelumnya. Jangan lupa dibuatkan baju koko yang pas ukurannya plus foto eksklusif 15R The Man Behind The Koko, haha. The Last, semoga lekas sembuh ea kaka :)

24 Oct 2011

Unnamed Day

If we show a little love
Heaven knows what we could change
So throw a pebble in the water 

Can stir the widest ocean
-Make A Wave

Tengah malam. Tak satu pun orang bisa menangani perkara esok hari. Sebenarnya sangat simpel, tapi bukan hal sepele. Menjadi pengisi materi Pelatihan Jurnalistik di Kopma dr Angka. Simpel kan? Jauh-jauh hari sudah saya tugaskan ke Mbak Eka, tapi mendadak dia sakit lumayan memprihatinkan gara-gara ditinggal ikan Lumba-lumbanya ke luar kota (mungkin), haha. 

Saya ganti dengan Mas Muizz, dia siap. Eh, entah karena kutukan atau apalah itu namanya, dia juga sakit tiga hari menjelang hari H. Suaranya jadi mendesah-desah mirip Syahrini gitu, mungkin karena kebanyak manggung dan njoged bareng SM*SH, haha.

Mendekati jam sembilan malam sebelumnya, saya sempat telepon Mas Muizz. Pastinya saya khawatir, selain karena dia sakit juga karena pas rapat tadi kondisinya sungguh seperti orang yang tidak keurus, entah kemana istrinya, haha. (hobi menertawakan penderitaan orang lain)

"Ya Mas. Habis ini aku segera minum obat dan besok pagi minum jahe"

Simpel sih, saya sebenarnya bisa "mengorbankan" dia untuk menjadi pengisi. Tapi dengan kondisi seperti itu, saya justru kasihan dan tidak mentolo. Apa kata peserta jika pembicaranya ngomong mendesah-desah mirip kucing kebelet beol? Haha. Oke, saya batalkan, carikan kru lain.

23 Oct 2011

Tangis Perempuan





Saya selalu berada di posisi dilematis ketika berada di depan perempuan yang menangis di depan saya. Dengan sebab dan asal muasal apa pun, pasti saya hanya akan berdiam diri. Mematung tanpa suara. Sepi.


Saya juga tak hendak mengikuti alur tangisnya, apalagi menyambung rajutan wajah murungnya. Tak pula mendadak ingin tertawa, menertawakan penderitaan orang lain. Tidak pula untuk mencoba menenangkan, berharap tangisnya bisa segera reda. Saya hanya akan terus diam. Diam. Diam.


Tak satu pun dalam kapasitas otak saya yang bisa aktif menelaah mengapa saya harus diam, aktif, atau setidaknya berempati. Karena dalam suasana seperti itu, biasanya saya hanya bingung, terpaku dan tidak tahu apa yang seharusnya saya lakukan. Tidak ada logika dalam pikiran saya yang bisa menerima mengapa menangis itu menjadi hal yang wajar, terlebih menangis di depan orang lain. Lebih-lebih lagi, di depan lawan jenis.

22 Oct 2011

Mengenang Pejuang ITS (1)



Bagi saya, sejarah itu adalah kumpulan puzzle dari masa lalu. Baik-buruknya adalah akumulasi dari semua hal dari waktu yang telah berlalu. Juga tentang ITS yang tengah meretas masa gemilangnya sekarang. Adalah buah implikasi dari rintisan para pendahulunya. ITS adalah sebuah mimpi puluhan tahun yang menjadi kenyataan.


''Saya lahir 1927,'' ucap pria bertubuh tegap dan tinggi besar itu, khas perwira.

Rambutnya sudah memutih semua. Di usia yang terbilang senja itu, sehari-hari ia masih aktif melakukan aktivitas seperti biasa, juga masih masuk kerja, rutin. Tutur katanya pun masih sangat jelas. Ingatannya juga masih kuat. Bahkan jika sedang berbicara langsung dengannya, ia nampak jauh lebih muda dari umurnya. Ada aura kharismatik dari setiap ucapannya, juga kebanggaan pribadi saya atas kesempatan bertemu dengannya.

Beliau adalah Kol Laut Ir Marseno Wirjosapoetro, Rektor kedua ITS. Menjadi orang nomor satu di ITS selama lima tahun sejak 1964, hampir setengah abad silam. Sejenak, pikiran saya langsung terlempar ke lorong waktu puluhan tahun lalu. Membayangkan betapa kaya pengalaman orang yang telah membesarkan kampus perjuangan ini. Juga bersama gulungan waktu yang  telah berlalu, banyak prestasi dan inspirasi yang telah ia torehkan.

Sahabat LBK



"Assalamu'alaikum..."



Membuka pintu, kemudia celingak celinguk sana sini, memandang seluruh isi ruangan. Nihil, semua berwajah muda. Apakah ada salah satu di antara mereka adalah narasumber yang akan saya wawancarai. Semua masih tampak seperti mahasiswa!


Dan cling...

Ada satu wajah yang sangat familiar bagi saya sejak tujuh tahun silam. Waahhh, Mas Anom. Padahal niatnya menemui narasumber untuk mewawancarai terkait isu dan informasi seputar PENS, namun malah saya terkaget-kaget dengan kehadirannya. Sangat tidak terduga.

Dan pasca menemui pembina Tim Robot PENS ITS, Pak Nando -yang wajahnya jauh lebih muda daripada saya, dilanjutkan dengan nostalgia dengan Mas Anom, yang sudah menjadi Pak Anom Bestari, dosen Teknik Komputer PENS ITS. Beliau lulusan dari universitas di Malaysia dan yang ingin mengabdi di almamaternya dengan menjadi pengajar.

Pandangannya teduh, tutur katanya berkarakter, dan sangat ramah, jauh berbeda dengan saya. Masih sama seperti dulu, hanya pastinya pengalamannya sudah jauh lebih kaya. 

17 Oct 2011

Romansa Lumba-Lumba (Season 2)




Hoe: "Drin, ada 'sesuatu banged' yang mau aku sampaikan ke kamu"

Ald: "Apa itu Mas?"

Hoe: "Ini(sambil memberikan bingkisan)"

Ald: "wahhh...makasih banget Mas (buka kotak bingkisan)"

Hoe: "Drin, sebenarnya...(bagian ini bisa diisi sendiri, ini soal multiple choice, sesuai kehendak hati)"

Ald: "Wah, akhirnya hubungan kita terekspos media"

Hoe: "Ngga papa Drin, gimana?"

Ald membuka bungkus bingkisannya (sementara) dan membaca surat *int*nya.

Ald: "Kok buaya Mas? Yang suka boneka buaya kan Mas Erik"

Kisah romansa pun berakhir di sini. Ald lebih memilih Rik dengan memberikan boneka itu kepadanya.

Rik: "Saya itu suka boneka Buaya dan Ikan"

Boneka buayanya sudah di tangan, tapi ikan Lumba-Lumbanya masih tersangkut di hatinya esy :P

14 Oct 2011

Curhat Korlip (1)

Ini adalah sebuah cerita delima, dari sebuah perjalanan dan pengalaman menjadi seorang Koordinator Liputan a.k.a Korlip.

Teramat Intim
Hahahaha (suara bayi, ringtone hape saya)
Ia sangat hiperaktif mulai dari pagi hari, siang, sore, malam, tengah malam, dini hari sampai di tengah-tengah asistensi pun seperti Hape yang tidak tahu diri. Inilah salah satu keintiman saya dengan dunia perkorlipan. Hampir setiap waktu ada saja SMS/Call masuk dengan beragam persoalan.

Untuk satu tulisan saja, saya harus memberitahu penugasan, mengkonfirmasi pada hari H, memastikan tulisan naik dan tentunya memastikan redaktur buat ngedit. Satu tulisan mungkin minimal 3 SMS, itu belum jika ada yang bermasalah dengan jadwal, narasumber, atau beragam alasan lainnya. Belum termasuk jarkom dan woro-woro yang harus dikirim ke-16 personel semuanya.

Berjilbab dan Berkacamata



Ihwal tentang hal yang diulang-ulang berkali-kali dengan bermacam-macam nada-nada emosi.

Y : "Ya, pokoknya pertama harus wanita"

N : "Ya iyalahhh...Kalau itu mah nggak usah disebut-sebut"

Y : "Hehe...(nyengir)...berjilbab dan berkacamata"


N : "Ohww...Simpel ya, itu kan banyak sekali di jurusan kita. Mau pilih yang mana?"

Y : "Kalau bisa yang akhwat"

10 Oct 2011

Serba Repot

"Empat kali dia melakukan kesalahan yang sama, dan keempat kalinya pula aku yang harus minta maaf. Apakah aku yang telampau keras, atau memang dia yang super sensitif? Serba repot ya, heran"

8 Oct 2011

Mendadak Madura





Derai tawa itu terurai riang di antara siulan kata pagi itu. Senyuman itu teriring terus sampai tawa pecah tak beraturan. Ia menggelegar ritmik dengan desiran hawa pagi hari. Empuk, menakjubkan. Ini bukanlah ajang nostalgia, juga bukan wahana temu kangen, tapi inilah hari kebersamaan kami. Entah atas nama apa. Tanpa nama.

Berempat, minus satu orang, kita merencanakan sarapan super aneh: sarapan di Bangkalan, Madura. Rencana yang memupuskan harapan seorang teman untuk mengikuti job interview di waktu yang sama. Sudahlah, memang ini kan rencana dia sendiri yang (sengaja) ditunda-tunda sejak lama.

"Hah? Iki beneran sido ta? Padahal jam 10 aku ada janji dengan atasan," ia berteriak frontal, khas seperti kebiasaan dirinya.

"Kan wes di SMS dari kemarin, mbok pikir mbujuki?" sergah ku tak kalah lantang.

"Yo opo sih? Iki wes dibela-belani teko, ngenteni sejam lebih, iki malah arep kabur?" 

"Tak pikiran SMS kemarin cuman guyonan, nggak serius," kilahnya.

Dan suasan semakin runyam dengan ketabahan ekstra dari Opi yang sudah sedari sejam menunggu tapi berujung nada protes dari Rifai. Tanpa aba-aba, Anas yang paling telat datang pun, hanya tersenyum mringis menyapa kita dengan balasan senyuman getir dari kita. Gersang, meranggas kering. Tersapu angin kemarau pelan.

Tahukah apa yang kita bicarakan pertama, "Kapan iki undangane rek?". Membicarakan pernikahan adalah konsumsi awal kita jauh sebelum menelaah bagaimana dan kapan kita berangkat. Justru di saat awal pertemuan setelah tiga tahun yang lalu, topik ini adalah hal umum yang biasa kita ulas. Sepertinya memang sudah masanya, bukan hal "tabu" untuk diperbincangkan atau bahkan dijadikan bahan tertawaan. Nah, apakah hal itu cukup pas untuk saya yang notabene lulus kuliah saja belum?

7 Oct 2011

EUREKA! A BOOK!


Alhamdulillah yah :)
Akhirnya terbit juga. Mulai tanggal 12 September bisa didapatkan di seluruh toko buku Gramedia se-Indonesia dengan harga Rp 39.800,-
Buruan beli dan dapatkan tanda tangan dan foto ekslusif langsung dari saya, hahaha
#norak!

4 Oct 2011

Kuliah, untuk Apa?



Untuk apa anda kuliah? Pertanyaan polos dari lulusan sekolah menengah di tengah aksi boyongan ke dunia kampus. Beragam jawaban terlontar dengan menjunjung keinginan masing-masing. Namun toh, ujungnya hampir bisa disimpulkan menjadi satu kata: kerja atau mencari uang. Itu saja, tidak lebih.

Tapi, apakah memang hanya itu tujuan dari  menuntut ilmu di level pendidikan yang hanya dinikmati 4,8 juta orang dari Sabang sampai Merauke ini?  Lalu, ada pertanyaan skeptis seperti ini: kalau hanya untuk mencari uang, mengapa subsidi miliaran rupiah itu tidak digelontorkan saja dengan mekanisme wirausaha  atau pembukaan lapangan pekerjaan saja?

Nyatanya juga, mayoritas benar saja. Semua lulusan perguruan tinggi dari yang apatis sampai aktivis, juga berujung hal sama: mencari uang. Juga yang idealis, kura-kura (kuliah rapat), kupu-kupu (kuliah pulang), orator demonstrasi, sampai seorang boikoter, semua berujung hal sama. Lihatlah, seorang presiden BEM, figur yang paling gampang dikenal dengan jargon dan wibawa kerakyataannya, ketika ia lulus juga bakal mencari uang, mencari pekerjaan.

Memang, bertambahnya usia selaras dengan semakin suburnya ego dalam diri. Bayangkan, jika saat kuliah, mahasiswa bisa berkoar-koar bebas dengan mengutarakan segala bentuk pembelaan terhadap rakyat, memberikan rapor merah kinerja pemerintah dengan aksi demonstrasinya, mengendurkan ambisi pribadi demi kepentingan publik, dan segala idealisme yang dijunjung tinggi di atas egonya.

Akhirnya: Sebuah Buku



PS: Wow, akhirnya terbit juga setelah keributan lama yang sengaja kita buat di kawasan prostitusi itu. Sudah nggak sabaran lagi :)