25 Jun 2011

Ironi Hidup, Sebuah Pembelajaran



Aku khawatir terhadap suatu masa yang roda kehidupannya dapat menggilas keimanan. Keimanan hanya tinggal pemikiran, yang tidak berbekas dalam perbuatan. Banyak orang baik tapi tidak berakal, ada orang berakal tapi tidak beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai, ada yang khusyu namun sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat tapi rendah hati bagaikan sufi. Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat dan ada yang banyak menangis karena kufur nikmat. 

Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak tapi tidak memberikan teladan dan ada pelacur yang tampil jadi figur. Ada orang punya ilmu tapi tidak faham, ada yang faham tapi tidak menjalankannya. Ada yang pintar tapi membodohi, ada yang bodoh tapi tak tahu diri. Ada orang beragama tapi tak berakhlak dan ada orang berakhlak tapi tidak bertuhan. Lalu diantara itu semua, dimana kita berada? 

- Imam Ali bin Abi Tholib -

21 Jun 2011

Pecundang Hidup....


Seberapa sering anda merasa gagal dalam hidup? Pikiran ini, sedikit atau banyak pasti menyeret ke alam bawah sadar. Menunjukkan kepada alur berpikir kita, bahwa kita tidak berguna, pesmistis, dan adalah pecundang!

Seberapa sering pikiran ini muncul, lebih sering pengaruhnya. Seperti jiwa ini, memikul tanggungan yang tidak pernah kita lakukan, hanya bergelayut gila seperti hantu. Dia hadir, seperti penghisap ruh. Menggerogoti, semangat hidup! Semangat berjuang!

Seperti hari ini, sama persis dengan hari-hari sebelumnya. Saat nafas semangat masih enggan menguap, mendekap paksa bersama deburan hawa panas. Pikiran liar ini justru bergairah penuh. Akankah asa itu terwujud? Jalan itu masih terlampau panjang? Akankah orang lain peduli denganmu? Atau pertanyaan sederhana, untuk apa kamu lakukan ini semua? Dan, akhirnya semua berputar. Terus berputar, seraya menyedot kerak darah dari otak.

17 Jun 2011

Anehnya Perempuan


"Toh, aku juga menyadari sebagai perempuan nanti akan jadi apa?," ujarnya pasrah. Atau mungkin pemakluman mendasar dari makhluk bernama perempuan.

Idealisme. Kata ini yang sedari tadi kita bicarakan, mengonggong keras tanpa mempedulikan ayunan masa di sekitar kita. Sebagai perempuan, dia memiliki suatu pegangan kuat yang dia junjung sebagai mimpi dan juga landasan hidup. Ia bermimpi, tentang suatu profesi masa depan yang tidak akan mengikatnya layaknya seorang pegawai. Tidak mau jadi PNS, juga tidak mau menjadi pegawai. Bisa stres, kata dia beralasan.

16 Jun 2011

Keluyuran


Perjalanan nglayap hari ini. Untuk apa? Hanya perjalanan "dinas" tentatif. Ya, sambil mengisi kebuthekan pikiran dengan TA, Tugas Mekatro, UAS, aneka jenis deadline buku, hebohnya rumah, dan bala tentaranya. Saya paling tidak bisa disuruh diam hanya mengerjakan satu hal saja. Tapi saya juga punya hobi seteres akut kalau semua hal yang akan saya selesaikan justru masih di tengah jalan, mandeg atau bahkan buntu. Beban mental ini mirip hantu gentayangan. Suer! Duer!

Ya sudah, akhirnya hari ini saya membolangkan tubuh ini sembari memenuhi janji dan beberapa misi. Liburan sekalian menyusun misi strategi.

Pertama, saya datang ke Taman Bungkul. Kedatangan ini sempet tertunda karena saya harus menjaga adik dan rumah yang kosong tidak ada penghuninya. Menemui seseorang buat mbantu nambahi data skripsi. Daripada bengong, saya pun jeprat jepret sana sini. Tatataaa....Dapatlah gambar-gambar di bawah ini, cekidot!

Sebagai kawasan kompleks pemakaman tua, Taman Bungkul pernah didemo sama para Nahdhiyin tentang area taman yang dijadikan tempat mesum para pemuda-pemudi Surabaya. Peringatan gambar di atas hanya bukti saja. Para petugas satpol PP perempuan setiap hari berjaga rutin di sana untuk menjaring para pelaku mesum. Bahkan, siang hari pun, mereka juga standby. Siang itu pula. Ehmmm...


15 Jun 2011

Pikiran Aneh, Hantu, Atau?



Saya mendapatkan firasat. Ehmmm....apa benar-benar firasat? Atau hanya perasaan yang tidak menentu alias 94L@u akut? Entahlah, coba saya tanyakan kepada rumput yang bergoyang di depan rumah.

Hari ini, saya di rumah menemukan beberapa kejanggalan. Nyata, bukan bualan. Jujur saya tidak mau mencari sensasi dengan cerita ini.

Pagi hari setengah siang, sekitar jam 10 siang. Seperti biasa, sebalik dari kampus saya menjadi Ibu Rumah Tangga sejati. Dari mencuci, ngepel, nyetrika, nguras jeding dan lain-lain. Sampai saat saya membuang sampah dari 5 tempat sampah yang tersebar di seluruh penjuru rumah. Satu-satu, sampai yang terakhir ku buang di tong sampah raksasa depan rumah. Waktu saya mengembalikan tempat sampah terakhir ke tempat semula, saya dengan pandangan yang sangat jelas ada seorang wanita sedang mencari sesuatu di tumpukan sampah dalam tong sampah besar di depanku. Aku melihatnya sekilas dari kaca kamarku yang semeter jaraknya.

8 Jun 2011

Pluralitas, Dari Ini dan Itu



Buku ini sungguh sekuleristik. Judulnya Garis Batas, bercerita tentang kisah seorang traveller dan juga seorang petualang yang menjelajah Negara-negara bekas pecahan Uni Soviet di kawasan Asia Tengah. Yang semuanya berakhiran –stan. Dimulai dari Kirgiztan, Ubekistan, Afghanistan, dan lainnya.

Seperti menampilkan “Bhenika Tunggal Ika” dalam versi yang lebih luas, buku ini mengajak berdialog dengan pembaca bahwa dunia ini luas! Juga mengkritisi adanya garis batas yang sengaja diciptakan oleh sejarah untuk kepentingan manusia sendiri. Seperti dunia mistik, kisah petualangan ini sungguh layak dijamah untuk memahamkan dunia yang pluralis.

Lihatlah cuplikan dari beberapa bab yang sudah saya baca:

“Banyak yang berubah di Jayma Bazaar. Barisan kios para pedagang sutra Uzbek masih seperti dulu. Ibu-ibu berjilbab menaruh sepuluh tumpuk topi ak kalpak di kepalanya, berkeliling pasar menawarkan dagangan. Bocah-bocah sibuk menawarkan sabun dan kondom....”

Apa kata terakhir itu bukan salah ketik? Pikir saya pertamanya. Ternyata bukan, ini ada sebuah realita Negara Kirgizstan. Atau uraian bagaimana dunia sebenarnya terlampau dekat, hanya karena garis batas politik, semua terasa teramat jauh. Di bawah ini kutipan yang membuat saya ngiler tentang sejarah etnik dan keberagamaan peradaban manusia di dunia.

“Cita rasa makanan di Osh berkaitan dengan letaknya sebagai persimpangan budaya. Di sebelah timur, di balik barisan pegunungan Tianshan, ada Xinjiang Uyghur, bagian dari Republik Rakyat China, didiami etnis Uyghur yang masih kelompok bangsa Turki, beragama Islam dan pernah mendirikan Negara Turkistan Timur. Di sebelah barat Osh, ada lembah Ferghana, yang menjadi jantung kebudayaan bangsa Uzbek. Di sebelah selatan ada pegunungan Pamir milik Tajikistan. Di utara, ada lembah dan padang rumput yang vital bagi kehidupan bangsa nomad Kirgiz.”

Uyghur, kata ini mengingatkan saya akan pembantaian suku ini di tahun 2009 silam. Masih di negaranya, China, sesama saudara kandung suku Uyghur saling membantai dengan suku Han –yang wajahnya lebih oriental. Juga tentang suku Dayak versus Madura dalam tragedi Sampit di Negara kita. Sesama saudara! Saking terkenalnya, teman saya yang barusan dari Kalimantan malah menawari oleh-oleh kepada saya berupa tulang belulang para korban Sampit. Hah!?

5 Jun 2011

Egosentris


Hari minggu pagi di salah satu sudut hutan kampus UI. Dua anak kecil yang memiliki perawakan seperti saudara ini bertengkar hebat. Yang lebih besar, sekitar usia 4 tahun dengan ranting kayu di tangannya, memukul sepuasnya temannya sendiri yang jauh lebih kecil, mungkin usianya 3 tahun. Tak hanya memukul, dia juga mengambil ranting si anak yang lebih kecil tadi. Merampasnya dengan paksa. Hanya karena rebutan tempat untuk bisa leluasa memberi makan rusa di depannya. Padahal, kalau mau berbagi, ruang seukuran itu bisa muat 4 orang dewasa.
 
Ini yang dinamakan ego. Kecenderungan sifat untuk menang sendiri, diperhatikan, diberi kasih sayang, dan semua hal yang bisa membuatnya nyaman. Semua orang pasti memilikinya. Bahkan seorang bayi yang baru lahir pun, sudah punya ego untuk ”memaksa” diperhatikan orang lain dengan tangisannya.

2 Jun 2011

Kutipan Bijak Hari Ini

Bila 1% luas daratan di Indonesia diubah menjadi kebun sel surya dengan efesiensi 15%, maka dapat dihasilkan energi listrik sebesar 13.820 GWh/hari. Ini mampu mengganti jumlah kebutuhan seluruh BBM dan BBG di Indonesia, dengan syarat seluruh kendaraan diganti dengan bertenaga listrik. (Prof Atmonobudi Soebagio PhD, mantan rektor UKI)

The difference between children that convey their happiness is not the colour of their skin, but the light of their eyes :)

Clever or wise? Wisdom is like a wide -angle camera lens. Cleverness is like a sharp -focus camera lens which sees detail but cannot take in the whole of picture. Cleverness is to do with solving complex puzzels and technical matters. Wisdom is what we need to think about the ordinary matters of everyday life -from smallest decisions to the very largest. (Edward De Bono)

Bila sholatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika sholatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya (HR Ath Thabrani)

Agama?

Selama ini, kita mengira bahwa rasa ingin tahu lah yang melahirkan peradaban. Padahal rasa pengesaan atas Suatu Yang Kuasa lah yang menjadi bibitnya. Tentang bagaimana Tuhan berbicara dengan manusia. Juga kisah ribuan tahun yang terbenam karena masa.

Rasanya, aforisme dari Karl Marx berbunyi: Agama adalah Candu bukanlah retorika di belakang panggung belaka. Ini manifestasi. Sebuah hipotesa nalar dari sejarah yang terserak bernama agama. Dari kepercayaan yang berdiri bersama tokoh, kitab suci, penyebar serta kaumnya. Dia berdiri rapuh, berubah dari generasi ke generasi. Lahirlah agama baru, nabi baru, kepercayaan baru atau bahkan tuhan yang baru.

Sepertinya agama juga bagian dari roller coaster seperti zaman modern ini. Meniliknya, seolah harus menganga lebih lebar dan mengakui bahwa manusia itu makhluk. Sesuatu yang sangat kecil. Tapi mengapa agama harus ada? Atau agama itu hasil peradaban? Di Jawa, Papua, Mesopotamia, Hokaido, Athena, Persia, Mongol, atau di tanah Hindustan? Semua agamanya berbeda.

Anak kecil negeri ini diwajibkan mengenal 6 agama nasional: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Tapi apakah ada yang mengenal definisi tuhan mereka masing-masing? Atau setidaknya, mengapa orang memilih beragama ini, tanpa mau tahu (atau justru malas untuk mencari tahu) alasannya?

Jujur, saya tidak mengenal agama ini:  Saintologi, Sikh, Marapu, Mormon, Zoroastrian, Kaharingan, Parmalim dan lainnya. Padahal mereka ada, diakui oleh negara pula. Apakah jika kita lahir di Jepang, sudah pasti 99,999999% kita tidak tahu apa itu Islam? 


Kadang malah saya berpikir lebih seperti ini. Orang pedalaman Papua atau suku primitif di hutan Amazon itu apakah masih dikenai tanggung jawab untuk mengabdi pada Tuhan yang kita yakini kebenarannya? Juga tentang surga dan neraka, apakah mereka bakal masuk salah satunya atau malah justru kita tidak perlu mencari tahu jawabannya. Bikin pusing.

Ah, untuk apa berorasi tentang agama. Toh, banyak orang yang mengaku beragama, mengapa nalar dan tabiatnya tidak berperiketuhanan?