8 Jul 2012

Quarter Life Crisis | This is How to Deal



Mendengar istilah Krisis Seperempat Baya atau Quarter Time Crisis mungkin masih asing di telinga sebagian besar orang. Padahal sebuah studi di Amerika Serikat menyebutkan krisis ini justru lebih sering dialami daripada Krisis Setengah Baya atau Midlife Crisis yang lebih populer. Bagi anda yang tidak sadar mengalaminya, perasaan jengah mendengar pertanyaan mengenai pekerjaan yang anda jalani, gelisah jika ada teman menikah, atau khawatir akan masa depan anda, mungkin anda sedang mengalami krisis ini.
 
Krisis ini merupakan suatu gejolak psikis yang menyebabkan depresi  kebingungan, dan ketidakpuasan dalam hidup. Hal ini sering dialami oleh berada berada di kisaran twentiesomethings, yaitu sekitar usia 21-27 tahun, yang baru saja menyelesaikan kuliah dan memasuki dunia kerja. Kombinasi antara perubahan pola hidup, tuntutan finansial, asmara, karir adalah hal yang melatarbelakangi terjadinya krisis ini. Walaupun tidak sedikit juga yang mampu melewatinya atau merasa tidak mengalaminya, karena kembali lagi tuntutan tidup tiap orang berbeda-beda. Apalagi jika anda datang dari keluarga pada umumnya yang mengharapkan anak gadisnya segera menikah, sedangkan bagi anda yang ingin membangun karir , menikah bukanlah  prioritas anda.

Istilah ini awalnya mulai diperkenalkan oleh Abby Wilner pada tahun 1997. Dalam bukunya ”Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your  Twenties” yang ia tulis bersama Alexandra Robbins pada tahun 2001.  Wilner menjelaskan bagaimana lompatan kehidupan dari dunia akademis menuju dunia profesional sering menyakitkan dan memicu respon ketidakstabilan luar biasa pada diri seseorang. Perubahan yang awalnya terasa begitu konstan dihadapkan dengan beragam pilihan yang tak jarang memunculkan rasa panik tak berdaya.

3 Jul 2012

Sebuah Malam di Kota Sego Boran


"Awalnya saya hanya menentukan target-target yang tertulis secara tahunan, bulanan, sampai harian. Dalam siklus tertentu, saya evaluasi apa yang telah saya lakukan dan juga yang gagal. Dari situ saya bisa mengukur, apakah impian saya itu sebuah hal terlalu tinggi, utopis atau saya perlu merubah cara saya mencapai target itu"

"Kalau kita hanya bisa menunjukkan target-target keduniawian, sepatutnya kita juga harus bisa mengimbangin dengan kinerja keakhiratan. Misalkan, dalam sehari saya harus bekerja dari jam delapan pagi sampai sore. Sampai menjelang malam, saya masih harus melanjutkan tugas kantor sampai selesai, atau mengaji atau membaca buku. Lalu tidur. Apakah nanti di sepertiga malam terakhir saya masih bisa bangun untuk sholat malam? Nyatanya tidak, saya lebih sering main-main atau sekedar nonton TV ketika lelah sudah merambat"

"Sering saya merasa, waktu 24 jam dibanding dengan semua target kehidupan yang saya inginkan serasa tidak cukup. Bahkan, untuk sekedari mencapai 80% dari target awal pun selalu berakhir dengan kegagalan. Hingga saya merasa bahwa, seorang menteri itu sangat hebat sekali membagi beban kehidupan. Jika bagi saya sehari serasa 24 jam kurang, bagi seorang menteri itu berarti 48 jam dalam sehari"