31 Mar 2012

Pada Suatu Malam di Dolly

Semburat warna-warni cakrawala adalah lukisan yang terindah, begitu kiranya lafal tentang kehidupan. Saat ragam warna beradu-padu menjadi satu tatanan bernama kehidupan. Seperti gemerlap warna cahaya lampu karaoke di Dolly. Paduan corak dari wisma ke wisma, dan ritme rancak alunan musiknya. Juga padanan hidupmu-hidupku, soal sekuleritas yang membumbung agung di sini.

FRESH, kaki kecil ini spontan melangkah lebih cepat tepat di depan wisma itu. Awalnya, saat di mulut gang, saya tidak terlalu terganggu dengan hingar bingar karaokenya –yang bagi sebagian orang membuat shock. Sudah biasa, ini penjelasan logis saya.

Ini jam delapan malam, saya seorang diri berlari kecil menghindari insiden yang pernah saya alami setahun lalu, “dijaring” mbak-mbak di sana. Sesekali, mata saya mencuri-curi pandang ke arah negara prostitusi yang legal ini. Ada tiga gunungan bir setinggi dua meter duduk manis menemani para mbak-mbak yang sedang menunggu pasiennya –konsumen lebih pas.

Dua orang lelaki gempal terburu entah mau kemana, beradu dengan petugas keamanan khusus lokalisasi. Juga tak luput, senyum manis para penjaja malam itu, yang nampak sangat natural. Gempita, ramai, dan misterius. Juga horror, mungkin.

Di bagian wisma terakhir sebelum langkah kaki terhunyun untuk berbelok, saya tercekat sejenak dengan wajah seseorang. Mbak itu, yang pernah saya ajak ngobrol ngalor-ngidul tentang dunia hitam ini. Dan, saya tersenyum kepadanya. Diam, dia tidak membalasnya. Sedari tadi memang pandangannya tidak ke depan. Ya sudahlah.

Di depan sorotan lampu kelap-kelip wisma, inilah Taman Baca Kawan Kami pada malam hari.

“Lho kak, ngapain lari? Biasanya sampeyan jalanya kan jalan lemot gitu?” tanya dik Reni.

“Takut dik, hehe,” jawabku simple, sambil menyalami belasan anak di dalamnya.

Inilah Negeri Sekuler itu, batinku. Di depan sana, entah apa yang sedang dilakukan oleh seorang laki-laki berkumis tebal yang tadi sempat berpapasan dengan saya. Di ruangan ini, belasan malaikat kecil pun sibuk dengan dunianya. Dunia anak-anak, seolah tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di luar mereka.

Okelah, malam mini kita akan berlatih latihan rebana dan puisi untuk ditampilkan hari jumat nanti. Sayangnya, timnya tidak datang semua. Jadilah kita berlatih rebana apa adanya. Oh ya, sebelum saya datang, sudah ada Kak Pasca –yang mungkin jamuren nungguin saya, hehe. Juga ada Kak Pipit yang datang sekitar 15 menit setelah saya.

Saatnya kemampuan orasi saya diuj. Saya berkoar-koar untuk mengkoordinasikan skenario saat di atas panggung nanti. Saya benar-benar berorasi, karena level suara dari luar sana jauh lebih keras daripada suara saya. Belum lagi ulah keusilan suara adik-adiknya yang juga tidak kalah heboh. Sampai Mbak Nia ikut berorasi juga.

Beginilah suasana latihan bersama, Rebana Kawan Kami :)

 Mereka, lebih mahir daripada pengajarnya :)

Selanjutnya, ada latihan puisi yang dikomandoi oleh dik Riki. Tapi sayangnya, di tengah akan pentas, dia dipanggil Mamanya. Jadilah tampilan hanya berempat saja. Cekidot!

 Nane, perhatikan totalitas ekspresinya :)

21 Mar 2012

Sudah Nikah juga kan, Pak?



Awalnya SMS biasa. Dia, salah seorang pembaca buku "Permata dalam Lumpur" menanyakan beberapa hal tetang buku tersebut. Dari urusan kepenulisan, motivasi menulis, latar belakang pendidikan dan keinginannya untuk menulis buku namun terbentur penyakit "susahnya memulai".

Sepenuhnya, saya tidak bisa menggurui. Lha, saya sendiri masih galau dengan kepenulisan, hehe.. Ya sudah lah, saya hanya berdiskusi, bukan memberikan solusi. Oh ya, nama dia Nur Fitriani dari Makassar, mahasiswi semester 8 di Universitas Muhammadiyah Makassar (apakah disingkat UMM, sepeti UM Malang?).

"Kenapa sangat jarang penulis yang berasal dari Makassar, kotaku? Mengapa lebih banyak penulis dari Sumatra?"

"Mungkin karena semangat literasi bahasa dan sastra Indonesia berkiblat pada sastra melayu, yang identik dengan Sumatra. Seperti di Surabaya, rata-rata penulisnya juga bukan orang asli Surabaya. Juga karena di kota ini lebih dominan budaya oral"

dan obrolan semakin berkembang kemana-mana. Dia pun menyebutkan kota Makassar sebagai Kota Daeng. Artinya apa ya sodara-sodara?

"Bapak kelahiran (tahun) berapa?"

Saya jawab, dan ternyata dia lebih tua dari pada saya. Nah, kenapa saya dipanggil Bapak? Apa salah saya hingga saya harus menderita dengan panggilan itu? Apa salah wajah saya? Haha...#allay

"Apakah saya harus tetap memanggil anda dengan sebutan Bapak?"

"Dipanggil Mas saja ya, biar kelihatan tidak terlalu tua, haha"

"Uda nikah juga kan, Pak?"


"Hah? Nggak salah pertanyaannya?" batinku.

Saya balas dengan balasan yang tidak akan saya publikasikan di sini. Saya tanyain deh beberapa teman-teman saya, dengan kisah di atas. Tidak ada satu pun yang merespon dengan jawaban yang baik. Aneh-aneh semua.

18 Mar 2012

Viola, Gambar Cat Air Adik-Adik

Saya dapat hibah berupa alat menggambar dan mewarnai ini sudah lama sekali. Tapi baru hari ini saya memberikan kepada adik-adiknya sebagai alat untuk berekspresi. Ya, berekspresi sebebas-bebasnya, sampai kebablasan.

Ini adalah karya adik-adik Taman Baca Kawan Kami saat diberikan krayon, kuas, cat air, palet, spidol, pensil warna dan tentunya, kertas gambar. Jadilah adonan yang cukup menggelikan. Menurut saya sih, sedikit norak :P


CEKIDOT! 




17 Mar 2012

The Artist

Saya tidak sedang membicarakan The Artist yang telah memborong lima Oscar sebulan yang lalu. Tidak pula tentang Jean Dujardin yang selalu bungkam dalam film bisu itu. Dia, lebih dari sekedar The Artist itu (lha saya sendiri tidak pernah nonton filmnya, hehe).

Namanya Marselo, kita memanggilnya dengan nama Selo. Dia seperti korban bulliying orang se-RT, hehe. Bayangkan, dalam sehari, dia bisa berpindah tangan hingga 20 orang. Main oper, sana-sini. Termasuk kemarin, ketika saya pulang ke kampung halaman (setelah tiga bulan lamanya), saya pun kebagian oper-an itu.
Adoooh, luthunyaa...

Umurnya baru lima bulan. Jadi ceritanya, tiga bulan lalu saya masih belum berani untuk menggendongnya. Eh, tiga bulan berselang, dia makin unyuuu. Jadilah dia artis di RT saya. Menjadi primadona dari segala primadona.


14 Mar 2012

Crazy Little Thing Called Love



“Pernahkan anda jatuh cinta ketika SMA? Atau anda hanya pernah mengalami jatuh cinta sekali selama hidup anda? Atau anda saat ini sedang bersama orang yang sama ketika jatuh cinta pertama?”

Tulisan saya ini tentang sebuah film, bukan curhatan ya. Awalnya saya melihat cepet-cepetan film ini, dan saya tertarik sekali. Sebenarnya saya menyadari kalau ini film drama, sudah begitu drama percintaan remaja! Allay nggak sih? Tahu apa yang membuat saya tertarik? Setting filmnya adalah Thailand!

Apakah selera saya aneh? Terserah anda yang menilai. Negara Thailand mengingatkan tiga teman saya dari Thailand tempo hari yang satu orang sudah balik ke negaranya. Kedua, saya sangat suka mengamati kebudayaan, tata adat, nilai, norma, kebiasaan, sampai gaya bertutur bahasa dari suatu Negeri lain. Apalagi ini Negara Asia tenggara, yang hanya saya ketahui dari Upin-Ipin setiap hari. Sementara Negara lain? Nothing. Apalagi horor Thailand saya pun tidak suka.

Pokoknya, film ini sangat cocok buat yang ingin bernostalgila dengan masa remajanya, mencari inspirasi, atau sedang mencari cinta sejatinya? Maybe...

******

Okelah, filmnya berjudulnya Crazy Little Thing Called Love (2010). Dari judulnya saja, saya yakin isinya pasti mellow sangat khas remaja-remaja allay. Tapi ternyata tidak sodara-sodara! Ya memang ada mellownya dikit, tapi mirip AADC-nya kita. Film percintaan remaja yang dibuat realistis, tidak seperti sinetron “Ibu Mertua Yang Ditukar” itu.

Settingnya Sekolah SMA (atau SMP?) di Negara Gajah Putih itu. (Apakah di sana banyak gajah putih? Sedikit sekali sodara. Tapi di film ini, setiap scene di depan rumah tokohnya, pasti ada patung gajah putih).

7 Mar 2012

Apresiasi dan Beban (lagi)






Dalam perjalan ke Surabaya, HaPe berdenting. Ada SMS masuk, dari nomor tak dikenal.

"Mas, buku 'Permata dalam Lumpur' menginspirasi saya sebagai pembaca. Ingin rasanya melihat langsung Taman Baca yang ada di sana. Salam kenal Fadly"

Fadly, dari Tasikmalaya

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sehari sebelumnya.

"Maaf, salam kenal. Saya habis membaca buku "Permata dalam Lumpur" dan dicantumkan nomer ini. Salam kenal, Fatimah"

"Dari mana Mbak?"

"Makassar"

Hoeais



Banyak cerita yang mau saya posting di blog ini. Saya mau posting cerita galau saya, cerita donor darah tempo hari, cerita mbolang nggak jelas, cerita ke nikahan teman (twice!), cerita wawancara narsum buku, cerita dua kali mbolang ke Kenjeran, cerita di bandara ngambil barang dari luar negeri (pertamanya gan!), cerita (hampir) misuhi petugas bea cukai, cerita LT bersama Pak Jokowi-Bu Risma yang keyen-keyen itu, cerita melaut bersama anak Maritime Challange dan..bla...bla...bla (tiba-tiba sudah berbusa, banjir...).

Tapi saya bingung dan galau membagi skala pikiran dan prioritas. Bingung buku, bingung masalah, bingung ngurusi pemesanan alat, bingung itu, bingung sana, dan....Galau...

Okelah, saya buat postingan pertama tentang rencana untuk melaut bersama tim Maritime Challange (MC) yang tertunda sehari sebelumnya. Awalnya saya hanya berniat mengantarkan qaqa ais cantiqha, reporter junior yang kena penyakit ngakunya-low-profile-tapi-narsisnya-tingkat-dewa. Duh, itu penyakit yang hanya bisa disembuhkan oleh...C.I.N.T.A (#ngeekkk).

1 Mar 2012

Apa Ini? Entahlah


PS: gambar dari adik saya, Dandy. Hanya bermodalkan Paint, haha