31 Dec 2011

Komitmen Kopor



Emang mengikat komitmen itu segampang ngikat sapu lidi? 

Rasanya dua hari itu saya ingin mencak-mencak gara-gara tingkah satu orang. Dia itu, dengan semangat seperti seorang pelopor perjuangan, dengan mental berani mati, demi mengopori saya untuk menikah. Helloooo? Menikah!

AAAAPA?
#gaya sinetron

Sekali, saya bergeming. Dua kali, saya mulai bantah. Tiga kali, adu cekcok. Seterusnya, saya maki-maki dia. Kok semangat sekali mengopori saya untuk hal ini? Ada tendensi personal yang dia usung dengan tema spesial ini.

"Heh, koen iku ngopor-kopori terus, nasehati terus, untuk hal yang belum kamu lakukan juga! Nuding awakmu dewe sono!"

Saya geram. Bayangkan, sepanjang perjalanan lima jam menuju Surabaya, saya bersms ria dengan dia dengan topik yang sama dengan argumen yang sama dan dengan semangat yang sama (dia ngotot, saya ngeyel). Lengkap. 

Nyampe Surabaya, Akhirnya, dia nyerah juga. Setelah saya bombandir dengan statement sarkasme yang menciutkan hatinya, haha #tawasadis.

Okelah, jujur saja, saya pernah berujar bahwa:

"Nikah itu kebaikan, nikah itu ibadah. Maka, berlomba-lomba untuk segera menikah, adalah berlomba-lomba dalam ibadah dan kebaikan (fastabikhul khoirot)"

Saya setuju dengan argumen saya. Hanya untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan, saya tidak ada obsesi ke arah sana. Anda boleh sepakat atau tidak? Terserah.

26 Dec 2011

Buku, Resleting dan Dolly



Sore hari itu, saya berniat ke Masjid Baitul Muttaqin untuk sholat dzuhur sekaligus menjahitkan celana. Tepatnya di depan eks warung Libels. Jujur, saya lupa nama mas penjahitnya, padahal sudah kenal lama dan sering ngobrol kalau ketemu di warung/masjid. Pas baru nyampe. Saya (Hoe), Mas Penjahit (MP).

Hoe: "Mas mau benerin celana"

MP : "Ehmmm...Mas yang nulis buku ya?"

Hoe: (mikir lama, kok nyambungnya ke Buku?)

MP : "Kemarin saya ke Gramedia Mas, saya lihat fotonya sampeyan. Kayaknya saya pernah kenal."

Hoe : "Oh ya Mas. Itu saya sama teman saya yang buat"

MP  : "Judulnya 'Permata Dalam Lumpur' itu saya kira kisah anak-anak Sidoarjo"

Hoe : "Bukan, itu juga judul pilihan penerbit, bukan dari kita. Itu di Dolly Mas"

MP  : "Oh gitu, bagus bukunya Mas. Lha terus sampeyan masih sering ke Dolly?"

Hoe : (agak shock, kenapa nyebut Dolly banter banget) "Masih, setiap minggu sekali"

MP  : "Hah? Setiap minggu? Berarti sering banget? Hafal sekali dengan daerah sana?"

Hoe : "Ngerti banget Mas, sampeyan mau ke sana? Saya beritahu tarifnya, dari paling murah sampai yang mirip apartemen"

Kita: Hahaha...(tertawa bersama, ada seorang lagi yang ikut tertawa)

Hoe: "Ayo Mas melu nang kono, kesempatan langka lho"

Hahaha...(tertawa lagi)

Hoe: "Oh yo Mas, ini mau benerin celana"

MP : "Apanya yang dibenerin?"

23 Dec 2011

Perpisahan


Saya percaya sepenuhnya pada suatu dealektika ringan bahwa 

"Esensi dari Suatu Pertemuan Adalah Perpisahannya"


Jika saya bertemu, berjumpa atau mengawali sesuatu, esensi keberadaannya baru bisa diukur saat perpisahan. Saking kuatnya dogma ini, saya selalu membayangkan suatu adegan perpisahan dari suatu hal yang telah saya mulai. Entah itu jenjang pendidikan, perkenalan dengan sahabat, memiliki barang, suatu komitmen atau yang pasti: sebuah kehidupan yang pasti berujung kematian.

Rasanya saya terlalu hiperbolis dan tidak manusiawi jika harus bercerita tentang pikiran saya ini. Karena ini hanyalah satu dari jutaan persepsi personal saya. Awalnya, persepsi ini mucul aat saya lulus sekolah SD dan masuk SMP yang berbeda kecamatan. Saya hanya satu-satunya murid lulusan SD saya yang mbolang ke SMP Rengel (karena saya dari Kecamatan Soko). Saya hanya berteman dengan satu orang kala itu, seorang yang tidak pernah saya kenal sama sekali. 

Saat itu hal yang paling mengguncang saya adalah rasa hilangnya teman-teman saya. Saya benar-benar shock dihadapkan pada teman dan kultur kekotaan yang sangat berbeda dengan latar belakang yang saya bawa. Semua nampak seperti paradoks akut. Seminggu pertama sekolah, saya masih terbiasa untuk menjalaninya. Menginjak dua minggu, saya merasa sangat kehilangan teman-teman SD saya.

Saya tidak bisa mendiskripsikan rasa hilang itu seperti apa, karena bagi saya, masa-masa terindah dalam hidup saya itu masa bersama mereka. Masa SMP sedikit individualis, SMA tambah hedon, kuliah tambah merana. Bagaimana bisa dicerminkan, teman yang telah bersama dengan kita enam tahun (bahkan ada yang delapan tahun), tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi? Saya sudah lost contact sama sekali dengan mereka. Bukan karena saya egois, tapi rumah kita berjauhan, rute sekolah kita berlawanan, dan tidak ada HaPe saat itu!

Pernah, dalam suatu perjalan pulang sekolah, saya menangis tersedu-sedu untuk mengartikan rasa kehilangan ini. Rasa manis yang harus tercerabut oleh masa, yang tidak akan pernah kembali, atau pun tergantikan. Hingga berbulan-bulan, hingga menginjak caturwulan pertama, saya baru bisa menatap masa depan, bahwa saya harus maju. Memandang ke depan, melangkah terus. Ini juga demi mereka, karena kehadiran mereka, akan selalu saya kenang sebagai sejarah manis dalam hidupku.

20 Dec 2011

Bungkusan Rumah

Saya pulang ke rumah tiga hari, lalu balik lagi ke Surabaya bersama oleh-oleh ringan ini: sebungkus nasi kuning dan roti dari ibu saya. Bawaan berat lainnya: 30 kiloan beras dan tiga tundun pisang siap santap. Alamaaak, abot!

16 Dec 2011

Egoisme



Peci hitam, berpadu dengan kemeja lengan panjang, ia mengendap-endap di pelataran parkiran. Ia, yang juga bersandal hitam dan bersarung itu tidak sedang hendak ke masjid. Rumput-rumput yang melintang di hadapannya, dirajah dari tempat tumbuhnya. Sesekali sampah yang berceceran ia pungut, di masukkan ke tempat sampah, dan kembali merajah rumput, lagi.


Di pelataran parkiran masjid. Ia, seorang kakek dengan ubannya yang mengerubuti kepalanya. Sementara, saya hanya diam, memandanginya dari serambi masjid, yang pasti lebih sejuk dari panasnya pelataran sana. Ego apa yang sedang saya bawa? Hah?

11 Dec 2011

Kejutan!


Sehabis kehujanan, kedinginan dan dalam kesendirian. Ada sebuah pesan singkat masuk ke Hape Nokia 6600 ku, dari nomor yang tidak saya kenal

"Kapan saya bisa ikut mengajar permata di Dolly? Pertanyaan yang muncul di setiap bab membaca buku kalian. Salam kenal Liona di Bengkulu. Sampaikan salamku untuk mereka, adik-adik yang ku kenal"

Ku pandangi layar hape butut ku yang tadi sempat error keypad-nya. Subhanallah yah, saya termotivasi dengan kalimatnya. Saya membalas segera pesan singkat itu. Kita berkenalan dan berdiskusi sejenak, mendekati jam "larangan", jam sembian malam.

Dia seorang mahasiswi jurusan Jurnalistik di Universitas Bengkulu, semester lima. Mungkin ia tertarik dengan buku ini karena dia pun melakukan hal yang sama, hanya beda tempat. Bahkan, mungkin juga di waktu yang sama, kita melakukan hal yang sama. Entahlah.

"Ikut program Indonesia Mengajar juga?" ia bertanya ringan.

Ah, pertanyaan ini. Sudah berapa puluh orang yang menanyakan. Program yang digagas Anies Baswedan ini secara pribadi (jujur) membuat saya ngiler seember untuk mengikutinya. Namun realita berkata lain, ada hal lain yang tidak bisa saya rengkuh bersamaan dengan program ini. Saya berkeinginan, berminat, dan setidaknya ada niatan, tapi saya memang harus realistis, memilih jalan yang seharusnya, bukan yang saya inginkan. Saya tidak bisa ikut IM. Titik.

"Realita tidak mengijinkan, tapi siapa tahu Allah mengijinkan?" ujarnya.

Entahlah. Wallahu'alam bishowab.

9 Dec 2011

Mereka Telah Beramal Nyata


Tulisan ini copast dari salah satu grup fb, hanya sebagai motivasi untuk berkarya dan menulisa. Cekidot!


By: Decka V. Ginanjar*

Rasa penasaran ana kini terjawab sudah. Sore itu ana sengaja meluangkan waktu untuk mencari buku itu. Setelah solat Ashar, dan sembari menunggu waktu buka puasa (9 Muharram), ana langsung menuju Gramedia di jalan Basuki Rahmad. Tidak terlalu lama, buku itu berhasil ana dapatkan, dibantu oleh seorang karyawan Gramed. Setelah membayar, ana langsung mencari tempat duduk dan langsung membaca buku itu. 

Membuka lembar pertama dari buku itu aku menemukan kalimat ini, Thanks to: KAMMI, Pak Kartono, Para Pengajar Taman Baca Kawan Kami, dan Orang-orang yang berjuang memberantas prostitusi. Membaca lembar ini, ana merinding bercampur haru. Ana mulai membaca buku itu lebih dalam lagi. Membaca lembar –lembar selanjutnya, memunculkan rasa haru bercampur rasa bangga dalam diri ku. Tulisan itu masuk menyetuh hati . 

Dan perasaaan itu semakin tak terbendung ketika melihat beberapa foto nyata dalam buku itu. Tak tahan rasanya , aku pun meneteskan air mata ditengah ribuan buku dan orang-orang yang berlalau-lalang di dalam Gramed.

Permata Dalam Lumpur (Merangkul Anak- anak Pelacur dari Lokalisasi Dolly), inilah buku itu. Buku yang ditulis oleh akh Satria Nova dan Nur Huda ini adalah kisah nyata yang inspiratif. Mereka mengungkap kisah orang-orang yang terjebak kedunia hitam. Kisah memilukan para pelacur dan mucikari. Kisah anak-anak setempat yang terancam hancur dan rusak masa depanya. Dan para relawan (khususnya kader KAMMI Surabaya dan aktivis mahasiswa dari ITS) yang berusaha ikut memberikan perubahan atas ketimpangan social yang terjadi di Dolly. Sebelum membaca buku ini saya telah banyak mendengar laporan pahit manisnya kondisi disana. 

Kondisi pengajar, kondisi anak-anak yang dibina, hingga kegiatan yang mreka lakukan. Tapi itu hanya “ana dengar” , ana belum melihat kenyataanya. Tapi kini…. buku itu tlah menjawab semua rasa penasaran saya. LSO Lentera Harapan yang kini masih dibawah koordinasi KAMMI Daerah Surabaya juga menjadi salah satu judul BAB dalam buku ini. Sungguh menyesal rasanya, jika dulu usul (baca:pendapat) saya, ”LSO Lentera di bubarkan saja” dalam forum musda dan forum- forum sebelumnya, benar-benar disetujui.

‘Ala kulli hal, saya ingin menyatakan. Buku ini recommended..!, sangat layak di baca oleh kita maupun walikota. Mereka telah berkontribusi nyata. ! Selanjutnya adalah siapa….? Semoga kita. Ana sampaikan penutup: Mari ber-Amal Nyata!

*Pengiat KAMMI Daerah Surabaya

6 Dec 2011

Dialog-plak!

Sebuah dialog ringan yang ingin saya cantumkan dalam blog ini. Semoga menghibur eaaa...

Adegan Pertama
Saya    : Ayo boi, carikan tutup botol minuman berkarbonasi.
Teman : Nggak usah Mas, adik-adiknya saja yang disuruh bawa sendiri dari rumah.
Saya    : Oh ya , baguslah. Nggak usah repot-repot. Di sana kan ada banyak tutup botol.
Teman : Iya Mas.
Saya    : Ya, tutup botol bir.
Teman : Hahaha...Iya, nanti disuruh nyuci dulu sebelum dipakai.
Saya    : Wah, ada gunanya juga tumpukan krat Bir di sana (mbatin).


Adegan kedua
Teman : Ayo segera! (sementara saya masih di jalan)
Saya    : Iya...Ini saya bawa rombongan.
Teman : Berapa orang?
Saya    : Enam orang, seperti mau demonstrasi. Rame sekali. 
(padahal niat hati ingin mengajar, kok saya berimajinasi pada kata "demo"?)

Apresiasi

Pagi hari, perut saya sudah tidak beres dari tiga hari yang lalu. Niatnya mau shoum tapi dipaksa keadaan, mungkin sampai akhir desember saya bakal tidak bisa puasa sama sekali :'(

Eh, pagi ini saya dapat SMS yang cukup mengejutkan. Dari salah seorang saudara laki-laki, yang sebelumnya tidak saya kenal sama sekali. 

"Kemarin ana baca buku antum dan Akh Nova. Menarik sekali. Air mata ana pun menetes....."

Wah, subhanallah yah. Saya jadi ikut terharu. Ah, saya berharap, semoga tulisan "ababil" saya di buku itu bisa menginspirasi orang untuk beramal kebaikan. 


*) itu SMS dari Sekum KAMMI Daerah Surabaya