16 Dec 2014

Bersyukurlah!

Judul Buku: The Magic
Penulis: Rhonda Byrne



Bersyukurlah!

Kiranya, kata tersebut sudah bisa mewakili isi buku ini. Melanjutkan serial sebelumnya, “The Secret” yang juga bombastis, buku ini menjadi sebuah tutorial untuk berkehidupan lebih baik. Seperti dalam prolognya, penulis menekankan pada sebuah kekuatan kata. Banyak orang tidak menyadari kekuatan dari kata, yang merupakan sebuah teka teki keajaiban. Dan ketika teka teki itu terkuak, dunia baru akan tergelar di depan mata (review cover belakang).

Ibarat sayuran, buku ini seperti perasa kehidupan, semacam Monosodium Glutamat. Bukan inti kehidupan yang dipaparkan, tapi lebih terapi hidup lewat ucapan harian. Lewat ucapan syukur setiap hari. Dari bab satu sampai dua puluh delapan, buku ini memberikan instruksi harian “bagaimana menjadikan hidup lebih hidup”

Saya pinjam dari rekan kerja, ulasan buku ini seperti menampar para penggerutu. Seperti saya, yang dahulunya pernah merasa “Kok Tuhan tidak adil? Kok masalah hidupku bisa sebesar ini?”. Serta ribuan keluhan tentang kehidupan yang saya sadari justru menjadikan masalah menjadi makin rumit. Padahal, semua orang dewasa sepatutnya menyadari bahwa solusi lebih dibutuhkan dari suatu masalah daripada mendramatisasi kenyataan.

Dan buku ini menjawab penggerutuan hidup tadi. Jika ingin menjadikan hidup lebih baik (dengan kenyataan sekarang seburuk apa pun), bersyukur menjadi satu-satunya jawaban. Bersyukur tidak harus dimulai dari sebuah berkah yang kita terima, tapi bisa dimulai dari hal-hal sederhana.

Lihatlah sekitar kita, apa pun yang ada di depan kita adalah anugerah. Kita bisa menghirup udara setiap hari, kita menginjakkan tanah, kita bisa sarapan nasi, kita memiliki relasi kerja yang baik dan sejenisnya. Kesederhanaan dalam bersyukur diyakini bisa menghadirkan sebuah energy positif dalam setiap langkah.

Percayalah, hal-hal biasa dalam kehidupan akan menjadi hal yang sangat berharga ketika hal itu tiada. Sehingga, penulis memberikan instruksi untuk menuliskan 10 hal yang bisa disyukuri setiap hari dan diakumulasikan dalam 28 hari. Dari 28 bab di dalamnya, semuanya bercerita tentang kiat mensyukuri kehidupan. Penulis sendiri menuliskan buku ini berdasarkan pengalaman pribadinya ketika sudah keluar dari kehidupan kelam di masa lalunya.

Dan akhirnya, kehidupan penuh syukur semakin memberikan banyak kebijaksanaan berkehidupan. Maka, bersyukurlah!



Beberapa kutipan favorit dalam buku:

Seratus kali setiap hari saya mengingatkan diri bahwa kehidupan di dalam dan di luar diriku bergantung pada kerja keras orang lain, yang masih hidup atau yang sudah mati, dan bahwa saya harus menuangkan energi yang sama seperti yang telah dan masih saya terima. (Albert Einstein)

Sesudah semua ilmu pengetahuan dunia ini masih merupakan mukjizat, sangat indah, tak bisa dipahami dan ajaib bagi siapa pun yang mau memikirkannya. (Thomas Carlyte – Penulis dan sejarawan)

Sangatah mungkin kita meninggalkan rumah untuk berjalan kaki di udara pagi dan pulang sebagai orang yang berbeda (Mary Ellen - Pendidik dan Penulis)

26 Nov 2014

Pesan dari Masa Depan



Jadi ceritanya, tadi ada rapat yang mengharukan. Kita, seluruh peserta diminta untuk memberikan sebuah kalimat yang datang dari masa depan. Kita diminta untuk memvisualkan impian kita, seolah kita dari masa depan sedang berbicara dengan kita di 2014. Karena tidak dibatasi waktu, jadi kita bebas berkeinginan. Because dreams make a life feel live!

Tiba-tiba seuasana menjadi sangat sentimentil. Mengharu biru. Ternyata, seluruh ruangan bergemuruh menjadi lautan emosi. Isak tangis menghiasi sejuta impian yang menyembul tebang ke langit. Semesta bersaksi atas do'a di atas masa. Semoga.

Dan, ini tulisan saya. Untuk masa depan ku di 2018.

Dear my family..Senja baru saja pamit sejengkal yang lalu. Biarkan Bang Danish menyelesaikan mainannya. Jika tiba pukul 7 nanti, tidurkan dia di atas pulau impiannya. Lihatlah, betapa lucu dan menggemaskan setumpuk daging menggumpa di pipinya. Polahnya itu, menjadi muara keoptimisan dan keciaraan di istana kita. Iya, sewajarnya dia adalah titisan semangat hidupmu.

Tadi sore, ada pesanan donat dari tetangga desa. Minta tolong pada Tutik, karyawan yang kemarin baru daftar, untuk ikut belanja sampai mengantar. Proposal dari Masjid kecamatan bulan lalu juga sudah ku antarkan langsung. Menurut catatan kita, masih kurang sedikit lagi sudah melampaui target shodaqoh tahun lalu. Kembang akhirat tidak muncul dari tanah. Atas do'a yang terkumpulkan, jariyahnya terkembang melewati masa. Kita percaya atas nasehat itu.

Oh, sepekan lagi sudah Desember 2018. Selesai Tambora, esok kita jadwalkan untuk menyusuri negeri di atas angin. Kita ajak si Abang, bebaskan dirinya agar bisa menghirup hawa di atap dunia, Himalaya, Sri Lanka. Sembari ku selesaikan isian draft buku ini, besok mari kita tumbahkan impian kita di atas nampan dunia dan semesta.

Terima kasih atas kebersamaan dalam berkehidupan, Dik :)

14 Nov 2014

Menulis: Sebuah Tanya?



Ritual saya sekarang tiap pagi dan malam menjelang tidur: ngepoin tulisan teman-teman dalam my bloggger-list. Aktivitas ini adalah pelarian saya menghadapi keterdiaman pikiran saya karena virus-jenuh-akut. Tiba saya ditulisan dari seorang mahasiswa Ilmu Gizi UI yang pindah jalur keprofesian menjadi penulis. Ia memaparkan sejarah dirinya berkenaan tentang pertanyaan: Apa menulis itu cita-citamu? Tulisan lengkapnya ada di sini.

Seperti tersandung, pikiran saya bergelora. Dalam time-line yang pernah saya susun sekitar dua minggu lalu, tertulis "menjadi penulis" sebagai aktivitas utama saya sekitar 7-10 tahun mendatang. Apakah itu sebuah kegiatan sampingan? Sebuah cita-cita? Sebuah passion? Atau hanya sekedar profesi?

Dahulu, dari SD sampai SMA, saya bukanlah orang yang hobi menulis. Tapi saya akui suka membaca buku. Kuliah, awal saya berkenalan dengan dunia tulis menulis. Tiga tahun lamanya dunia jurnalistik saya geluti. Tulisan yang dihasilkan sangat kaku, khas koran. Disela itu, saya bisa menerbitkan tiga buku. Ya, tiga buku! Sampai sekarang saya sering tidak percaya bahwa tulisan saya layak menjadi buku ditengah background kuliah yang sangat otak kiri (engineering minded). 

Berbekal pengalaman itu, di saat sedang ber-mukhasabah diri, saya merasa wajib menyelipkan "aktivitas menulis" di sela kesibukan utama. Walaupun saya sadari bahwa menulis ada keterampilan, bukan bakat dari Ilahi, tetapi pengalaman mengajarkan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dan, menerbitkan buku keempat menjadi target saya tahun ini!

Dus..waktu merayap. Semakin bertambah usia, produktivitas saya justru anjlok dastris. Termasuk urusan tulis-menulis dan baca-membaca, akumulasinya tidak sampai separuh target tahun lalu tercapai! Mengesankan dan mengenaskan sekali!

Ini adalah evaluasi sekaligus renungan, sebenarnya saya menulis itu untuk apa ke depannya? Di tengah pencarian identitas tentang definisi "apa itu passion?", akhirnya saya menyerahkan jawaban itu pada waktu dan proses. Beberapa hal yang menjadi ambisi hidup tetap akan saya jalani bersamaan dengan hal-hal sampingannya -termasuk menulis. Mungkin dengan seperti itu, kelak saya bisa menemukan bongkahan berlian yang terpendam dalam diri saya. Entah berlian model apa yang akan keuar itu.

Menulis, apapun yang terjadi, saya tetap harus menulis. Saya hanya perlu menemukan alasan kuat kenapa saya perlu menulis terus. 


Menulis menjaga diri dari ketidak-warasan (kata teman)

1 Nov 2014

Pemuda dari Bulan Merah



Aku pernah mengenal senja seperti ini
Senja yang mengaburkan pelita
Membawa malam ke sanubari mimpi
Bersama jutaan kepala tanpa nurani

Ia datang menyela embun negeri ini
Pelan
Merayap dalam kesunyian
Hening
Menggilas asa hingga tak bernyawa
Runtuhkan raungan takdir

Aku pernah pernah mengenal malam seperti ini
Di negeri kita

Duhai semesta
Saksikan di bawah kaki para dewa
Aku, pemuda dari Bulan Merah
Akan ku kobarkan gulita pekat
Ku hijaukan pekarangan kemarau negeriku
Dan akan ku tumbahkan hujan di gurun nestapa

Karena aku pemuda dari masa depan
Akan ku taburkan harapan pada sekujur masa
Akan ku lukis warna di atas nampan bumi pertiwi
Merupa hamparan permadani raksasa
Tanpa goresan sepia

Wahai jiwa yang tangguh, bangunlah
Kokohkan janji kita pada tanah air
Dan, sematkan takdir dalam genggaman

Karena kita pemuda
Pemimpin masa depan

2 Oct 2014

Fiksi Mini Hoe


#1 
Kapan terakhir dia menikmati senja? Kalau tidak salah, semenjak kau jejalkan ambisimu pada tulangnya yang rapuh. Saat itu, siluet yang berwarna orange masih bertengger mesra, mewarnai keheningan dia yang sedang bersandar di bahumu. Lalu tiba-tiba, burung hantu berhenti berkicau. Senja digulir oleh malam.
Dan itu tepat sehari sebelun dia pergi. Tanpa alasan. Tanpa kata. Selamanya.

#2
Relakan semua nista untuk merayap ke ujung tutup botol. Kungkunglah nuraninya dalam rongga tanpa hawa. Biarkan ia membusuk, sampai detritivor pun tak mau menjamah. Lalu, tunggu sampai ia menyembul sendiri. Untuk menampakkan jiwanya yang bertanduk -tanpa sayap fananya.

#3
Ia bukan rendezvous yang meluangkan putaran masa lalu. Bukan pula de javu yang menisbahkan urutan takdir.  Dia adalah alyssum pagi yang baru mekar dari tidur panjangnya. Kedatangannya bak tetes embun. Tenang. Damai. Dan juga angkuh.

#4
Tentang waktu. Kadang kita terlalu rendah hati untuk bernegosiasi dengannya. Kita pasrahkan semua padanya, seolah kita tak bisa apa-apa. Lantas dengan nada sok bijak kita berkata: ‘biar waktu yang menjawab.’ Padahal waktu bisu, tak bisa berucap apa-apa, apalagi mendekatkan dua manusia. Menjadikan waktu sebagai tuan adalah menyerahkan diri untuk niscaya dicincang.

#5
Malam, datanglah kemari. Mari ku tunjukkan lubang raksasa di belakang pekarangan rumah. Di situ, dahulu pernah ditanam sebuah pohon harapan -yang tumbang saat sedang tinggi-tingginya. Tengoklah, bekas akarnya menganga lebar menanti datangnya masa depan yg makin tak menentu.

#6
Mari ku antar di negeri tak berpengharapan. Sebuah tanah tak bertuan yang lebat akan ketidakpastian -juga harapan. Mari ku antara ke masa depan. Kala yang ada di depan sana. Siaplahkan kayuhmu. Mari kita mendayung bersama.

#7
Pesan dari Masa
Shinta menunggu langit membuka rahasia tentang belenggu atas takdir yang didambakan. Awan bergelamut kenes menyisakan frame tua tak berwajah. Senyap. Menyergap malam bersama dinginnya rasa berpengharapan. Nihil.

Rama termenung dalam perangkap kelana pikiran untuk menyusuri jalan menuju surga. Meliatkan tawakal untuk ribuan angan hidupnya yang disusun serupa lotus yang sedang mekar. Menimpa seringaian belukar benalu dalam lumpur.

Dan masa memungut adiksi dari pembiasaan kisah. Mengamati pelan cerita makhluk bumi sembari berpesan: "Pernah terkisah di bawah atap langit, ada manusia menyeret waktu. Merubuhkan takdir baik, menyisakan keriput penyesalan bersama laranya"

#8
Jiwaku terperangkap dalam sebuah ruangan tak berpintu. Putih sempurna hingga tak menyisakan batas utopia dan angan sejatinya. Pelan, ia menerobos masuk bak embun pagi memeluk pegunungan. Menyesaki tarikan nafas sampai alveolus terdalam.

Dus. Histeria itu menyeruak ke alam fana. Merobek peneduh alam durja. Meruntuhkan genggaman iman atas masa. Lalu, ia datang mendekat. Membisikkan rangkaian kata masa silam. Tentang awal dari hikayat dua insan.

Ragaku masih di ruangan ini hingga kisah itu usai bertutur sendiri. Namun jiwaku goyah. Ia terpekur dalam polah imajiner amfethamine-nya sendiri. Menyatu atas diam yang abadi. Memaku waktu.

Kisahku tidak berakhir di sini. Karena lisanku menyisakan satu tanya menjelang tamat. Inilah pemberhentian tragedi dan perkuburan atas kenangan. Inilah perjanjian itu, yang pernah ku suarakan dalam mimpi. Persekutuan tanya yang tak terbalas.

Masih di sudut ruangan putih ini, izinkan aku bertanya pada masa lalu.

"Apakah dia itu kamu?"

#9
Rasa disini bungkam. Sebab tak ada yang mampu menangkapnya, sebagaimana jika ia dinyanyikan oleh nama lainnya. Begitulah, dalam sebuah kisah, tak semua bisa jadi lakon utama. Selaiknya aku dalam kita, hanya menyaksi. Menikmati ngilu yang menggumpal dalam segelas kopi.

#10
Ku ingin bertanya pada bulan mengapa jelanga pekat bisa mampir di gubuk ini.
Ku ingin bertanya pada secangkir kopi hitam, bagaimana bisa ia mau berdamai dengan gula.
Ku ingin mengadu pada pena, kapan dia bisa menghasilkan kata?
Lalu, ku ingin menekur bayangan yang sedang ku kejar.
Dan, Ku ingin memaki kehampaan yang merambati asa

#11
Si berteriak lantang mempertanyakan keadilan pada perdu yang tumbuh di sampingnya. Sang memaki bintang yang melalang jauh untuk ditimang. Lalu angin menyeret malam bersama gulita bertabur emas. Di bagian akhir, Surya datang dengan diam. Dan mereka semua ikut terdiam.

#12
Seandainya bisa
Aku ingin melebur saja bersama udara
Yang bisa kauhirup dalam-dalam
Dan kau simpan dalam paru-parumu
Aku ingin menyatu dalam darahmu
Yang memberi kekuatan padamu untuk terus berlari
Mengejar impianmu

#13
Di atas nampan raksasa yang kita injak setiap hari, langkah tak hanya meninggalkan jejak dan cerita. Namun juga ribuan luka menganga yang menyeruak pelan dalam setiap derap. Mereka hadir beriringan dengan kemolekan pelangi di depannya, bersama semerbak wangi Lavandula Angustifolia. Menjadikan cerita berjudul kehidupan.

#14

Di dunia ini, banyak hal yang tidak harus selesai dalam kata. Seperti bualan pada bulan oleh sang pungguk, kata tetap menjadi kata di ujung atas sana. Asa pun bisa mengepul bak uap dari nampan sang juragan. Dan masa, tanpa dikomando selalu mampu beriring dengan usia. Juga kematian.

#15 (kutipan favorit)
Aku tak mau menjadi pohon bambu, aku mau jadi pohon oak yg berani menentang angin -Gie

7 Aug 2014

Hikayat Dusta



Jiwaku terperangkap dalam sebuah ruangan tak berpintu. Putih sempurna hingga tak menyisakan batas utopia dan angan sejatinya. Pelan, ia menerobos masuk bak embun pagi memeluk pegunungan. Menyesaki tarikan nafas sampai alveolus terdalam.

Dus. Histeria itu menyeruak ke alam fana. Merobek peneduh alam durja. Meruntuhkan genggaman iman atas masa. Lalu, ia datang mendekat. Membisikkan rangkaian kata masa silam. Tentang awal dari hikayat dua insan.

Ragaku masih di ruangan ini hingga kisah itu usai bertutur sendiri. Namun jiwaku goyah. Ia terpekur dalam polah imajiner amfethamine-nya sendiri. Menyatu atas diam yang abadi. Memaku waktu.

Kisahku tidak berakhir di sini. Karena lisanku menyisakan satu tanya menjelang tamat. Inilah pemberhentian tragedi dan perkuburan atas kenangan. Inilah perjanjian itu, yang pernah ku suarakan dalam mimpi. Persekutuan tanya yang tak terbalas.

Masih di sudut ruangan putih ini, izinkan aku bertanya pada masa lalu.

"Apakah dia itu kamu?"


-Tuban, 3 Agust 2014

19 Jul 2014

Super-ego-sentris

"Saya bisa bersahabat baik dengan orang yang pernah memarahi serta melemparkan gelas ke ke kepala saya"
Itu ungkapan dari pembina di kantor saya. Kisah nyata. Bukan sinetron. Namun, saya hanya bisa menggeleng hampir tidak percaya. Bagaimana saya bisa berbesar hati sejauh itu? 

Hatta..

Tadi saya habis sholat tarawih. Nah, imamnya itu qiroah-nya sangat lama sekali. Saking lamanya, bahkan sampai saya hitung waktunya. Hasil menunjukkan 7 menit per dua rakaat. Nah, kelihatan kalau saya sholatnya tidak khusyu' kan? Memang! *ngaku dosa*

Sebenarnya saya lebih suka imam yang bacaannya lebih lama dari pada lebih cepat, kalau tidak mau dibilang sangat cepat bin dikejar *njing. Namun, kejadian tadi sangat mengganggu konsentrasi saya. Tepat di depan saya itu ada orang dengan (maaf) kaki polio, jadi harus sholat dengan ditopang satu kaki saja. Saya saja yang masih muda, kaki saya selalu kram setelah sholat dengan model durasi seperti itu. Lha bapak itu bagaimana?

Lalu, pas sholat witir. Di depan saya ada bapak dengan kondisi sangat ringkih, dan kelihatan sekali sangat memaksakan untuk bergerak dari sujud-berdiri. Dan ini terjadi dengan ritme sejak 7 menit kali 4 yang lalu. 

Terus (saking semangatnya cerita), qiroahnya sangat keras sekali. Bahkan sampai suara dari soundnya pun tidak bisa mengimbangi nilai desibel dari sang Imam. Sampai menggelegar cempreng seperti over-louder. Memang bacaannya bagus, namun saya semakin tidak konsentrasi dengan volume yang seperti suara sound kondangan. 

Su'udzan saya ini sangat menumpuk bak upil di hidung *kemproh*. Apa ya tidak sadar imamnya bahwa yang diimamin itu mayoritas ada sesepuh yang sudah manula. Dan juga ada orang cacat, atau mungkin ada musafir yang ingin bergegas menuju tempat lain.

Dan lagi-lagi saya mengumpat dalam hati, pas ceramah dengan entengnya imam memaparkan bahwa banyak yang mengeluhkan lamanya sholatnya namun hanya ditanggapi dengan kalimat bahwa niatnya mengajak untuk berdzikir yang lama (ngomong dengan nada sinis banget dan seakan kita itu memang amatiran ibadahnya). Wooowww..luar biasa sekali entengnya. Apa beliau tidak pernah mengamati siapa makmumnya? Ada yang sakit atau tidak? Yang sebagian besar usia muda sudah hilang sebelum witir?

Sejatinya Rasulullah sendiri sudah memberikan teladan sebagai berikut:

Dahulu di zamanya para sahabat, ternyata shahabat Muadz bin Jabal pernah di protes ketika beliau bertindak sebagai imam, bahkan diantara makmum nya ada yang mufaraqoh (memisahkan diri).
Karena pada waktu itu beliau membaca ayat yang panjang-panjang. Kemudian bagaimana reaksi Rasulullah ketika mendengar hal itu?. Kemudian Rasulullah menegur shahabat Muadz: “Hai Muadz, Janganlah kamu menjadi tukang fitnah; di belakangmu ikut bersembahyang orang yang sudah tua, orang yang lemah, orang yang punya hajat, dan musafir”
Dalam riwayat lain disebutkan shahabat Abu Mas’ud Al-Anshari r.a berkata, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, saya sungguh kurang bersemangat berjamaah shalat Shubuh, sebab si “Anu” kalau mengimami shalat lama sekali”.
Maka belum pernah aku melihat Nabi saw marah dalam khotbah beliau seperti saat itu. Beliau lalu berkhotbah, “wahai manusia, diantara kalian ada orang-orang yang suka membuat orang lari. Maka, barang siapa mengimami jamaah hendaklah tidak berpanjang-panjang; dibelakangnya ada orang tua, ada orang lemah, dan ada orang yang punya sesuatu hajat”.
Sang imam saya akui hebat sekali dalam banyak hal, namun saya tidak setuju jika standar ajakan beribadah itu dipaksakan merata kepada semua jamaah. Dipukul membabi-buta. Dalam perspektif yang saya dapatkan selama ngaji di desa dan juga liqo di surabaya, urusan ibadah yang sifatnya pribadi silahkan digenjot maksimal. Namun jika itu ibadah yang sifatnya komunal, perhatikan dulu siapa saja jamaahnya. Sehingga sang Da'i bisa memetakaan karakter ibadah sehingga bisa menentukan level tingkat ibadah jamaahnya dan juga memahami tingkat pemahaman terhadap islamnya.

Jangan sampai ajakan beribadah secara maksimal justru malah membuat jamaah menghindari, dan semakin berkurang. Apalagi terhadap jamaah yang masih baru dan awam dengan masjid, apalagi buat yang masih fobia dengan Islam (walaupun sudah ber-KTP Islam). Agaknya percuma mengajak sholat berlama-lama, namun hatinya tidak di situ. Bukankah ketauhidan itu jauh lebih penting sebelum membangun bangunan ibadah?

Sebenarnya, kejengkalan saya ternyata membuatkan segalanya. Ketidaksukaan saya terhadap Sang Imam membutakan semua hal positif dari beliau. Dan, saya baru menyadarinya setelah pulang tawarih. Saya sering sekali mengalami hal ini. Susah untuk berlapang dada terhadap kesalahan orang lain (yang saya lihat dari perspekstif pribadi). Hal ini berlaku untuk semua orang, bahkan untuk sekaliber Imam Masjid sekali pun. Mianeee T.T


Dan sampai detik ini, jika kalimat pertama dari tulisan ini terjadi pada (kepala) saya, maka akan ku lempar golok ke leher orang itu (???) Atau lempar granat dan TNT 5 ton!   *sarap*

Nantikan kelanjutannya :)

16 Jul 2014

Rumitnya Das Capital

Judul Buku: Das Capital untuk Pemula






Adooh, buku ini walaupun dari judulnya tertulis bagi pemula, tapi isinya tetap saja ribet, seribet buku aslinya. Yah, walaupun (lagi) dibumbui dengan grafis dan karikatur yang lucu, tapi tetap saja sangat susah untuk dijelaskan bagi pemula -termasuk oleh saya.

Jadi, kurang lebih seperti ini yang berhasil saya fahami. *dudukmanis*

Sistem perekonomian dunia dahulu kala, jauh sebelum revolusi Industri bergema di Eropa, terdapat suatu sistem yang dikemukakan oleh teolog beranama Karl Marx. Ideologi ini kembang kempis dari awal buku ini diterbitkan sampai pada saat dunia sosialis sedang jaya-jayanya bersama Uni Soviet.
 
Hatta, Das kapital lahir bersamaan dengan revolusi industri yang melahirkan sistem mandor-buruh dengan kapitalismenya. Dalam perjalannya, kedua ideologi yang saling timpuk ini sama-sama punya penggemar, penganut dan pemujanya. Dari kalangan teolog, ekonom, rakyat jelata, sodagar sampai negarawan.

Karena ini buku idelogi, jadi maafkan saya kalau nanti ada tulisan yang sangat tidak jelas. Karena mayoritas saya tidak faham, hahaha.


Karl Marx itu beranggapan pada suatu dasar fundamental pembentukan sistem perekonomian dunia yaitu jual beli. Entengnya, hal ini diilustrasikan tentang penilaian dia terhadap suatu barang yang biasa dijual-belikan. Misalkan roti. 

Roti bagi orang zaman dahulu dinilai sebagai bahan makanan untuk mengenyangkan perut. Sebagai kebutuhan pokok pemenuh kebutuhan biologis seseorang. Oleh karenanya, jika ada orang yang ingin mendapatkan roti namun dia tidak bisa membuat roti, maka roti bisa dibeli senilai dengan NILAI FUNGSINYA. Bagaimana membarter roti dengan singkong, misalkan? Maka dilihat dari niai fungsi dan bagaimana proses pembuatannya.

12 Jul 2014

Jejak Politik Soekarno Versi Timur

Parah! Ada suatu masa dimana saya tidak membaca buku sama sekali. Rasanya? Kayak orang ketindihan truk, diam tak bergerak. Ada suatu masa saya merasa sangat sok sibuk sekali, sampai saat otak saya sudah tertindih pun, saya merasa tidak merasa bersalah sama sekali. Hingga tiba di suatu masa, saya menjadi nyaris kehilangan otak kanan. Tak mampu berimajinasi.

Parahnya lagi, dengan target membaca 20 buku dalam setahun, pertengahan 2014 ini saya hanya membaca 6 buku ajaahhh . Bahkan pernah saya dua bulan tidak minat baca sama sekali. *janganditiru*

Daripada saya menyesali berlebihan, bulan ini saya targetkan untuk membaca tiga buku. Mumpung libur ada banyak sekali dan waktu kerja lumayan longgar. Dan sebagai bentuk 'penebus dosa', berikut saya cuplikan beberapa buku yang sudah saya baca. Sekalian mencoba mengingat-ingat kembali bagaimana gaya penulisan saya dulu -yang cukup membahana. *bukansombong*

Soekarno: Biografi Politik



Bagi saya -mengakunya peminat sejarah, rasanya sungguh kepo sekali dengan seluk beluk Sang Proklamator ini. Nah, yang bikin rasa kepo saya ngelunjak, buku ini ditulis oleh orang Uni Soviet! Itu tuh, negara yang luas negaranya hampir menguasai peta dunia. Bisa dibilang buku tulisan Kapitsa M.S berduet dengan Maletin N.P ini adalah profil politik Soekarno versi timur.

Dari buku ini, saya bisa mengerti bagaimana susahnya perjuangan lewat jalur politik ketika zaman itu. Terlepas dari kelemahan beliau, membayangkan bagaimana rasanya dipenjara berkali-kali tanpa kejelasan nasib untuk bebas itu seperti nonton film aksi. Pas beliau dikeluarkan dari penjara di Ende, Flores, rasanya seperti ada 'skenario' ajaib sekali yang menyengajakan beliau agar bisa keluar dan melanjutkan perjuangan beliau di tanah Jawa.

Bagian terpentingnya adalah, buku ini memaparkan pandangan sosialis yang menjadikan alasan mengapa Soekarno menganggat dirinya menjadi Presiden seumur hidup. Penjelasan yang sangat logis sekali, mengingat saat itu kekuatan timur begitu dominan, pun karena kedekatan Putra Sang Fajar dengan Soviet dan Tiongkok.

Karena selama ini saya dan mungkin mayoritas pelajar di Indonesia dicekokin dengan buku sejarah yang memberikan wacana kegagalan sistem orde lama adalah karena keangkuhan Soekarno dengan mengangkat diri sendiri sebagai Presiden RI seumur hidup. Di buku ini, saya berpikir bahwa keputusan itu ada benarnya juga. Mengingat kendali nasional terhadap pemberontakkan daerah sangat kendor. Juga friksi antar parpol dan organisasi yang menginginkan adanya perubahan sistem kepemerintahan. 

Dengan usia RI yang belum berumur 10 tahun, sangat diperlukan sikap tegas pemimpin untuk membereskan semua kerusuhan itu hingga Indonesia siap dengan sistem demokrasi yang sebenarnya. Melihat perjuangan beliau sampai Indonesia merdeka, saya sendiri tak terbersit bahwa ada keinginan dari Soekarno untuk menjadi diktator.

Namun kenyataannya, dunia politik itu keras dan banyak sekali kacamata ideologi yang tercampur-campur. Perbedaan cara pandang inilah yang justru menjadikan perjuangan Soekarno terhenti dengan tragis lewat G 30S/PKI yang sering disebut sebagai ajang Coup De Etat (kudeta). Bahkan kematian beliau pun menyisakan kenangan pahit sejarah bangsa ini -terutama dengan Orba.

Terakhir, beliaulah satu-satunya presiden yang juga penulis buku (sendiri, bukan ditulisin). Menyadari tulisan adalah senjata propaganda, buku menjadi senjata politiknya. "Di Bawah Bendera Revolusi" dan "Indonesia Menggugat" menjelaskan bagaimana kerasanya idealisme beliau dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Yang saya garis bawahi lagi, buku-buku yang sempat dilarang terbit ketika zaman Orba itu ditulisa bukan saat beliau lagi segang, tapi justru ditulis ketika beliau di penjara!

Buku yang berat, namun sangat recommended bagi penyuka sejarah, utamanya untuk mengimbangi pemahaman cara berpolitik Soekarno dari buku-buku dari barat.

19 Jun 2014

Utopisasi Orang Dewasa



Kejengkelan ini membuncah. Tentang diri sendiri, orang lain dan realitas yang kian menjemukan. Ini bukan soal impian yang ingin digaruk dalam beberapa langkah di depan sana. Ini hanya tentang identitas yang dipertanyakan kevalidannya.

Saya benci dengan orang dewasa -pun begitu dengan pribadi ini.

Menjadi dewasa itu berasa jadi malaikat atau bahkan dewa, yang dianggap tanpa cela dan tanpa dosa. Tak ada yang mau peduli dengan kondisi kita -tentu selain sobat dekat kita sendiri. Mau bagaimana pun tingkah laku kita, siapa pun tidak akan peduli karena kita sudah dianggap SUDAH DEWASA. Tanpa pembenaran, tanpa penyalahan.

Konsekuensi logis dari definisi dewasa yang saya tangkap dari realita adalah keadaan dimana semua hal yang kita urus adalah BENAR tanpa syarat. Menjadi sempurna tanpa mau dicela. Dan selalu ngotot dengan argumen pribadi tanpa mau dikeluhkan. Sungguh memilukan, menjadi dewasa justru menjadi jalur menuju proses pengerasan hati.

Sebenarnya, dalam perspektif psikologis, fase dewasa adalah kondisi pembenaran atas nilai yang selama hidup manusia dapatkan dari dia lahir. Yang dia dapatkan dari orang tua, teman dan lingkungan yang membangun idealisme sematang dan sekeras sekarang.

Bahkan jika seluruh dunia ini berkata salah, sementara dia mengatan benar, maka dia tetap akan kokoh dengan pendiriannya. Inilah karakter utama orang dewasa.

Parahnya, jika Tuhan mengatakan salah pun, dia akan tetap membenarkannya! Dia akan merasa menjadi terbaik dari semua orang sedunia-akhirat ini.

Persepsi dalam pikirannya membangun bahwa apa yang dia lakukan selalu benar karena tidak ada satu orang pun yang menyalahkannya. Omongan dan tindakannya menjadikan role mode seumur hidup yang dijadikan panutan personal dalam keluarganya. Untuk menjadikannya acuh tak acuh dengan kritikan. Tak ubahnya seperti idiom "senggol bacok".

Saking kerasnya karakter orang dewasa itu, mau disalahin sedikit saja, pasti secara reflek dia akan mencari seribu satu alasan untuk menyangkalnya -dan, saya pun mengalami hal yang sama. Orang dewasa suka sekali menjadi pribadi (sok) bijaksana soal kehidupan. Ia akan menjadi penceramah handal jika disuruh berbicara soal pengalaman hidup. Padahal, apa sih yang sudah dia dapatkan selama hidupnya? Apa yang dia banggakan dari hidupnya? Prestasi apa yang telah menjadikannya manusia setengah dewa?

Jika mau sedikit memberikan konklusi, satu-satunya kelemahan orang dewasa adalah SELALU MERASA BENAR!




Jika dewasa itu hanya soal usia, lalu untuk apa manusia harus belajar?

Jika dewasa hanya soal uang, mungkin ini sebabnya banyak orang tua memeras anaknya.

Jika dewasa hanya soal berkeluarga, lalu apa bedanya kita dengan anjing di jalanan?

Jika dewasa itu soal pribadi yang benar, sejak kapan ada manusia mengaku jadi nabi?

Jika dewasa itu adalah mengerasnya hati, mungkin ini ada benarnya. Atau justru yang sebenarnya?

2 Jun 2014

Menumpuk Salah

2014 sudah berlalu lima bulan yang lalu. Ini sudah middle year. Apa yang sudah saya lakukan? 

Saya pun harus melakukan pengakuan dosa-dosa yang telah saya perbuat selama lima bulan berselang.

Enggan membaca dan menulis
Entah darimana datangnya penyakit ini. Namun saya merasa sangat berdosa sekali dengan tumpukan buku yang tergeletak di atas kasur. Begitu merana nasib mereka. Sudah susah-susah dibeli/dipinjam, namun hanya digunakan pelapis bantal saja. Dan penyakit ini pun menjalar kemana-mana. Saya menjadi orang yang sangat apatis dengan informasi baru, sehingga nyaris tidak ada paradigma baru yang saya telaah selama lima bulan ini.

Selayaknya tipe pembaca budiman, saya bukan tipe orang yang bisa menggali manfaat dari ceramah (gaya oral) orang lain. Kecenderungan saya menjadi cuek dengan obralan kalimat yang dogmatis. Sekali lagi saya tekankan, membaca buku sudah membutakan mata hati saya sendiri. Menjadikan pikiran saya nyaris membatu dengan merasa sok benar selamanya. Hati saya menjadi keras. Dan saya benar-benar menyadarinya.
Menulis. Kata ini seperti makhluk halus yang hampir tidak pernah saya lakukan selama dua bulan terakhir. Menulis mendadak seperti seekor singa liar, yang tak satu pun intuisi saya mampu menjinakkannya. Pribadi ini bermetamorfosis ke belakang, dari kepompong menjadi ulat. Melupakan impiannya yang sudah digaungkan sejak lama. Mengingkari janjinya untuk menjadi perangka aksara. Lupa dengan citanya. Menjadi lupa diri.

 Perbendaraan kata saya terjun bebas. Otak saya seperti mengerut karena kekeringan informasi. Tulisan saya pun mendadak menjadi sangat datar tanpa diksi yang pernah saya agung-agungkan berada dalam diri saya. Semua lenyap dengan kesengajaan.

Sok Sibuk
Seberapa banyak aktivitas yang saya emban hari ini? Pasti hanya seperduabelas dari aktivitas saya dua tahun lalu. Dengan beban yang cuman seperduabelas itu, kok bisa fisik dan pikiran saya cuman bisa jalan di tempat saja? Apa jawabannya? Adakah penyangkal dari perasaan bersalah ini? Tidak ada!

Saya terlampau nyaman dengan zona ini. Menjadikan saya malas melakukan hal-hal baru. Hanya beraktivitas sebatas apa yang memang menjadi kewajiban. Selebihnya? Gak ada!

Lupa dengan Impian
Deretan impian itu hampir lenyap dimakan makhluk bernama LUPA. Mana idealisme saya yang dulu? Mengapa saya masih jalan di tempat sementara teman-teman saya sudah melaju kencang jauh di depan. Mengapa saya menjadi orang yang dulu sangat saya benci? Yaitu menjadi orang yang menerima kondisi apa adanya. Orang yang tidak mau menekan kemampuannya sampai batas ketidakberdayaan. Orang yang percaya bahwa manusia adalah makhluk serba bisa?

Mendaki gunung. Mampu berenang. Menulis Buku. Menuntaskan 20 judul buku...bla..bla..blaaaa.. (dan mata saya hanya bisa meratap saja)

Termakan Rutinitas Usia
Bertambahnya usia memberikan saya kesadaran tentang kedewasaan dan tanggung jawab. Efek sampingnya, saya bertumbuh menjadi pohon yang beneran tua, yang tidak bisa digoyang ke mana pun, menjadi pribadi yang kokoh namun juga tidak mampu melihat ke segala arah. Apalagi ke bawah.

Usia telah membuat saya benar-benar kaku dengan idealisme yang pasti penuh dengan ketidaksempurnaan. Menjadi selalu merasa benar -yang pada kenyataannya, kebenaran adalah kemustahilan. Hati saya menjadi kaku dengan masukan orang lain. Ini adalah titik dimana saya merasa benar-benar ingin berubah menjadi Power Ranger.

dan mengapa ketika saya menuliskan daftar dosa ini seperti orang menelan orang? Itu karena saya marah dengan diri saya sendiri. Mengapa gak mau berubah? Mengapa kedewasaanmu mundur? Mengapa selalu merasa sok benar?

Kapan berubah?

4 Apr 2014

Nampan dan Allysum



Di dunia ini, banyak hal yang tidak harus selesai dalam kata. Seperti bualan pada bulan oleh sang punduk, kata tetap menjadi kata di ujung atas sana. Asa pun bisa mengepul bak uap dari nampan sang juragan. Dan masa, tanpa dikomando selalu mampu beriring dengan usia. Juga kematian.

Selalu menjadi hal yang sangat tiba-tiba, sekarang sudah bulan April! Rasanya baru kemarin saya masih TK #eh, dan sekarang saya sudah sangat amat tuwir. Sudah semakin dewasa (atau matang?). Dari sederet impian yang ingin saya wujudkan, hanya mimpi harian-bulanan yang sudah terwujud. Sisanya? Menguap di atas atmosfer bersama karbon monoksida yang mengionisasi sang Ozon.

Mengapa semakin bertambah usia, bertambah pula rasa senang di zona nyaman? Senang dengan ketenangan? Tanpa tantangan? Ingin rasanya saya bisa kembali pada masa-masa kemarin. Menjalin asa dengan keoptimisan tingkat dewa. Bersama pengharapan yang selalu tumbuh di sela-sela waktu yang menghimpit. Andai bisa, saya ingin memupuk hal yang telah terlanjur layu dalam hati ini. Dan, saya pasti bisa! #moveon #berubahmenjadipowerranger

Di atas nampan raksasa yang kita injak setiap hari, langkah tak hanya meninggalkan jejak dan cerita. Namun juga ribuan luka menganga yang menyeruak pelan dalam setiap derap. Mereka hadir beriringan dengan kemolekan pelangi di depannya, bersama semerbak wangi bunga Allysum. Menjadikan cerita berjudul kehidupan.