20 May 2011

A Dream

I am awake and alive, there is something calling me. More than a moment in time, it's a dream i'm following on my own, on my own. More than a moment in time, it's time a life of leaving home. -Yellowcard-

*) for all who are away from home to chase their dreams. May we succeed!

Senja Kemarau


Kemarau memulai langkah
Daun-daun mengering
Serempak
Buaian angin panas
Merebak
Menebar keringat hangat

Buliran daun yang berguguran, mengingatkan saya dengan banyak hal:

- Daun yang berguguran di depan kantin dan di samping Masjid An Nur SMAN 5 Surabaya.
- Awal perkenalan dengan mentoring tujuh tahun silam bersama teman-teman.
- Aktifitas safari Masjid semasa SMA.
- Suci, anak jalan dan seorang pengumpul sampah di samping SMA.
- Ramadhan Di Kampus 1430 H (RDK 30) JMMI ITS.
- Sekolah SD Rahayu 2 saya yang doyong seolah mau ambruk.
- Panasnya mengayuh sepeda di bulan Ramadhan semasa SMP.
- Teriknya matahari di Sawah tepat jam 12 siang.
- Pengapnya Surabaya pinggiran.
- Masjid Cheng Ho, dan dia yang suaranya lenyap sedang berceramah.
- Semilir angin di bawah pohon bambu desa.
- Yayasan Kanker Wisnu Wardhana dan semua aktivitasnya
- Tentang dia dan dia. Ah, dua orang itu.

"Aku tak mau menjadi pohon bambu, aku mau menjadi 
pohon Oak yang berani menentang angin" -Gie-

16 May 2011

A-Cer Season 2






SMS Bijak

Yang terpenting dalam kehidupan bukanlah kemenangan, namun bagaimana bertanding dengan baik dan maksimal (Baron Pierre de Coubertin)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Betapa banyak orang yang selalu menginginkan segala hal. Sementara agama Islam dengan jelas mengabarkan bahwa kemudahan itu akan terwujud manakala orang tersebut telah melewati kesukaran terlebih dahulu. Jika kita menginginkan dalam hidup ini tanpa ada kesukaran, niscaya kita tidak akan pernah menjadi orang besar dan mulia. Sebab semakin tinggi kedudukan seseorang di hadapan Allah SWT maka semakin berat cobaan yang ia hadapi. Wallahu'alam.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Imam Al Qadhi 'Iyadh: "Janganlah gundah, karena rizki datang dari arah yang tidak terduga" (Tartibul Madarik: III/2120) 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Barangsiapa senang terhadap sunnahku, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan sesungguhnya diantara sunnahku adalah menikah (HR Baihaqi)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika kehidupan memberi kita seribu tekanan untuk menangis, tunjukkan bahwa kita mempunyai sejuta alasan untuk tersenyum. Nikmati setiap detik waktu dan akhiri kelelahan hari ini dengan keikhlasan. Dan indahnya hidup bukan karena seberapa banyak orang mengenal kita, namun seberapa banyak orang bahagia karena mengenal kita.

15 May 2011

Rasa Itu

“Senyumannya menghangatkan jagad manusia. Meneduhkan seluruh jiwa di atas selimut mayapada. Juga, atas kehidupan fana ini. Semua berputar selaras dengan putaran bulan atas bumi ini. Menampakkan segala titisan kebaikan. Aurora keajaiban-Nya”

Ku awali ayunan langkah pertama hari ini dari kota Ronggolawe, Tuban menuju kota para Buaya. 126 kilometer ke arah barat sembari menikmati untaian Pegunungan Kapur Utara yang semakin terlihat ompong karena pembalakan liar batu kapur. Juga jalanan yang ikut-ikutan ompong, tanpa perbaikan hingga menjadi jalan “goyang patah-patah” khas Uut Permatasari.

Perjalanan normal bisa mencapai 2,5 sampai 3 jam. Tapi hari ini aku harus sudah tiba di Universitas Wijaya Kusuma jam 9. Ku pacu kuda besi tuaku ini dengan setengah ngebut, dengan angka speedometer harus di atas 80 km/jam atau TELAT! 

Di tengah jalan, beberapa SMS kemarin dan pagi baru masuk secara serempak. Efek sinyal (tidak) kuat alias sekarat di desa saya, jadi kalau ada SMS, masuknya pasti telat. Sinyal semua operator di desa saya harus tunduk pada hukum alam: hidup tak mau, mati pun enggan, hobinya sering pingsan jamaah. Jadi kalau pas dapat sinyal penuh, SMS masuk rombongan, jam berapa pun ngirimnya. Terpaksa harus membalas SMS satu per satu plus melakukan panggilan di tengah jalan.

Sementara, saya pun tidak tahu apa yang telah dilakukan teman-teman di sana. Saya hanya merasakan tubuhku yang menjadi bentoel-bentoel karena semalam tidur hanya beralaskan tikar dari ayaman daun pandan di atas tanah yang tidak rata. Sebenarnya sudah terbiasa, tapi malam itu ada benjolan gede (entah batu atau tanah) yang sangat mengganggu di bawah tikar.

Sudahlah, saya sudah sampai di Surabaya. Kondisinya hujan, padahal sampai di Gresik masih panas sekali. Menunggu Mbak Artika di UWKS, ada telpon masuk dari Mafi. Seperti biasa, anak baik hati tapi cerewet ini menanyakan segala aktivitas Taman Baca. Ya dikritik (menu wajib), diberi saran, masukan, dikasih donasi juga.

9 May 2011

Tersenyumlah :-)

 Sifatnya yang mendominasi (dan tak mau kalah), Nane. Bersama Rizka dan Riki

Tampak kinclong. Pintu harus ditutup untuk menghalau suara karaoke di luar, hasilnya: PANAS!

Pooint of viewnya tampak saya atau Adi? Hehe...

Jarang-jarang, mereka bisa akur

Adik saya (Dandy, berbaju putih) ikut joint juga

 Semakin kinclong

Tambah kinclong dan sumuk

Saya yang narsis atau fotografernya yang ngefans saya?

Akhirnya mereka berkumpul lagi

Berpikir atau (sok) berpikir keras?

Catur, the Briliant Child. Absolutly! I'm guaranted!

Ribut mencari barang berbentuk segitiga

Ayo, Berjuang!

Catur menjadi koordinator, menggelikan!

Tebak, apa yang aneh dengan foto ini?

Serius!

 Si Pelayan sedang mbenerin alatnya

 Seru, juga crispy akhirnya

Nglamunin si Toni di sampingnya :P

Loading.........0%

Loading........(masih) 0%

(Calon) Bapak yang baik :-)

Aminudin ini bukan fotografer, tapi paparazi!

Hampir!

 Fajar dan pasangannya. (eits, yang di Unair itu siapa?)

(sok) cool=kademen!

Bahkan di sini pun, masih aktif sms-an (rahasia)

Anggun, manja sekali (Melihat keluarganya, wajar sih)

Saling berbeda

Rambutnya, nggak mbetahi!

Tersenyumlah :-)

Tersenyumlah (lagi)

 Menertawakan Catur (lagi)

Cheeerrss...(sesi mejeng2)

Sadar Kamera!

Melongo...

Mingkem euiy....!

8 May 2011

SMS Mutiara (lagi)

Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu (Al Baqarah: 208)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtadz)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur (Al Imron: 144)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Western parents try to respect their children's individuality, encouraging their choises. By contrast, the Chinese believe that the best way to protect their children is by preparing them for the future, letting the see what they're capable of, and arming them with skills, work habbits, and inner confidence that no one can ever take away. -Amy Chua, Battle Hymn of the Tiger Mother-
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak seperti agama Islam, agama Nasrani didirikan oleh seseorang melainkan dua orang (Isa dan St Paul) karena itu  pengakuan jasa-jasanya atas perkembangan agama itu harus dibagi sama rata antara kedua tokoh itu  -Michael Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia-

6 May 2011

SMS Bijak (lagi)

Yang palimg penting adalah bahwa dari kalangan umat islam harus ada suara dan usaha yang positif dan konstruktif yang didengar dan diketahui oleh seluruh masyarakat sebagai imbangan atau untuk mencegah meluasnya semangat frustasi dan apatis yang mencekam sebagian besar bangsa kita dan menghidupkan kembali sebagai semangat optimis dan kesediaan bekerja keras. -Sjafruddin Prawiranegara
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
True Friendship's B-):
When you :-) i :-)
when you :-D i :-D
when you :-( i :-(
when you :-@ i :-@
but when you die, :-}
Absolutely i won't
%-)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Boleh saja FBI, CIA atau siapa saja berbuat jahat terhadap hidupku, aku tidak akan peduli. Aku hanya mencari kebenaran dan berusaha tetap obyektif, serta mengutamakan persaudaraan dan menempatkan persoalan pada porsi masing-masing. Aku menentang cara bergaul dan cara berpikir sempit. Aku percaya, bahwa intelegensia seseorang sebanding dengan tingkat intelektualnya. Dan aku percaya orang akan menghargai kebenaran yang kumiliki. -Malcolm x

4 May 2011

Sahabat Terbaik: Epilog


Teringat perkataan Pak Abdullah Shahab yang memberikan khotbah Jumat di Manarul beberapa bulan silam. Beliau melontarkan pilihan yang cukup membingungkan, “dalam hal bersedekah, mana yang akan anda pilih: bersedekah sedikit demi sedikit tapi ikhlas atau bersedekah banyak tapi masih belum ikhlas?”

Sebagai penganut faham materalistik (maksudnya kantong kering), saya pasti cenderung memilih pertama. Apalah artinya sedekah banyak kalau hati tidak ikhlas? Tapi jawaban yang beliau utarakan membuat sungguh menampar hati. Beliau memilih pilihan kedua. Mengapa?

Menurutnya, suatu ibadah itu harus diawali dengan paksaan, jangan menunggu hati ikhlas dulu untuk melakukannya. Seperti kasus sedekah, mentalitas untuk menyisihkan uang bisa terlatih kalau kita sering bersedekah banyak walaupun awalnya kita tidak ikhlas, lama-lama pasti ikhlas sendiri. Mentalitas seperti inilah yang jarang dibudayakan umat muslim. Masak untuk beribadah harus menunggu ikhlas dulu? Masak kalau mau sholat harus menunggu ikhlas menjalankan sholat? Masak mau sedekah banyak harus menunggu ikhlas dulu? Bisa-bisa sampai akhir hayat, kita tidak pernah melakukan ibadah!

Toh, kebanyakan mentalitas bersedah sedikit demi sedikit itu jarang terbukti dalam kenyataan. Beliau mencontohkan, misalkan jum’at ini infaq seribu rupiah. Apa pekan depan bisa 2 ribu rupiah? Dan apakah bulan depan meningkat lagi? Apakah tiga bulan lagi bisa 10 ribu? Belum tentu, mampu istiqomah untuk bersedekah saja masih dipertanyakan.

Untuk itulah, mentalitas untuk memaksakan diri dalam beribadah itu mutlak diperlukan. Bahkan pilihan untuk masuk atau titip absen (TA) saat kuliah pun harus dipaksakan. Apalagi urusannya dengan Tuhan.

Nah, bagaimana dengan sahabat kalian, kawan?

Sahabat Terbaik: Kedua



Nah, sahabat keduaku ini justru bertolakbelakang dengan yang pertama. Sama-sama aktivis. Hanya dia lebih moderat. Lebih sering menilai suatu fenomena atau orang dengan banyak kaca mata sudut pandang yang beragam. Jadi tidak melulu “menurut gue”. Satu ditambah satu tidak selamanya hanya menghasilkan angka dua, itu istilah ku untuk pemikirannya.

Dia selalu bisa menjelaskan dan memandang suatu hasil adalah bagian dari proses dan input yang berbeda. Sama dengan aku, dirinya paling benci kalau disbanding-bandingkan. Baginya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak bisa disamaratakan dengan orang lain, walaupun itu saudara kembar siamnya. Semua berbeda dengan jalan dan prosesnya masing-masing. Jadi kalau hasilnya berbeda, dia mewajarinya dengan mencari sebab-akibat yang terjadi.

Misalkan saat melihat orang stess, entah temannya atau dirinya sendiri, jika dirinya bisa mencari sebabnya, dia sudah bisa menebak taraf ke-stress-annya plus bagaimana dia harus meresponnya. Sama halnya ketika dia bercerita ada salah satu saudaranya yang bercerai, dengan intonasi datar, dia mampu menceritakan layaknya orang ngobrol biasa. Seperti bukan hal yang luar biasa, karena dia menganggap itu bagian dari pelaku dan proses yang panjang. Sehingga tidak bisa di-judge dengan satu sikap, tanpa mau tahu kondisi yang sebenarnya. Kalau dia menjadi mereka, belum tentu dia bisa menjadi lebih baik, begitu alasannya.

Juga ketika ada cita-cita atau harapan yang tidak terwujud, dia tidak lantas mencemooh ketidakbecusan kita. Walaupun dia bisa bertindak hal itu. Namun dia selalu membesarkan hati. Karena dibalik ketidakberhasilan sesuatu pasti ada yang salah. Hal yang dilakukan diluar prosedural yang seharusnya. Namun jika itu akibat kesalahan yang aku sengaja, tak segan-segan dia bakal “marah” tidak berujung. Benar-benar bisa mau mengerti setiap detail dari proses.

Ya, variable yang dia ikutkan sangat banyak, sehingga ia selalu menghargai adanya perbedaan yang ada. Lebih kompleks memandang suatu hasil dan tidak pernah MEMBANDINGKAN DENGAN DIRINYA SENDIRI! Karakter ini lah yang sering saya namai: moderat memandang manusia. Tanpa embel-embel apapun, memandang manusia sebagai manusia biasa.

Cuplikan dari dia yang paling saya ingat adalah perkataan Michele Obama, “Saya selalu mengingatkan suami saya bahwa dia hanyalah manusia biasa”.

Ya, manusia biasa. Jika kita mau memandang semuanya dengan kacamata manusia biasa, niscaya kita tidak akan pernah silau dengan kehebatan orang atau justru merasa merendahkan orang yang jauh di bawah kita. Semua mempunyai kelebihan masing-masing, yang tidak kita miliki.

Kembali ke temanku ini. Aku juga mengagumi pemikirannya, cara pandang dia dengan semua karakternya yang plus minus. Sama dengan sahabat pertama, dia selalu ada di saat senang atau tidak senang. Suka memuji jika ada pencapaian yang telah aku raih. Juka suka ngomel-ngomel kalau ada kesalahan yang aku perbuat, sengaja atau tidak. Sama-sama keras kepala, hobi debat kusir dengan diriku. Yang ujungnya hanya satu, pemikiranmu punyamu, pemikiranku biar menjadi milikku, okey?

Terkadang saya lebih pro dengan sahabat kedua ini karena sikap membumi kita akan membawa ke arah karakter khusnudzan (berpikir positif) dalam memandang segala persoalan hidup juga bisa menjadikan diri kita spesial. Bisa menghargai diri sendiri apa adanya, karena kita spesial daripada yang lain. Limited edition, bahasa pasarnya.

Daripada sikap sahabat pertama saya yang cenderung pragmatis, tidak mau tahu kondisi orang lain. Semaunya sendiri menilai orang. Sahabat kedua saya ini adalah lawan sifatnya!

Tapi, kadang saya juga pro dengan sahabat pertama ini. Mengapa? Sikap perfeksionis itu sangat diperlukan untuk “memaksa” diri keluar dari zona nyaman. Menjadikan potensi diri melejit, untuk menjadi yang terbaik dari yang baik. Pemaksaan itu perlu, bahkan fardhu ‘ain. Bagaimana caranya? Salah satu yang paling praktis adalah berpacu pada hasil yang terbaik. Dengan memasang target yang terbaik, pasti mau tidak mau kita akan berjuang sekuat tenaga untuk meraihnya. Seperti perjuangan mempertahankan hidup dan mati, semuanya harus direncanakan sehingga setiap jengkal langkah adalah bagian puzzle terbaik untuk merangkai asa yang terbaik pula. Jangan sampai ada cacat walaupun hanya sejengkal.

Nah, tau begini saya sering plin plan sendiri. Soalnya saya bukan termasuk kedua-duanya, juga bukan yang lain. Alias, terkadang saya menjadi sahabat pertama, kadang menjadi sahabat kedua. Ah, kalau bermain api pasti lama kelamaan bisa terbakar juga, walaupun awalnya baru sangit. Sahabat selalu menjadi bagian dari cara berpikir kita terhadap kehidupan. Sedikit atau banyak, pasti!

Sahabat Terbaik: Pertama


Sejauh ini, aku punya dua orang sahabat akrab. Mungkin paling akrab dan dekat secara personal. Walaupun jarak memisahkan kita ratusan kilometer, namun posisi mereka belum tergantikan (lebay poenja). Namun dua orang ini memiliki karakter yang bertolakbelakang. Karena perbedaan ini pula, saya sering berdebat hebat sampai eyel-eyelan dengan mereka berdua. Karena kedua-duanya juga berbeda dengan saya. Walaupun pemikiranku juga tidak jauh berbeda dengan keduanya.

Sahabat pertama, seorang perfeksionis sejati. Dibumbui dengan jiwa-jiwa kholeris tingkat akut. Teman saya ini suka men-judge suatu keadaan dengan cara pandangnya sendiri. Tidak mau mempedulikan kondisi orang yang menjalani atau proses yang terjadi. Saya pun sering menjadi korbannya. “Koen iku...bla.....bla...bla....,”

Saya sering muak dengan cara dia mengetrek-ngetrek kesalahan orang dengan nada sinis plus getir, nyindir dan nyinyir. Dia suka membanding-bandingkan. Dengan sesuatu yang jauh lebih bagus hasilnya, dengan yang lebih perfect! Parahnya, dia sering membandingkan dengan dirinya sendiri. Huft, menjengkelkan!

“Aku lho bisa seperti ini....bla...bla...bla....”

Saya termasuk tipikal orang yang sangat benci dibandingkan dengan orang lain. Kalau dia sudah berbicara tentang dirinya sendiri, saya sudah pasang penawarnya: Tidak saya reken! No reken u!

Tapi secara pribadi saya salut dengan dia. Walaupun dia suka membanggakan dirinya (entah narsis dengan wajah gantenganya, kedermawannya, materi yang dia hasilkan, idealisme, perjuangannya, dll), saya selalu kagum dengan dia secara personal. Dengan tuntutan pribadi yang selalu berharap yang terbaik dan paling baik, dia bisa membuktikan bahwa dia bisa meraihnya!

Termasuk waktu dia jatuh ke lembah hitam, saat jiwanya sudah tidak lagi di dunia walaupun nyawa dan raganya masih bersatu. Dia berhasil bangkit! Sangar!

Dia bisa menjadi terbaik di dunianya. Dari akademik, IPK cumlaude. Organisasi, dia bisa mencapai tataran tertinggi organisasinya. Paras wajah di atas rata-rata. Sudah berbisnis sejak maba. Mandiri finansial entah dari semester berapa. Hafalan surat, sangat banyak dan cepat hafal. Totalitas dalam semua amanahnya, tidak pernah setengah-setengah!

Ya, semua dia lakukan dengan totalitas pengabdian! Saya masih ingat ketika dia merangkap-rangkap aktivitas yang membuat saya geleng-geleng jempol kaki. Saat dia mengurusi Tugas Akhir, dia nyambi pekerjaan yang menuntutnya jam kerja. Saat itu pula dia menjadi coordinator suatu acara yang mewajibkan untuk berkoordinasi dengan semua universitas dari tujuh kota di jawa timur. Tidak hanya Surabaya yang punya sekitar 30-an kampus, tapi dia juga harus ke Madura, Tuban, Mojokerto dan lain-lain. Nah, dengan perjuangan yang penuh berliku nan terjal, dia bisa melaluinya dengan menakjubkan!

Dia lulus tepat waktu –cumlaude pula-, acaranya sukses besar dengan tingkat partisipasi nasional (dari Ambon, Maluku pun sampai datang), bisnisnya lancar, kerjaan OK. Siapa coba yang tidak ngiler dengan pencapaian luar biasa seperti itu?

Dengan paradigmanya yang selalu ingin mendapatkan hasil sempurna membuat setiap jengkal langkahnya juga harus sempurna, kira-kira begitulah tabiat pemikirannya. Luar biasa bukan?

Satu hal lagi berkenaan dengan hubungan kita, dia selalu bisa menjadi sahabat di saat baik dan buruk. Kalau ada sesuatu yang bagus telah aku lakukan, dia tak segan-segan untuk memujiku setinggi langit. Walaupun aku sering risih kalau dipuji olehnya, terlalu lebai. Juga ketika ada yang tidak beres dengan tingkah lakuku, dia juga tak segan untuk mendamprat dan mengetrek-etrek diriku hingga terkadang aku harus muhasabah total sambil berurai air mata. Kalau kita sama-sama gila, kita juga menjalani terapi dengan gila: begadang hingga pagi, nongkrong di cafe, hingga jalan-jalan tanpa tujuan. Kalau lagi sumpek, kita sama-sama member masukan, juga terkadang pujian dan cacian pula. Lengkap!

Tapi ya itu tadi, saya paling benci kalau dia mulai men-judge aktivitas ku. Walaupun aku selalu berkoar, aku bukan kamu dan kamu juga tidak bisa menjadi diriku! Proses kita berbeda boi. Tapi tetap saja, dengan enteng dia menjawab “Kalau aku bisa mengapa kamu tidak bisa?”. 

Arggghhhh. Kepala batu ketemu kepala granit, beginilah jadinya kalau kita bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah, dan mesti berakhir dengan “tingkah kekanak-kanakan” kita sendiri. Ya, keakraban kita terjalin karena keliaran pikiran kita, kegilaan kita dan tingkah kekanak-kanakan kita yang jarang diketahui orang lain. Ya, dia (sok) cool dengan orang lain.

Tapi aku selalu kagum dengan dirinya. Walaupun sampai sekarang aku tetap sering tidak sependapat dengan dirinya. Bukankah warna warni hidup itu jauh lebih indah? Seperti pelangi....

Menghargai Proses


Mengapa orang lain maunya hanya men-judge? Tanpa mau menghargai bagaimana proses yang terjadi. Aku bukan kamu, dan kamu juga tidak bias menjadi diriku. Huft!

*) Efek debat kusir tengah malam yang sungguh menjengkelkan