2 Oct 2014

Fiksi Mini Hoe


#1 
Kapan terakhir dia menikmati senja? Kalau tidak salah, semenjak kau jejalkan ambisimu pada tulangnya yang rapuh. Saat itu, siluet yang berwarna orange masih bertengger mesra, mewarnai keheningan dia yang sedang bersandar di bahumu. Lalu tiba-tiba, burung hantu berhenti berkicau. Senja digulir oleh malam.
Dan itu tepat sehari sebelun dia pergi. Tanpa alasan. Tanpa kata. Selamanya.

#2
Relakan semua nista untuk merayap ke ujung tutup botol. Kungkunglah nuraninya dalam rongga tanpa hawa. Biarkan ia membusuk, sampai detritivor pun tak mau menjamah. Lalu, tunggu sampai ia menyembul sendiri. Untuk menampakkan jiwanya yang bertanduk -tanpa sayap fananya.

#3
Ia bukan rendezvous yang meluangkan putaran masa lalu. Bukan pula de javu yang menisbahkan urutan takdir.  Dia adalah alyssum pagi yang baru mekar dari tidur panjangnya. Kedatangannya bak tetes embun. Tenang. Damai. Dan juga angkuh.

#4
Tentang waktu. Kadang kita terlalu rendah hati untuk bernegosiasi dengannya. Kita pasrahkan semua padanya, seolah kita tak bisa apa-apa. Lantas dengan nada sok bijak kita berkata: ‘biar waktu yang menjawab.’ Padahal waktu bisu, tak bisa berucap apa-apa, apalagi mendekatkan dua manusia. Menjadikan waktu sebagai tuan adalah menyerahkan diri untuk niscaya dicincang.

#5
Malam, datanglah kemari. Mari ku tunjukkan lubang raksasa di belakang pekarangan rumah. Di situ, dahulu pernah ditanam sebuah pohon harapan -yang tumbang saat sedang tinggi-tingginya. Tengoklah, bekas akarnya menganga lebar menanti datangnya masa depan yg makin tak menentu.

#6
Mari ku antar di negeri tak berpengharapan. Sebuah tanah tak bertuan yang lebat akan ketidakpastian -juga harapan. Mari ku antara ke masa depan. Kala yang ada di depan sana. Siaplahkan kayuhmu. Mari kita mendayung bersama.

#7
Pesan dari Masa
Shinta menunggu langit membuka rahasia tentang belenggu atas takdir yang didambakan. Awan bergelamut kenes menyisakan frame tua tak berwajah. Senyap. Menyergap malam bersama dinginnya rasa berpengharapan. Nihil.

Rama termenung dalam perangkap kelana pikiran untuk menyusuri jalan menuju surga. Meliatkan tawakal untuk ribuan angan hidupnya yang disusun serupa lotus yang sedang mekar. Menimpa seringaian belukar benalu dalam lumpur.

Dan masa memungut adiksi dari pembiasaan kisah. Mengamati pelan cerita makhluk bumi sembari berpesan: "Pernah terkisah di bawah atap langit, ada manusia menyeret waktu. Merubuhkan takdir baik, menyisakan keriput penyesalan bersama laranya"

#8
Jiwaku terperangkap dalam sebuah ruangan tak berpintu. Putih sempurna hingga tak menyisakan batas utopia dan angan sejatinya. Pelan, ia menerobos masuk bak embun pagi memeluk pegunungan. Menyesaki tarikan nafas sampai alveolus terdalam.

Dus. Histeria itu menyeruak ke alam fana. Merobek peneduh alam durja. Meruntuhkan genggaman iman atas masa. Lalu, ia datang mendekat. Membisikkan rangkaian kata masa silam. Tentang awal dari hikayat dua insan.

Ragaku masih di ruangan ini hingga kisah itu usai bertutur sendiri. Namun jiwaku goyah. Ia terpekur dalam polah imajiner amfethamine-nya sendiri. Menyatu atas diam yang abadi. Memaku waktu.

Kisahku tidak berakhir di sini. Karena lisanku menyisakan satu tanya menjelang tamat. Inilah pemberhentian tragedi dan perkuburan atas kenangan. Inilah perjanjian itu, yang pernah ku suarakan dalam mimpi. Persekutuan tanya yang tak terbalas.

Masih di sudut ruangan putih ini, izinkan aku bertanya pada masa lalu.

"Apakah dia itu kamu?"

#9
Rasa disini bungkam. Sebab tak ada yang mampu menangkapnya, sebagaimana jika ia dinyanyikan oleh nama lainnya. Begitulah, dalam sebuah kisah, tak semua bisa jadi lakon utama. Selaiknya aku dalam kita, hanya menyaksi. Menikmati ngilu yang menggumpal dalam segelas kopi.

#10
Ku ingin bertanya pada bulan mengapa jelanga pekat bisa mampir di gubuk ini.
Ku ingin bertanya pada secangkir kopi hitam, bagaimana bisa ia mau berdamai dengan gula.
Ku ingin mengadu pada pena, kapan dia bisa menghasilkan kata?
Lalu, ku ingin menekur bayangan yang sedang ku kejar.
Dan, Ku ingin memaki kehampaan yang merambati asa

#11
Si berteriak lantang mempertanyakan keadilan pada perdu yang tumbuh di sampingnya. Sang memaki bintang yang melalang jauh untuk ditimang. Lalu angin menyeret malam bersama gulita bertabur emas. Di bagian akhir, Surya datang dengan diam. Dan mereka semua ikut terdiam.

#12
Seandainya bisa
Aku ingin melebur saja bersama udara
Yang bisa kauhirup dalam-dalam
Dan kau simpan dalam paru-parumu
Aku ingin menyatu dalam darahmu
Yang memberi kekuatan padamu untuk terus berlari
Mengejar impianmu

#13
Di atas nampan raksasa yang kita injak setiap hari, langkah tak hanya meninggalkan jejak dan cerita. Namun juga ribuan luka menganga yang menyeruak pelan dalam setiap derap. Mereka hadir beriringan dengan kemolekan pelangi di depannya, bersama semerbak wangi Lavandula Angustifolia. Menjadikan cerita berjudul kehidupan.

#14

Di dunia ini, banyak hal yang tidak harus selesai dalam kata. Seperti bualan pada bulan oleh sang pungguk, kata tetap menjadi kata di ujung atas sana. Asa pun bisa mengepul bak uap dari nampan sang juragan. Dan masa, tanpa dikomando selalu mampu beriring dengan usia. Juga kematian.

#15 (kutipan favorit)
Aku tak mau menjadi pohon bambu, aku mau jadi pohon oak yg berani menentang angin -Gie