Kala itu, ada suatu masa yang menjejak nasib dan takdir tanpa irama.
Aku bersama waktu datang kepadamu. Menanya tentang sebab-musabab kelahiran kita. Menujum masa depan dan ketidakpastiannya. Memaksa keakuanku untuk hadir dalam nafasmu. Membibit penawar dari malam tak berujung yang pernah ku lantunkan.
Dingin, begitu kesan pertama -yang tersirat dari sorotan mata sayumu. Bukan penolakan, bukan penerimaan. Tidak ada nasib paling sadis dari pencari jawaban selain keterdiaman. Suaramu sengaja kamu gantung berbulan-bulan.
Namun aku percaya, Tuhan senantiasa memilih jalan paling romantis dari semua pejuang asmara -begitu sebutanku pada kekakuanku. Satu goresan sudah terukir, dan harus disempurnakan. Kaki sudah terlanjur melangkah, tak elok berujung kemunduran. Nafas terhembus, berulang kali menonjok kesadaran untuk optimis.
Hingga, anggukanmu memantapkan keyakinanku.
Kini, kita hadir dalam satu. Menapaki jalan yang tak pernah kita jamah. Menyapa pagi bersama. Mengakhir malam berdua. Eh, inshaa Allah akan bertiga. Masih banyak tangga-tangga yang menunggu jejak kita berdua.
Kita adalah bagian metamorfosa cerita yang dahulu terpisah, kini melebur, dan kelak menggema dalam keabadian.
Kita adalah bagian metamorfosa cerita yang dahulu terpisah, kini melebur, dan kelak menggema dalam keabadian.