Lead: ITS itu kere (sangat miskin, red)
Lontaran kalimatnya mantap, tanpa kesan
ragu sama sekali, sesuai ciri khas orang Surabaya jika bergumam. Di akhir kata,
justru diselingi dengan tawa yang berintonasi kuat. Ya, memang lucu. Lucu jika
saya memaknai dialeknya dari awal. Tapi juga menyakitkan hati, karena itu
pernghinaan terhadap almamater saya. Inilah kejujuran dalam realita.
“Pancen ITS iku kere,” ujarnya kali kedua.
Rasanya seperti diinjak dua kali di
luka yang sama. Yah, realita memang
harus diterima. Inilah fakta tentang kampus kita, lima puluh tahun silam. Saat
YPPT 10 Nopember masih jatuh bangun meretas dan memperjuangkan kampus ITS. Kata
petuah bijak, mempertahankan itu jauh lebih susah daripada memulai.
Inilah realitas dari sebuah kisah
perjuangan para pejuang di kampus Perjuangan.
Jika institusi Pendidikan Tinggi Swasta
biasanya didirikan oleh anggota yayasan yang sudah terlebih dahulu, YPPT 10
Nopember didirikan dari nol. Tidak seperti Universitas Muhammadiyah (UM),
Universitas Katolik (UK), atau kampus swasta berbasis Yayasan, cikal bakal
kampus ITS adalah bagian kisah perjuangan paling dini, dari semua kisah perjuangan
heroik lainnya. Termasuk lebih dini dari soal pengkaderan yang berdaya juang
akut itu.
“Pak Angka itu hanya seorang dokter,
bukan pengusaha. Uang dari mana untuk membiayai keberlangsungan kampus?” tanyan
Bu Budi dengan nada tinggi.
Para anggota YPPT mayoritas adalah
praktisi dari profesi masing-masing, dokter, insinyur, kolonel, professor, dll .
Ada pula yang pengusaha, salah satunya Bapak Asnoen Arsyad dan Jahja Hasyim. Namun
keberadaan para pengusaha itu bukan jaminan keberlangsungan hidup kampus. Walaupun
banyak pula hibah materi, tenaga dan pikiran yang diberikan oleh mereka.
Lebih dari itu, banyak pertanyaan sederhana
harus dijawab oleh mereka. Bagaimana Yayasan menggaji para dosen? Bagaimana mahasiswa
praktikum? Dengan apa mahasiswa mengasah teori keinsinyurannya selain dari
buku? Bagaimana menyusun kurikulum pendidikan per fakultas/jurusan? Bagaimana menyusun
sistem pendidikan teknik (yang tentu sangat rumit dari nol? Dan
bagaimana-bagaimana lainnya.
Memang, tidak ada penuturan sejarah
tentang susahnya mendirikan pendidikan tinggi di zaman orde lama yang kondisi
perekonomian masih belum stabil, keamanan yang pasang surut, dan tentunya minat
masyarakat terhadap pendidikan tinggi masih sangat rendah.
Ironi itu bisa dituturkan dengan
ungkapan sederhana dari kondisi tempat perkuliahan yang terpencar-pencar, dosen
tetap yang tidak lebih dari lima dosen, seringnya kuliah batal tanpa, waktu
tempuh studi yang lebih dari 6 tahun, sampai banyaknya mahasiswa yang mutung
kuliah alias OD (Out Dewe, red) di tengah ketidakjelasan nasib kelulusan
mereka. Hal ini jamak dan biasa.
Mayoritas tempat kuliah saat itu adalah
hibah dari pihak ketiga, termasuk kampus paling “elite” Baliwerti yang
dihibahkan dari Pemerintah. Ada pula bekas Rumah Sakit Belanda yang dijadikan
ruang kuliah. Sampai saat ini bangsal-bangsal yang dahulu digunakan sebagai
untuk ruang jenazah masih bisa kita saksikan bersama logo ITS yang mengelupas
di Jalan Ketabang Kali. Bahkan ada pula hibah tempat berupa gudang pabrik gula
yang juga dijadikan tempat kuliah.
“Sampai Bapak lengser pun, belum ada
mahasiswa ITS yang lulus,” ujarnya tentang ironi lain.
Apa? Tanya saya dalam hati. Mahasiswa
masuk ke ITS tahun 1957 dan Pak Angka lengser tahun 1964, itu artinya dari 7
tahun sejak ITS berdiri, tak satu pun insinyur yang dilahirkan.dari rahim ITS. Apalagi
setelah itu adalah tahun 1965, para kakek-nenek kita pasti pernah mengalami
sejarah kelam tahun ini: G 30S/PKI!
Suami Bu Budi sendiri adalah alumni
Jurusan Mesin angkatan ketiga alias M-3 sehingga juga mengerti detail perjuangan
para pendiri ITS kala itu, selain dari kisah Bapaknya sendiri.
Mendadak
Negeri
Kesusahan yang melilit YPPT ternyata
juga menjadi salah satu alasan untuk menjadikan Yayasan ini menjadi sebuah
kampus negeri. Walaupun sudah direncanakan sejak lama, kondisi YPPT yang hampir
pailit harus segera diselamatkan dengan menegerikan Yayasan ini.
Sama dengan kondisi Perguruan Tinggi
saat ini, status PTN bisa mengurangi beban Yayasan dengan pengambilalihan kepengurusan
oleh Kementerian Pendidikan dari pusat.
Berbekal nekad dan relasi, Pak Angka
segera menghubungi Ruslan Abdul Ghani, Menlu kala itu yang juga teman akrab
beliau untuk melobi Bung Karno untuk ke Surabaya dan meresmikan kampus ITS.
Hingga akhirnya Institut Teknologi Sepuluh Nopember resmi berdiri pada 10
Nopember 1960.
Ada kejadian unik di bagian dapur saat
peresmian tersebut. Kala itu, YPTT memang sedang terkena krisis moneter. Hingga
untuk membelikan hidangan penyambutan Bung Karno dipenuhi banyak pertimbangan.
“Kita mau menghidangkan buah-buahan.
Tapi kita bingung mau pilih buah apa karena harga buahnya mahal-mahal semua”
Hal itu dikarenakan budget yang
disediakan tidak sebanding dengan harga buah yang diinginkan.
“Saking lamanya kita berdebat, saat
buahnya sudah kita beli, Bung Karno malah sudah selesai meresmikan dan sudah
pulang,” ujarnya sambil tertawa lepas.
Jadilah buah itu menjadi konsumsi para
panitia acara itu. Agak miris memang.
Sebuah
Sejarah Perjuangan
Kala sejarah diputar seperti lorong
waktu, selalu akan ada banyak serpihan sejarah yang terlupakan, dilupakan, atau
sengaja dikaburkan. Bersama dengan waktu yang menggerus ingatan manusia, generasi
yang telah berganti, masa pun bisa meluputkan sebuah tindakan besar.
Saat ini, kita bisa duduk manis di sebuah
kampus teknik terbesar kedua di negeri ini. Kita bisa menikmati akses
pendidikan dengan segala fasilitas dan kemudahan yang jauh berbeda dengan 55
atau 52 tahun yang lalu. Kita juga sudah bisa menyandang sebuah nama besar
dengan “hanya” berjuang menjadi mahasiswa ITS saja. Nama besar yang dirintis
oleh orang-orang besar yang sungguh visioner.
“Pak Angka itu orang yang sangat luar
biasa, sangat visioner. Kampus Sukolilo ini adalah salah satu gagasan beliau yang
revolusioner,” ujar Prof Mahmud Zaki,
Rektor ke-4 ITS yang juga salah satu tenaga pengajar awal di ITS.
Sebuah tindakan besar itu adalah
rencana pembangunan kampus ITS yang terintegrasi pada satu tempat sudah digagas
oleh Pak Angka saat baru mendirikan YPTT. Walaupun impian tersebut baru terwujud
hampir 30 tahun setelahnya, gagasan itu adalah bentuk kontribusi yang bisa
dirasakan hingga saat ini.
Tidak mudah membeli lahan seluar 180
hektar ini. Soal pendanaan, ada keputusan kontroversial ketika Pak Angka yang
mewakili YPTT menjual lahan kampus Cokroaminoto yang ternyata digunakan untuk
menabung biaya untuk membeli tanah. Kontroversi juga muncul pada pemilihan
lahan yang jauh dari pusat kota, dan masih berupa hutan rawa. Saat itu, batas
kota Surabaya timur hanya sampai Karang Menjangan.
“Masak kita mau kuliah di tengah rawa?”
Cemoh mahasiswa saat itu
Pikiran visioner itu sudah menjadi masterplan dalam diri beliau sejak awal,
yang baru dirasakan oleh para mahasiswa dan sivitas lainnya pasca tahun 1980-an
hingga saat ini dan (mungkin) sampai beberapa tahun ke depan. Dan bagian dari
sejarah itu terungkap, lebih dari sekedar simbol patung beliau yang terdiam
bersama deru langkah para mahasiswa.
Kiranya pesan dari Bapak Ruslan Abdul
Ghani, tokoh pergerakan Indonesia yang juga mantan Menteri Luar Negeri dan teman
seperjuangan beliau: “Jangan lupakan Pak Angka, setidaknya undang wali beliau kalau
ada acara”.
Legowo
untuk Lengser
Pergantian bentuk Yayasan 10 Nopember
menjadi institusi negeri tanpa pergantikan nama rektor, membuat ITS kala itu
seperti hanya berubah nama. Keberadaan Pak Angka yang seorang dokter menjadi “aib”
bagi kalangan mahasiswa kala itu.
“Masak seorang dokter yang akan
menandatangani ijazah seorang insinyur?” beber Buchori Nasution, salah satu
M-3.
Banyak mahasiswa lainnya merasa tidak
legowo dengan keberadaan rektor yang seorang dokter. Beragam cara dilakukan
untuk “melengserkan” Pak Angka dari jabatannya. Mahasiswa tak hanya bersuara di
tingkat birokrasi kampus, tapi juga melakukan protes sampai tingkat nasional di
Kementerian Pendidikan di Jakarta.
Ragam cara yang dilakukan untuk
melengserkan Pak Angka sebenarnya sudah dirasakan oleh beliau. Pun hingga
ketika Pemerintah Pusat menunjuk Kol Laut
Ir Marseno Wirjosapoetra untuk
menggantikannya, beliau pun legowo untuk lengser.
“Memang dari awal Bapak itu tidak ngotot
untuk menjadi rektor, sehingga pas lengser pun bapak justru malah bersyukur,”
ungkap Bu Budi.
Kelegowoan itu disampaikan oleh Pak
Angka tepat saat serah terima jabatan kepada Pak Marseno. Keinginannya agar ada
seorang insinyur tulen untuk memimpin kampus teknik ini akhirnya terkabul
karena desakan mahasiswanya yang menginginkan beliau mundur.
“Saat itu Pak Angka hanya mengucapkan
kalimat ‘terima kasih’ kepada saya. Sesaat setelah itu saya meresa sangat bersalah
kepada beliau. Namun di sisi lain saya juga tahu betapa besar hati beliau,”
imbuh Buchori, salah satu pakar pendidikan Indonesia.
Catatan pinggir:
*) Prof Widjojo Nitisastro yang saya singgung
sedikit di tulisan sebelumnya, meninggal dunia tanggal 9 Maret kemarin di usia
84 tahun. Jika dirunut sejarah panjang, seolah keluarga Nitisastro seperti klan
yang sukses membuat perubahan di kancah negeri Indonesia. Bahkan, Ashanti
(salah seorang artis,red) mengaku Prof Widjojo adalah pamannya. Jadi, dr Angka
Nitisastro juga bersaudara dengan Bapak/Ibu-nya artis tersebut. Kembali, saya
bertanya pada sejarah, siapa lagi saudara Nitisastro lainnya? Siapakah
Nitisastro itu?
*) Untuk saudara-saudara kita di Sumatra yang diuji dengan musibah, semoga diberikan perlindungan dan keselamatan oleh Allah, amiin. #prayforsumatera
*) Untuk saudara-saudara kita di Sumatra yang diuji dengan musibah, semoga diberikan perlindungan dan keselamatan oleh Allah, amiin. #prayforsumatera
berambung....
a.n Tim Djoeang
No comments:
Post a Comment