28 Aug 2011

Karena Ini Salahku




Kawan...

Dalam derasnya lingkup masalah dan bergulirnya kesenangan, senantiasa hadir kelapangan dalam kesedihan, juga problema dalam senyuman. Seperti kejedot tiang, sama juga dengan kesambet boomerang dari arah depan. Perjalanan waktu memberitahukan saya tentang sebuah alpha. Kesalahan lama yang tidak pernah ku sadari bahwa efeknya sedemikian besarnya. Sedemikian rumitnya, hingga logika pun tidak bisa dijalankan.


Sobat...

Pikiran ini tertindih oleh massa yang tak terdefiniskan, begitu berat. Hingga udara pun enggan melewati nafas, juga darah yang tiba-tiba mengendap pasrah. Otak ku terhenyak beberapa hari untuk mendefinisikan semua kisah tentang masa lalu. Kisah yang tak tergantikan oleh apapun, namun tiba-tiba hilang bersama gerusan kisah masa kini. Masa lalu itu, indah tak terperi. Dia memberikan relung kasih bersama serpihan makna yang tak ternilai. Terlalu berlebihan untuk memaknai, tapi tak jua hilang walau kisah sudah berganti.

Rekan...
Rasa salah ini membuncah. Awalnya, aku seperti orang pingsan, amnesia dengan masa lalu. Bahkan merasa sok tidak tahu, sok tidak ingat. Seperti jalan logika, aku selalu ingin melangkah dalam setiap serakan masalah di depan mata. Bukankah masalah ada untuk diselesaikan, bukan ditangisi? 

Tentang masa lalu? Apa peduli, biarlah masa lalu menjadi serangkaian puzzle yang abadi bersama setiap episodenya. Tapi? Naluri saya tiba-tiba berontak. Ada sesuatu yang seolah harus saya temukan. Tentang sesuatu yang saya sembunyikan di dalam diri ini. Hal yang sangat penting, mengapa masalah ini terlahir.

Teman...
Kepala saya seolah ingin pecah! Menyaksikan serangkaian masa lalu yang terpaksa saya ingat kembali. Ternyata, inilah salah satu titik simpul stimulatornya. Hal pertama yang membuat semua kisah seminggu ini harus terjadi. Hal yang membuat sebuah nyawa hampir hilang dari tubuhnya. Suatu hal yang membuat belasan orang menguras air mata. Hal yang membuat dunia seakan runtuh. Hal itu adalah saya. Karena kesalahan saya. Dan inilah kesalahan besar saya. Sebuah kejadian tragis, dua tahun silam. Yang saya lah penyebabnya.

Rek...
Tak satu pun orang pun tahu tentang ini, bahwa saya lah pangkal permasalahan. Tapi apakah saya harus bersembunyi terus? Apakah saya harus tersenyum dalam dosa selamanya? Atau, apakah saya akan selalu dipandang baik terus oleh mereka dengan tingkah sok peduli, sok perhatian ini? Apakah saya akan bersembunyi terus?

Boi...
Sungguh, saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Saya juga tidak tahu harus mengadu kepada saya. Jiwa ini seolah malu jika menangis di depan manusia. Tentang apa pun di masa lalu, inilah kisah hari ini. Sebuah rajutan masa yang berdendang bersama jeritan nurani. Yang justru tidak menyadarkan diri sebagai manusia. Tapi anehnya, mengapa mata ini tidak bisa memompa air mata? Apakah hati ini memang sekeras batu?

Ya Allah...
Ini memang salah hamba. Tapi tidak ini sebuah ironi? Sebuah kesalahan besar dari ku, justru bersemayam mutlak sebuah "cacat" pada orang lain? Yang orang itu adalah yang selama ini menyayangi diriku dan juga ku sayangi sepenuhnya. Apakah saya benar-benar durhaka?

Tapi...
Insya Allah saya bisa lebih kuat. Tidakkah Engkau selalu bersama hamba-Mu? Saya percaya penuh dengan postulat ini. Karena untuk seterusnya saya harus lebih kuat, seperti pesannya tepat 28 Agustus tahun lalu. Saya yakin bisa melalui hal ini, walaupun dalam kenyataannya saya harus memikulnya seumur hidup saya! Walaupun dalam realitanya saya juga harus menggadaikan masa depan saya! Walaupun selayaknya saya harus selalu lebih kuat! Ya, saya BISA!



 "it's just a question of living a quiet life" - John Forbes Nash, Jr

No comments:

Post a Comment