3 Jul 2012

Sebuah Malam di Kota Sego Boran


"Awalnya saya hanya menentukan target-target yang tertulis secara tahunan, bulanan, sampai harian. Dalam siklus tertentu, saya evaluasi apa yang telah saya lakukan dan juga yang gagal. Dari situ saya bisa mengukur, apakah impian saya itu sebuah hal terlalu tinggi, utopis atau saya perlu merubah cara saya mencapai target itu"

"Kalau kita hanya bisa menunjukkan target-target keduniawian, sepatutnya kita juga harus bisa mengimbangin dengan kinerja keakhiratan. Misalkan, dalam sehari saya harus bekerja dari jam delapan pagi sampai sore. Sampai menjelang malam, saya masih harus melanjutkan tugas kantor sampai selesai, atau mengaji atau membaca buku. Lalu tidur. Apakah nanti di sepertiga malam terakhir saya masih bisa bangun untuk sholat malam? Nyatanya tidak, saya lebih sering main-main atau sekedar nonton TV ketika lelah sudah merambat"

"Sering saya merasa, waktu 24 jam dibanding dengan semua target kehidupan yang saya inginkan serasa tidak cukup. Bahkan, untuk sekedari mencapai 80% dari target awal pun selalu berakhir dengan kegagalan. Hingga saya merasa bahwa, seorang menteri itu sangat hebat sekali membagi beban kehidupan. Jika bagi saya sehari serasa 24 jam kurang, bagi seorang menteri itu berarti 48 jam dalam sehari"

"Berapa kali saya gagal mencapai seluruh target dalam hidup ini. Setiap kali menempelkan target dalam kamar, seketika itu pula kita mulai membohongi diri kita sendiri untuk mengingkari target itu. Sekali kita gagal, selanjutnya gagal, gagal lagi dan lagi. Kita sering menjadikan lemah diri sendiri, makin lemah dan terus melemah. Bukan target yang berkembang terus, namun hanya pemakluman dan pewajaran untuk melemahkan kemampuan kita yang sebenarnya. Namun, mengapa kita tidak pernah belajar untuk menekan diri kita? Mengapa kita lebih sering menurunkan target-target kita sendiri?"

"Saya berjalanan berusaha tidak sama dengan jalan orang lain. Saya ingin menentukan jalan saya sendiri, dengan menjadikan semuanya independen tanpa ketergantungan terhadapan orang lain. Jika saat wisuda, banyak orang yang bingung mau kerja dimana, bingung melamar kerja. Saya sudah tidak khawatir, karena sudah bekerja. Bagaimana caranya? Dengan menguatkan kapasitas-kualitas diri kita selama kuliah. Sehingga ketika kita lulus, pekerjaan datang ke kita, bukan kita yang ngejar pekerjaan"

"Bagaimana kita mengembangkan kapasitas-kualitas kita selanjutnya? Semua bisa kita ciptakan sendiri. Misalkan saat baru awal-awal kerja saat ini, saya sudah bisa merasakan bagaimana menanggung proyek yang bernilai milyaran rupiah, bersentuhan dengan banyak orang baru, membangun jaringan, menentukan target individu disandingkan dengan target perusahaan, dst. Karena memaksakan diri seperti itu, akan sangat berguna bagi kita suatu saat kelak ketika kita berhadapan dengan hal-hal yang lebih besar"

"Ketika saya menyadari banyaknya hal yang meleset dari kehidupan saya, saat itu saya menyadari bahwa saya butuh lingkungan dan partner hidup yang bisa saya ajak berlari bersama. Alhamdulillah, saat ini saya memiliki teman-teman yang luar biasa, bisa saling mengingatkan dan mendukung untuk berkembang satu sama lain. Maka, saya pun perlu menargetkan hal-hal yang bersifat karier, dengan siapa saya berteman, rencana tabungan keuangan, kapan membangun rumah, kapan menikah, dll. Karena kapan dan dengan siapa kita menikah, akan sangat menentukan sisa hidup kita, seberapa cepat kita mampu berlari lagi"


*) Sebuah monolog bersama santap Sego Boran di depan RS Muhammadiyah Lamongan

2 comments:

upik abu said...

hal yang tidak saya pahami adalah dari judul sampai isi. sego borannya nyambung kemana ya? itu cara bikinnya gimana? hahahaha

hudahoe said...

Itu aslinya saya dapatkan tausiah dari teman ketika saya di Kota Sego Boran (Lamongan). Gitu Emaaakk :)

Post a Comment