“Mau
ngapain?”
“Wawancara
narasumber”
“Narasumber
apa?”
“Buat
buku”
“Buku
apa?”
“Buku
Djoeang”
“Hah?
Bukannya kamu sudah sejak wawancara setahun yang lalu”
Saya
pun terdiam, seperti seorang tikus yang tertangkap basah sedang mencuri jemuran
baju. Ya, setahun lalu saya sudah wawancara ke sana kemari. Hingga saat itu pun
saya masih harus wira-wiri wawancara. Lalu, dari sekian lama itu, hasilnya apa?
Atau jangan-jangan gak ada hasilnya? Mungkin iya sih.
Dan
tahu gak sih loe mengapa buku ini lama sekali proses pembuatannya?
Pertama,
karena soal birokrasi yang menggantungkan nasib kita pada ujung ombak yang
mengombang-ambing nasib kita. Ujung dari ini semua adalah soal duwid, dana
untuk mencetak buku ini. Jangan mikir gaji kalau sudah urusannya memiliki label
“demi almamater”. Ombak itu datang dari satu pengurusan Rektor hingga ke rektor
selanjutnya.
Kedua,
kepemimpinan yang mbalelo bin mbambet. Jujur saya bukan tipe pemimpin yang baik
untuk sebuah aktivitas semi-sosial begini. Kegiatan yang manfaatnya tidak bisa
dirasakan langsung, namun perjuangannya sampai berdarah-darah dari awal start.
Inginnya menjadi garang, tapi akan sangat lucu jika saya melakukan pilihan ini.
Jadilah saya menjadi pekerja/bawahan yang baik, bukan pemimpin.