10 Apr 2013

Behind The Djoeang (2-end)

“Mau ngapain?”

“Wawancara narasumber”

“Narasumber apa?”

“Buat buku”

“Buku apa?”

“Buku Djoeang”

“Hah? Bukannya kamu sudah sejak wawancara setahun yang lalu”

Saya pun terdiam, seperti seorang tikus yang tertangkap basah sedang mencuri jemuran baju. Ya, setahun lalu saya sudah wawancara ke sana kemari. Hingga saat itu pun saya masih harus wira-wiri wawancara. Lalu, dari sekian lama itu, hasilnya apa? Atau jangan-jangan gak ada hasilnya? Mungkin iya sih.

Dan tahu gak sih loe mengapa buku ini lama sekali proses pembuatannya?

Pertama, karena soal birokrasi yang menggantungkan nasib kita pada ujung ombak yang mengombang-ambing nasib kita. Ujung dari ini semua adalah soal duwid, dana untuk mencetak buku ini. Jangan mikir gaji kalau sudah urusannya memiliki label “demi almamater”. Ombak itu datang dari satu pengurusan Rektor hingga ke rektor selanjutnya.

Kedua, kepemimpinan yang mbalelo bin mbambet. Jujur saya bukan tipe pemimpin yang baik untuk sebuah aktivitas semi-sosial begini. Kegiatan yang manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung, namun perjuangannya sampai berdarah-darah dari awal start. Inginnya menjadi garang, tapi akan sangat lucu jika saya melakukan pilihan ini. Jadilah saya menjadi pekerja/bawahan yang baik, bukan pemimpin.

Mau tidak mau, sebenarnya faktor kedua inilah yang menjadikan waktu pembuatan menjadi kolor-karet yang molor sampai berkilo-kilo meter (bisa dibayangkan kolor model apa ini?). Tapi ya sudahlah, saya tidak bisa menjadi orang lain yang garang bin menyeramkan. Dan saya juga tidak mau memakai kolor itu *apasih

Ketiga, satu demi satu tim mutung dengan sendirinya. Akibatnya, beban yang harus ditanggung anggota lainnya menambah. Padahal tanggungan mereka sendiri belum ada yang selesai. Dan yang paling utama, mundurnya tim sangat mempengaruhi kondisi psikologis tim dari yang nge-drop menjadi malas-malasan dan pesimistis. “Kapan bukunya jadi?” pertanyaan klasik yang tidak bisa dijawab.

Intinya: tidak ada pemimpin, tidak ada motivator, tidak ada punishment, tidak ada SOP, tidak ada rundown..bla..bla..bla.. *berbusa. Semua itu bukan tidak ada, tapi pernah ada, namun tidak difungsikan. Rundown misalnya, kita sudah 4 kali membuatnya, dan justru 14 kali mengingkarinya. Ibaratnya pembangunan gedung, pondasinya sudah dibangun. Namun tiba-tiba ada krisis moneter akut, jadilah bangunan mangkrak berduet dengan kontraktor malas-malasan. Macam kita. Persis!

Herder, Emak Lampir dan Emak Erot
Terkisah, bulan Oktober 2012 kita sudah diberitahukan bahwa tanggal 10 November buku harus sudah diterbitkan. Anggaran sudah fix, sementara konten buku tak sampai 50% selesai. Boro-boro 50%, 30% saja saya tidak yakin sudah fix. 

H-4 minggu, kami masih santai. H-3 minggu, biasa saja. H-2 minggu, seperti hari-hari biasa. H-1 minggu barulah drama kolosal dimulai. Ya, kami baru sadar ada deadline yang mengintai kami saat kurang dari 1 pekan sementara konten tak sampai 30%! Benar-benar super sekali kita!

Mulailah kita kalang kabut mencari catatan wawancara yang sudah memfosil dan entah mengapa justru raib (saya), menghubungi narasumber lagi yang sudah bertahun-tahun tak diwawancarai (Emak), wawancara narsum kilat nan express (ald, ima, ngeka), dan nunggui aldrin nulis dari awal hingga akhir (ngeka).

Yeaahh, karena profesi barunya itulah (menunggui aldrin nulis), ngeka dijuluki herder oleh kita. Ald memang sangat manja, tidak mau nyetor tulisan kalau tidak ada Ngeka, hahaha

Kabar mengejutkan datang dari Emak, narasumber yang telah diwawancarai setahun yang lalu telah berpulang. Kita menjadi termenung lama mengutuk kesalahan kita, “mengapa tidak sejak dulu diselesaikan wawancaranya?”. Saya pun dikejutkan dengan narasumber saya yang tiba-tiba rambutnya memutih semua, padahal setahun lalu masih hitam. 

Hari pertama, sampai menjelang 10 Nopember kita menjadi manusia online 24 jam. Berjaga dari pagi sampai pagi lagi demi melembur buku ini. Saking kepepetnya, bahkan para ukhti (semoga jadi ukhti beneran, amiiin) pun ikut menginap di kantor. Bukan hanya itu, prestasi kita lagi adalah berhasil membuat aldrin menginap di kantor (hal ini jauh lebih langka daripada cewek nginep kantor, haha).

Aktivitas selama seminggu dipenuhi dengan: mewawancarai narsum, mencari foto ke jurusan/narsum, menulis, mengoreksi tulisan, rapat kecil dan mengulang-ulang semua hal itu. Kita bergantian berjaga di kantor untuk memastikan layouting yang kita dikerjakan oleh Iqbal (despro). Seringnya aktivitas malam ini, membuat saya iseng menjuluki Emak menjadi eMALAMpir a.k.a Emak Lampir, haha. Pasangannya tentulah Emak Erot (ima), wakakaka *pis!

H-4 hari, belum 50% layout yang terselesaikan, maka diimporlah bala bantuan dari eks Wakahima Tekk yakni Mas Hasan Wahid. Jadilah kita seperti sebuah keluarga besar yang akan punya hajatan besar. Siang malam kita bergantian nglembur, nglembur dan nglembur. NGELEMBURRR!!!

H-3. “Aku tidur dulu, nanti kalau bangun aku nulis,” ujar Emak. Dan ternyata kita di-PHP-in, sampai pagi menjelang, dia terus-terusan tidur sementara saya melekan nungguin layouter. Tapi nyatanya layouternya juga ikut-ikutan tidur, haha. Dan Ngekngok pun ngambek kuadrat karena gak kebagian tempat tidur, wakaka.

Di sini kita membagi tugas bak kerja rodi, dibagi tanggung jawab per halaman, dibagi ngedit perhalaman, menentukan foto, caption, dialog, dan segala keributan lainnya. Tentu, sambil menahan kantuk.

H-2. Saat semua memaksakan diri untuk melekan, datang berita tak sedap yang melumpuhkan semangat kita. Ada kabar dari “atasnya-atas-atasan kita” (YouKnowWho), bahwa bukunya diblokir! Mustahil untuk terbit! Dana tidak diturunkan!

MAMPUS seketika! Rasanya pengen misuhin semua orang. Emak uring-uringan, Ngek pun keluar ke-12 tanduknya, sementara Ukhti Aisya ngomel-ngomel gak karuan ditelpon. Mereka bertiga itu seperti tipe emak-emak rumah tangga yang kaget ketika harga bawang melambung tinggi. Saya dan Ald tetap stay cooooollllllddd 

Nglembur harus tetap jalan, bagaimana pun ritangan yang menghadang kita #ayahibudoakanaku. Tidak jadi terbit tanggal 10 November juga tidak apa. Hanya ada satu hal yang membuat jengkel jamaah, sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum #lupakan.

Akhirnya diputuskan untuk menyetak 3 buku saja di hari jadinya ITS itu. Syukurlah, daripada tidak sama sekali. Tak apa, yang penting bukunya jadi!

Membangun 1000 Candi dalam Semalam
H kurang 18 jam, kami baru menyelesaikan 50%-an mungkin. Dengan sisa waktu yang sangat mepet itu, hampir mustahil kita bisa mengerjakan sampai 100%. Saya sendiri hampir putus asa. Bisakah kita membangun 1000 candi dalam semalam? Ayo sini, para jin yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng, bantuin kita dunkz #nglantur

Jika ingat malam itu, rasanya seperti ingin mengutuk diri sendiri. Kenapa gak dari dulu-dulu dikerjakan? Payah!

Sudah tidak ada tanggungan tulisan lagi, tapi satu tulisan harus dikoreksi oleh ber-4. Foto belum sepenuhnya beres, warna huruf, tagline, dan sejenisnya masih amburandul.Kerja kita sangat lambat karena jam goblok mendera kita sejak pagi. Jadilah kita seperti jamaah goblok, haha.

Jam 2 dini hari, kita masih mengatur halamannya. Karena mepetnya waktu, akhirnya saya putuskan untuk dicetak jam itu juga. Tanpa penomoran halaman, gak masalah!

Jam segitu, kita berempat mengendap-ngendap di percetakan Cido yang malam itu dipenuhi dengan nyamuk. Kata mbaknya, 15 menit bukunya uda jadi!!! Girang bukan main kita. 

Tapi ternyata oh ternyata, hampir satu jam kita ngecekin per halaman. Dan saat satu halaman printout diperlihatkan ke kita, hasilnya seukuran A-3! Ini buku apa poster? Kita ngakak bersama menjelang pagi hari. Untung kita masih bisa tertawa. Karena saya lebih banyak ngantuk, tidur di sofa, ngantuk, dan tidur lagi, haha.

15 menit itu PHP, bahkan sampai shubuh menjelang, bukunya tak kunjung jadi. Bahkan sampai jam 6 pagi, sampai matahari menjemput kita, bukunya pun masih menjadi misteri PHP abad ini. Katanya, bukunya baru jadi jam 7-an. Jadilah kita pulang untuk bersiap-siap menemui pak Habibie.

Saya sendiri memilih untuk tidur, tidak mandi, juga tidak bingung untuk ke Grha. Saya jam 9 harus ngisi pelatihan di T. Industri. Nah, konyolnya saya malah tidur lama banget pagi itu. Jam 8 saya masih harus menyiapkan materi, terus cuci muka (tanpa mandi) dan menuju TI. Memalukan!

Bahkan sehabis dari TI, saya masih tidur lagi, tidak ada niatan untuk ke Grha sama sekali. Sudah hampir dua hari saya tidak tidur!

Saya tidak tahu bagaimana kabar mereka di Grha, dan sudah praktis tugas saya selesaaaaaiiiii!! Setelah 2 tahun berlalu dalam penderitaan dan kesengsaraan, akhirnya anak kami lahir juga!!! #alay

Spoiler aja, saat bukunya saya cek per halaman. Ternyata, hampir tiap halaman ada kesalahan edit gaiss! Yang terparah, bahkan masih ada kalimat “Setajam silet.....”. Lengkap dengan titik-titik berjumlah lima. Padahal tulisan itu diedit dua orang, apakan dua orang itu tidur saat ngedit? Entahlah. Silahkan disimpulkan sendiri

Sebuah Kebanggaan Bersama
Bagiamana sih rasanya memiliki buku yang kita tulis sendiri? Sangat jauh dibandingkan dengan menulis majalah apalagi hanya sekedar website atau pun blog *ngece. Kebanggaan terbesar menulis buku adalah saat buku tersebut diinginkan banyak orang, dibaca banyak orang dan tentunya memberikan manfaat bagi orang lain.

Bahasa saya adalah “menulis buku itu seperti seorang pelaut yang ingin menuju pulau baru. Ia tidak akan pernah bisa merasakan keindahan pulau tersebut jika ia masih berjibaku di atas kapalnya”. Para motivator buku hanya mampu menunjukkan gambar pulau tersebut, tapi keindahan dan kebanggaan menulis buku hanya bisa kita rasakan saat kita memiliki sebuah buku. Dan itu tidak bisa dibahasakan dengan kalimat.

Kurang lebih itulah yang mungkin dirasakan rekans seperjuangan di Tim Djoeang. Saat penyusunan buku, tak satu pun motivasi saya ucapkan. Namun kini, saya yakin berjuta kebanggaan lahir yang terpancarkan dari sorot matanya.

Semangat menulis! :)

No comments:

Post a Comment