“Mau
ngapain?”
“Wawancara
narasumber”
“Narasumber
apa?”
“Buat
buku”
“Buku
apa?”
“Buku
Djoeang”
“Hah?
Bukannya kamu sudah sejak wawancara setahun yang lalu”
Saya
pun terdiam, seperti seorang tikus yang tertangkap basah sedang mencuri jemuran
baju. Ya, setahun lalu saya sudah wawancara ke sana kemari. Hingga saat itu pun
saya masih harus wira-wiri wawancara. Lalu, dari sekian lama itu, hasilnya apa?
Atau jangan-jangan gak ada hasilnya? Mungkin iya sih.
Dan
tahu gak sih loe mengapa buku ini lama sekali proses pembuatannya?
Pertama,
karena soal birokrasi yang menggantungkan nasib kita pada ujung ombak yang
mengombang-ambing nasib kita. Ujung dari ini semua adalah soal duwid, dana
untuk mencetak buku ini. Jangan mikir gaji kalau sudah urusannya memiliki label
“demi almamater”. Ombak itu datang dari satu pengurusan Rektor hingga ke rektor
selanjutnya.
Kedua,
kepemimpinan yang mbalelo bin mbambet. Jujur saya bukan tipe pemimpin yang baik
untuk sebuah aktivitas semi-sosial begini. Kegiatan yang manfaatnya tidak bisa
dirasakan langsung, namun perjuangannya sampai berdarah-darah dari awal start.
Inginnya menjadi garang, tapi akan sangat lucu jika saya melakukan pilihan ini.
Jadilah saya menjadi pekerja/bawahan yang baik, bukan pemimpin.
Mau
tidak mau, sebenarnya faktor kedua inilah yang menjadikan waktu pembuatan menjadi
kolor-karet yang molor sampai berkilo-kilo meter (bisa dibayangkan kolor model
apa ini?). Tapi ya sudahlah, saya tidak bisa menjadi orang lain yang garang bin
menyeramkan. Dan saya juga tidak mau memakai kolor itu *apasih
Ketiga,
satu demi satu tim mutung dengan sendirinya. Akibatnya, beban yang harus
ditanggung anggota lainnya menambah. Padahal tanggungan mereka sendiri belum
ada yang selesai. Dan yang paling utama, mundurnya tim sangat mempengaruhi
kondisi psikologis tim dari yang nge-drop menjadi malas-malasan dan pesimistis.
“Kapan bukunya jadi?” pertanyaan klasik yang tidak bisa dijawab.
Intinya:
tidak ada pemimpin, tidak ada motivator, tidak ada punishment, tidak ada SOP, tidak ada rundown..bla..bla..bla..
*berbusa. Semua itu bukan tidak ada, tapi pernah ada, namun tidak difungsikan.
Rundown misalnya, kita sudah 4 kali membuatnya, dan justru 14 kali
mengingkarinya. Ibaratnya pembangunan gedung, pondasinya sudah dibangun. Namun
tiba-tiba ada krisis moneter akut, jadilah bangunan mangkrak berduet dengan
kontraktor malas-malasan. Macam kita. Persis!
Herder, Emak Lampir dan Emak Erot
Terkisah,
bulan Oktober 2012 kita sudah diberitahukan bahwa tanggal 10 November buku
harus sudah diterbitkan. Anggaran sudah fix, sementara konten buku tak sampai
50% selesai. Boro-boro 50%, 30% saja saya tidak yakin sudah fix.
H-4
minggu, kami masih santai. H-3 minggu, biasa saja. H-2 minggu, seperti
hari-hari biasa. H-1 minggu barulah drama kolosal dimulai. Ya, kami baru sadar
ada deadline yang mengintai kami saat kurang dari 1 pekan sementara konten tak
sampai 30%! Benar-benar super sekali kita!
Mulailah
kita kalang kabut mencari catatan wawancara yang sudah memfosil dan entah
mengapa justru raib (saya), menghubungi narasumber lagi yang sudah
bertahun-tahun tak diwawancarai (Emak), wawancara narsum kilat nan express
(ald, ima, ngeka), dan nunggui aldrin nulis dari awal hingga akhir (ngeka).
Yeaahh,
karena profesi barunya itulah (menunggui aldrin nulis), ngeka dijuluki herder
oleh kita. Ald memang sangat manja, tidak mau nyetor tulisan kalau tidak ada
Ngeka, hahaha
Kabar
mengejutkan datang dari Emak, narasumber yang telah diwawancarai setahun yang
lalu telah berpulang. Kita menjadi termenung lama mengutuk kesalahan kita,
“mengapa tidak sejak dulu diselesaikan wawancaranya?”. Saya pun dikejutkan
dengan narasumber saya yang tiba-tiba rambutnya memutih semua, padahal setahun
lalu masih hitam.
Hari
pertama, sampai menjelang 10 Nopember kita menjadi manusia online 24 jam.
Berjaga dari pagi sampai pagi lagi demi melembur buku ini. Saking kepepetnya,
bahkan para ukhti (semoga jadi ukhti beneran, amiiin) pun ikut menginap di
kantor. Bukan hanya itu, prestasi kita lagi adalah berhasil membuat aldrin
menginap di kantor (hal ini jauh lebih langka daripada cewek nginep kantor,
haha).
Aktivitas
selama seminggu dipenuhi dengan: mewawancarai narsum, mencari foto ke
jurusan/narsum, menulis, mengoreksi tulisan, rapat kecil dan mengulang-ulang
semua hal itu. Kita bergantian berjaga di kantor untuk memastikan layouting
yang kita dikerjakan oleh Iqbal (despro). Seringnya aktivitas malam ini,
membuat saya iseng menjuluki Emak menjadi eMALAMpir a.k.a Emak Lampir, haha.
Pasangannya tentulah Emak Erot (ima), wakakaka *pis!
H-4
hari, belum 50% layout yang terselesaikan, maka diimporlah bala bantuan dari
eks Wakahima Tekk yakni Mas Hasan Wahid. Jadilah kita seperti sebuah keluarga
besar yang akan punya hajatan besar. Siang malam kita bergantian nglembur,
nglembur dan nglembur. NGELEMBURRR!!!
H-3.
“Aku tidur dulu, nanti kalau bangun aku nulis,” ujar Emak. Dan ternyata kita
di-PHP-in, sampai pagi menjelang, dia terus-terusan tidur sementara saya
melekan nungguin layouter. Tapi nyatanya layouternya juga ikut-ikutan tidur,
haha. Dan Ngekngok pun ngambek kuadrat karena gak kebagian tempat tidur,
wakaka.
Di
sini kita membagi tugas bak kerja rodi, dibagi tanggung jawab per halaman,
dibagi ngedit perhalaman, menentukan foto, caption, dialog, dan segala
keributan lainnya. Tentu, sambil menahan kantuk.
H-2.
Saat semua memaksakan diri untuk melekan, datang berita tak sedap yang
melumpuhkan semangat kita. Ada kabar dari “atasnya-atas-atasan kita”
(YouKnowWho), bahwa bukunya diblokir! Mustahil untuk terbit! Dana tidak
diturunkan!
MAMPUS
seketika! Rasanya pengen misuhin semua orang. Emak uring-uringan, Ngek pun
keluar ke-12 tanduknya, sementara Ukhti Aisya ngomel-ngomel gak karuan
ditelpon. Mereka bertiga itu seperti tipe emak-emak rumah tangga yang kaget
ketika harga bawang melambung tinggi. Saya dan Ald tetap stay cooooollllllddd
Nglembur
harus tetap jalan, bagaimana pun ritangan yang menghadang kita
#ayahibudoakanaku. Tidak jadi terbit tanggal 10 November juga tidak apa. Hanya
ada satu hal yang membuat jengkel jamaah, sesuatu yang sudah menjadi rahasia
umum #lupakan.
Akhirnya
diputuskan untuk menyetak 3 buku saja di hari jadinya ITS itu. Syukurlah,
daripada tidak sama sekali. Tak apa, yang penting bukunya jadi!
Membangun 1000 Candi dalam Semalam
H
kurang 18 jam, kami baru menyelesaikan 50%-an mungkin. Dengan sisa waktu yang
sangat mepet itu, hampir mustahil kita bisa mengerjakan sampai 100%. Saya
sendiri hampir putus asa. Bisakah kita membangun 1000 candi dalam semalam? Ayo
sini, para jin yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng, bantuin kita dunkz #nglantur
Jika
ingat malam itu, rasanya seperti ingin mengutuk diri sendiri. Kenapa gak dari
dulu-dulu dikerjakan? Payah!
Sudah
tidak ada tanggungan tulisan lagi, tapi satu tulisan harus dikoreksi oleh
ber-4. Foto belum sepenuhnya beres, warna huruf, tagline, dan sejenisnya masih
amburandul.Kerja kita sangat lambat karena jam goblok mendera kita sejak pagi.
Jadilah kita seperti jamaah goblok, haha.
Jam
2 dini hari, kita masih mengatur halamannya. Karena mepetnya waktu, akhirnya
saya putuskan untuk dicetak jam itu juga. Tanpa penomoran halaman, gak masalah!
Jam
segitu, kita berempat mengendap-ngendap di percetakan Cido yang malam itu
dipenuhi dengan nyamuk. Kata mbaknya, 15 menit bukunya uda jadi!!! Girang bukan
main kita.
Tapi
ternyata oh ternyata, hampir satu jam kita ngecekin per halaman. Dan saat satu
halaman printout diperlihatkan ke kita, hasilnya seukuran A-3! Ini buku apa
poster? Kita ngakak bersama menjelang pagi hari. Untung kita masih bisa
tertawa. Karena saya lebih banyak ngantuk, tidur di sofa, ngantuk, dan tidur
lagi, haha.
15
menit itu PHP, bahkan sampai shubuh menjelang, bukunya tak kunjung jadi. Bahkan
sampai jam 6 pagi, sampai matahari menjemput kita, bukunya pun masih menjadi
misteri PHP abad ini. Katanya, bukunya baru jadi jam 7-an. Jadilah kita pulang
untuk bersiap-siap menemui pak Habibie.
Saya
sendiri memilih untuk tidur, tidak mandi, juga tidak bingung untuk ke Grha.
Saya jam 9 harus ngisi pelatihan di T. Industri. Nah, konyolnya saya malah
tidur lama banget pagi itu. Jam 8 saya masih harus menyiapkan materi, terus
cuci muka (tanpa mandi) dan menuju TI. Memalukan!
Bahkan
sehabis dari TI, saya masih tidur lagi, tidak ada niatan untuk ke Grha sama
sekali. Sudah hampir dua hari saya tidak tidur!
Saya
tidak tahu bagaimana kabar mereka di Grha, dan sudah praktis tugas saya
selesaaaaaiiiii!! Setelah 2 tahun berlalu dalam penderitaan dan kesengsaraan,
akhirnya anak kami lahir juga!!! #alay
Spoiler
aja, saat bukunya saya cek per halaman. Ternyata, hampir tiap halaman ada
kesalahan edit gaiss! Yang terparah, bahkan masih ada kalimat “Setajam
silet.....”. Lengkap dengan titik-titik berjumlah lima. Padahal tulisan itu
diedit dua orang, apakan dua orang itu tidur saat ngedit? Entahlah. Silahkan
disimpulkan sendiri
Sebuah Kebanggaan Bersama
Bagiamana
sih rasanya memiliki buku yang kita tulis sendiri? Sangat jauh dibandingkan
dengan menulis majalah apalagi hanya sekedar website atau pun blog *ngece.
Kebanggaan terbesar menulis buku adalah saat buku tersebut diinginkan banyak
orang, dibaca banyak orang dan tentunya memberikan manfaat bagi orang lain.
Bahasa
saya adalah “menulis buku itu seperti seorang pelaut yang ingin menuju pulau
baru. Ia tidak akan pernah bisa merasakan keindahan pulau tersebut jika ia
masih berjibaku di atas kapalnya”. Para motivator buku hanya mampu menunjukkan
gambar pulau tersebut, tapi keindahan dan kebanggaan menulis buku hanya bisa
kita rasakan saat kita memiliki sebuah buku. Dan itu tidak bisa dibahasakan
dengan kalimat.
Kurang
lebih itulah yang mungkin dirasakan rekans seperjuangan di Tim Djoeang. Saat
penyusunan buku, tak satu pun motivasi saya ucapkan. Namun kini, saya yakin
berjuta kebanggaan lahir yang terpancarkan dari sorot matanya.
Semangat
menulis! :)
No comments:
Post a Comment