#1
Kapan terakhir dia menikmati
senja? Kalau tidak salah, semenjak kau jejalkan ambisimu pada tulangnya yang
rapuh. Saat itu, siluet yang berwarna orange masih bertengger mesra, mewarnai
keheningan dia yang sedang bersandar di bahumu. Lalu tiba-tiba, burung hantu
berhenti berkicau. Senja digulir oleh malam.
Dan itu tepat sehari sebelun
dia pergi. Tanpa alasan. Tanpa kata. Selamanya.
#2
Relakan semua nista untuk
merayap ke ujung tutup botol. Kungkunglah nuraninya dalam rongga tanpa hawa.
Biarkan ia membusuk, sampai detritivor
pun tak mau menjamah. Lalu, tunggu sampai ia menyembul sendiri. Untuk
menampakkan jiwanya yang bertanduk -tanpa sayap fananya.
#3
Ia bukan rendezvous yang meluangkan putaran masa lalu. Bukan pula de javu yang menisbahkan urutan
takdir. Dia adalah alyssum pagi yang baru mekar dari tidur panjangnya. Kedatangannya
bak tetes embun. Tenang. Damai. Dan juga angkuh.
#4
Tentang waktu. Kadang kita
terlalu rendah hati untuk bernegosiasi dengannya. Kita pasrahkan semua padanya,
seolah kita tak bisa apa-apa. Lantas dengan nada sok bijak kita berkata: ‘biar
waktu yang menjawab.’ Padahal waktu bisu, tak bisa berucap apa-apa, apalagi
mendekatkan dua manusia. Menjadikan waktu sebagai tuan adalah menyerahkan diri
untuk niscaya dicincang.
#5
Malam, datanglah kemari. Mari
ku tunjukkan lubang raksasa di belakang pekarangan rumah. Di situ, dahulu
pernah ditanam sebuah pohon harapan -yang tumbang saat sedang tinggi-tingginya.
Tengoklah, bekas akarnya menganga lebar menanti datangnya masa depan yg makin
tak menentu.
#6
Mari ku antar di negeri tak
berpengharapan. Sebuah tanah tak bertuan yang lebat akan ketidakpastian -juga
harapan. Mari ku antara ke masa depan. Kala yang ada di depan sana. Siaplahkan
kayuhmu. Mari kita mendayung bersama.
#7
Pesan
dari Masa
Shinta menunggu langit membuka
rahasia tentang belenggu atas takdir yang didambakan. Awan bergelamut kenes menyisakan frame tua tak berwajah.
Senyap. Menyergap malam bersama dinginnya rasa berpengharapan. Nihil.
Rama termenung dalam perangkap
kelana pikiran untuk menyusuri jalan menuju surga. Meliatkan tawakal untuk
ribuan angan hidupnya yang disusun serupa lotus
yang sedang mekar. Menimpa seringaian belukar benalu dalam lumpur.
Dan masa memungut adiksi dari
pembiasaan kisah. Mengamati pelan cerita makhluk bumi sembari berpesan: "Pernah
terkisah di bawah atap langit, ada manusia menyeret waktu. Merubuhkan takdir
baik, menyisakan keriput penyesalan bersama laranya"
#8
Jiwaku terperangkap dalam
sebuah ruangan tak berpintu. Putih sempurna hingga tak menyisakan batas utopia
dan angan sejatinya. Pelan, ia menerobos masuk bak embun pagi memeluk
pegunungan. Menyesaki tarikan nafas sampai alveolus
terdalam.
Dus. Histeria itu menyeruak ke
alam fana. Merobek peneduh alam durja. Meruntuhkan genggaman iman atas masa.
Lalu, ia datang mendekat. Membisikkan rangkaian kata masa silam. Tentang awal
dari hikayat dua insan.
Ragaku masih di ruangan ini
hingga kisah itu usai bertutur sendiri. Namun jiwaku goyah. Ia terpekur dalam
polah imajiner amfethamine-nya
sendiri. Menyatu atas diam yang abadi. Memaku waktu.
Kisahku tidak berakhir di sini.
Karena lisanku menyisakan satu tanya menjelang tamat. Inilah pemberhentian
tragedi dan perkuburan atas kenangan. Inilah perjanjian itu, yang pernah ku
suarakan dalam mimpi. Persekutuan tanya yang tak terbalas.
Masih di sudut ruangan putih
ini, izinkan aku bertanya pada masa lalu.
"Apakah dia itu
kamu?"
#9
Rasa disini bungkam. Sebab tak
ada yang mampu menangkapnya, sebagaimana jika ia dinyanyikan oleh nama lainnya.
Begitulah, dalam sebuah kisah, tak semua bisa jadi lakon utama. Selaiknya aku
dalam kita, hanya menyaksi. Menikmati ngilu yang menggumpal dalam segelas kopi.
#10
Ku ingin bertanya pada bulan
mengapa jelanga pekat bisa mampir di gubuk ini.
Ku ingin bertanya pada
secangkir kopi hitam, bagaimana bisa ia mau berdamai dengan gula.
Ku ingin mengadu pada pena,
kapan dia bisa menghasilkan kata?
Lalu, ku ingin menekur bayangan
yang sedang ku kejar.
Dan, Ku ingin memaki kehampaan
yang merambati asa
#11
Si berteriak lantang
mempertanyakan keadilan pada perdu yang tumbuh di sampingnya. Sang memaki
bintang yang melalang jauh untuk ditimang. Lalu angin menyeret malam bersama
gulita bertabur emas. Di bagian akhir, Surya datang dengan diam. Dan mereka
semua ikut terdiam.
#12
Seandainya bisa
Aku ingin melebur saja bersama
udara
Yang bisa kauhirup dalam-dalam
Dan kau simpan dalam
paru-parumu
Aku ingin menyatu dalam darahmu
Yang memberi kekuatan padamu
untuk terus berlari
Mengejar impianmu
#13
Di atas nampan raksasa yang
kita injak setiap hari, langkah tak hanya meninggalkan jejak dan cerita. Namun
juga ribuan luka menganga yang menyeruak pelan dalam setiap derap. Mereka hadir
beriringan dengan kemolekan pelangi di depannya, bersama semerbak wangi Lavandula
Angustifolia. Menjadikan cerita berjudul kehidupan.
#14
Di dunia ini, banyak hal yang
tidak harus selesai dalam kata. Seperti bualan pada bulan oleh sang pungguk,
kata tetap menjadi kata di ujung atas sana. Asa pun bisa mengepul bak uap dari
nampan sang juragan. Dan masa, tanpa dikomando selalu mampu beriring dengan
usia. Juga kematian.
#15
(kutipan favorit)
Aku tak mau
menjadi pohon bambu, aku mau jadi pohon oak yg berani menentang angin -Gie
No comments:
Post a Comment