21 Jul 2011

Little Act (1)



A word's just a word
Until you mean what you say
And love isn't love
Until you give it away

Sejarah itu membentang. Menyeruak bebas bersama manusia, kebaikan yang terserak dengan gunungan kesalahannya pula. Baik-buruknya adalah harta karun, penuh misteri dan senantiasa tanpa ujung kepastian. Menjadi perburuan para pencari publisitas, yang terkadang benar, juga terkadang menutupinya. Sama seperti demonstrasi.

Saya tidak percaya demokrasi. Ia yang hadir bersama demonstrasi, bagi saya seperti kisah legenda Cleopatra –begitu legendaris, namun tidak pernah diketahui bagaimana kehidupannya, juga jasadnya. Atau tak ubahnya peringatan Hari Kebalikan oleh Spongebob bersama Patric, bentuk penerimaan mutlak atas doktrin yang tidak pernah ada. Diada-adakan. Mengada-ada. Namun, inilah sejarah. Benar-salahnya bukanlah esensi.

Bagaimana nalar bisa berkata “iya”, jika justru sepanjang Tanah Air ini dihuni manusia, tidak pernah ditemukan bentuk demokrasi atau pun orasi demonstrasi. Perlu ditekankan, terlebih orasi demonstrasi. Bagaimana suara manusia bisa disamakan dengan suara Tuhan? Sementara dengung keras demokrasi tertebar di hampir seluruh penjuru bumi, bersama para diktator di singgasananya. Lengkap dengan ketimpangan pemenuhan hak para rakyatnya.

Kata dari mulutnya itu mengular, berjejer tak tahu aturan dengan mengatakan atas nama rakyat, demi golongan marijinal. Adakah rakyat yang merasa sadar bahwa dirinya dibela, diperjuangkan oleh para demonstran itu? Atau sebanyak apa rakyat yang nasibnya berubah karena demonstrasi? Toh, para demonstran juga kebanyakan bukan dari haluan proletar, bukan pula rakyat marjinal.

Merasakan ruh kaum pinggiran, menjadi bagian dari mereka, adakah para demonstran di situ?

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

We've all gotta give
Yes, something to give
To make a change

Sepuluh meter di atas permukaan aspal, panas. Radiasi matahari membuat kilatan hitam di kaki saya semakin tidak bisa dibedakan mana warna kaki, mana aspal. Satu setengah meter di atasnya, pengap. Beginilah rasanya pemanas otomatis yang tiba-tiba aktif di pusat saraf manusia. Helm hitam yang berpadu dengan kulit sawo busuk ini berpadu, meningkatkan nilai koefisien perpindahan panas menuju kepala.

Siang ini, matahari begitu sangat ceria. Dia tersenyum merekah, menatap seluruh penjuru kota Surabaya dengan senyum membara. Lumayan hangat, otak bagian komparasiku berontak. Ingatlah dua tahun kemarin. Angka 37 derajat celcius hampir setiap hari bisa ditemui. Atau setahun kemarin. Saat setiap minggu pasti diagendakan bermain hujan bersama-sama. Atau basah kuyup bersama. Ah, disyukuri saja. Tampaknya tubuh ini juga lebih mampu beradaptasi dengan iklim Surabaya dibandingkan tujuh tahun silam.

“Husshh...Hush...Mas....Mas,” ada orang menyapa, entah menyapa siapa.

“Mas...Mas...Sini...,” semakin keras. Ku paksakan menoleh sedikit sembari menaruh headset di saku. Seorang perempuan berkaos kuning ketat menatapku. Celana ketatnya yang saya taksir berukuran seperlima kaki itu memberi sinyal siapa dia.

“Oh...ternyata,” alur silogisme otak ku sudah mahfum dengan pekerja di sini. Dia PSK, titik. Bibirku hanya tersenyum kecil. Tanpa kata sapa, tanpa jawaban balik.

“Tapi,” pikiranku merasa ganjil.

“Apakah tampang saya memang identik dengan ‘pelanggan’ di sini?,” senyumku menjadi kecut.

“Sudahlah, tidak usah mengutuk diri. Biarlah apa anggapan orang, diambil positifnya,” nuraniku menenangkan pikirannya.

“Tapi apa sisi positifnya? Ini namanya pembunuhan karakter!” pikiranku beradu argumen.

“Mas...Mas..,” ada suara lain menyapa.

“Apa? Ada lagi yang menyapa? Argghhh”

Di sini berlaku hukum, sapaan adalah tawaran. Jika mulut ini menjawab, bisa terjadi hal-hal yang diinginkan. Seperti dua tahun silam, saat tiba-tiba ada tangan asing yang merangkul punggung ini. Tapi bukankah rejeki tidak boleh ditolak? Begitu wejangan partner in crime saya.

“Mas...Mas...,” suara lain lagi.

“Mbak, saya ini mau ke Taman Baca. Ingin bertemu adik-adik saya. Masak Mbak nggak hafal dengan wajah saya?,” hatiku berkoar keras. Sepi ucapan. Buaian hawa panas menyambut mesra

“Mbak, kalau mau, jangan siang ini, nanti malam saja. Sungkan sama adik-adiknya,” candaku dalam hati (lagi).

Eh, ini bercanda apa serius ya?

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Send it on, on and on
Just one hand can heal another
Be a part, reach a heart
Just one spark starts a fire

“Masak, Bapaknya Kak Krisna menyebut kita anak yatim,” Nane berkoar dengan cengkok khas Suroboyonya.

“Lho, kok bisa?,” tanyaku singkat.

“Iya Kak. Pas di kantor polisi, Bapaknya Kak Krisna bilang kalau ‘Maaf Pak, ini tadi sambil membawa anak yatim dari panti asuhan’. Panti asuhan Kak? Masak kita dibilang dari panti asuhan?” Zahra tak mau kalah heboh.

Jadi ceritanya, hari Kamis kemarin kita ada agenda berenang bersama. Masing-masing pengajar bonceng dua adik. Di tengah perjalanan ada razia Polisi. Apes, Mbak Krisna tidak membawa STNK dan tidak punya SIM. Akhirnya beliau, dan dua adik yaitu Zahras dan Nane harus ikut ke kantor polisi. Hampir sejam kemudian, bapaknya Mbak Krisna datang.

Disodori cerita unik itu, saya dan Bang Ghoni tertawa cekikikan. Tapi nurani ini seperti dicekoki api dan air  bersamaan. Bibirku tak mampu berkomentar lebih. Diam.

“Bapak dan kakaknya pernah dipenjara dua kali. Sampai sekarang masih di penjara,” kisah keluarganya Nane dari Pak Kartono terngiang kembali.

Apakah saya harus tertawa lebih keras lagi?

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

With one little action
The chain reaction will never stop
Make it strong
Shine a light, and send it on

“Lha kok bisa? Trus siapa yang salah?” nadaku meninggi seperti penagih hutang kelas kakap.

“Salahku, Kak. Memang dilarang bawa Hape waktu MOS (Masa Orientasi Siswa). Tapi sudah tak taruh saku, terus dipakai sama temanku dan ketahuan sama kakak panitianya. Akhirnya di sita,” Riki mengurai ceritanya.

“Sampai sekarang belum diambil?”

“Belum Kak. Yang ngambil harus orang tua”

Aku terdiam sejenak. Kata orang tua adalah sisi sensitif bagiku kalau sudah menyangkut dunia luar kawasan ini.

“Sudah ngajak Ibu kamu?”

“Sudah Kak, tapi nggak mau”

Dan saya pun terdiam lagi. Ingin menyambung pertanyaan lagi, protes atau nasihat. Namun semua ku urungkan tanpa alasan. Riki adalah kakak kandungnya Nane. Apa jadinya jika saya keceplosan menanyakan Bapaknya?

“Bapaknya pengedar narkoba, sama anaknya yang paling tua. Ibunya pemakai berat. Padahal pamannya dia itu seorang Polisi. Pas mengandung Nane dan adiknya, Nanda, ibunya masih menjadi pemakai aktif. Bahkan pernah sakau dalam kondisi hamil Nanda. Makanya sekarang anaknya......”

Kisah ini berulang kali saya dengar dan hanya saya teruskan ceritanya untuk Laskar Pengajar sebagai bekal informasi bahwa mereka berbeda dari adik-adik lainnya yang berbeda pula.

“Minta tolong Kakak bisa ngambilin?”

“Ajak kakakmu lah. Masak nggak mau bantu adiknya?”

“Nggak bakal mau Kak”

Saya terdiam lagi dan lagi.

“Ya sudah. Kapan? Pas jam istirahat saja ngambilnya. Biar nggak motong jam pelajaran”

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Just smile, and the world
Will smile along with you
That small act of love
Is meant for one who will become two

Kakiku telanjang, berkejar-kejaran di antara tepian hamparan permadani berwarna hijau. Langit biru menapak besar di atas sana bersama awan putih pagi hari. Merah-putih yang ku kenakan nampak kontras dengan warna hijau klorofil daun Oryza sativa di kanan kiriku. Kembali, kaki kecilku beradu cepat dengan serangga tanaman aneka rupa. Mereka seakan ikut menapak bersama setiap jengkal langkahku. Walaupun aslinya mereka pasti terganggu.

Pikiranku mengeluh, hari ini pasti saya akan telat datang sekolah. Angka dua kilometer justru harus ku tempuh dengan selangkah demi selangkah yang tak sampai setengah meter itu. Hari itu, 16 tahun silam. Ingin rasanya hidup hari ini ku gunakan untuk mengutuk hujan. Gara-gara dia, satu-satunya akses jalan dari rumahku ke Sekolah rusak berat. Jangan berpikir ada seinci jalan yang dilalui sebuah lingkaran roda.

Satu meter bisa, satu meter harus ngangkut sepeda, berulang terus hingga akan ditemukan genangan raksasa campuran tanah liat dan air keruh kecoklatan itu. Di situ, tak satu pun kendaraan bisa lolos. Bahkan, bertelanjang kaki pun jika apes terpeleset bisa terpaksa berenang gaya bebas. Dan akhirnya aku, bersama sepupuku harus menyusul teman-teman yang menerabas sawah menuju ke Sekolah tercinta. Ah, masa itu dunia sekolah begitu indah.

Aku kembali mengutuk hari ini. Setengah jam berpacu dengan waktu membuat nafasku seperti tersenggal di tenggorokan. Tapi di hadapanku kini, lautan air bah yang mirip tambak ikan itu memeluk erat seluruh bangunan sekolah. Di depan kelas, aliran kecil air keruh dari dalam kelas menyeruak pelan keluar. Hampir seluruh meja-kursi basah hingga tak layak untuk diduduki. Hari sekolah libur. Diliburkan karena keterpaksaan.

Namun seluruh siswa tetap diwajibkan masuk. Bersatu dengan guru, agenda membersihkan kelas pasca hujan adalah ritual wajib setiap musim penghujan sampai kelas enam. Ingin mengutuk terus? Tidak. Saya menjadi biasa karena terbiasa. Lihatlah lubang menganga di atap sana, tepat di atas mejaku. Atau diding kayu puluhan tahun yang entah mengapa tidak pernah diganti. Mungkin karena terlalu tua, rayap pun perlu berpikir seribu kali untuk melahapnya. Entah karena itu, atau karena lubang diding di kelasku sudah terlalu banyak?

Sebulan pertama di kelas satu mengajariku untuk terbiasa dengan tempat ini. Walaupun dari luar, kondisinya nampak lebih menyeramkan. Aneka bentuk lubang di sana sini ditambah posenya yang condong miring ke belakang menasbihkan sebagai Menara Pisa khas desaku. Warnanya yang didominasi kegelapan seolah mengiyakan mitos hantu dari penduduk di sekitarnya. Benar-benar horror, walaupun saya tidak pernah bertemu hantu di sini.

Dan tiba-tiba saya tersandung di gerbang SMAN 5 Surabaya.

[bersambung]

*) ditulis dengan angin yang bersemilir berbeda-beda

No comments:

Post a Comment