Mungkin, ini
hanya pikiran selayang yang mecuat sporadis namun sangat dalam. Pikiran tentang
sebuah fase proses pendewasaan yang memang harus berujung pada waktu yang tak
hingga. Tentang sebuah kemandirian terhadap personal, dan kepedulian kita
sebagai seorang dewasa, yang tidak selfish.
Yap, menurut
teori yang mengendap dalam pribadi saya, dewasa itu bisa diukur dari dua hal:
kemampuan berdiri di atas kaki sendiri dan kepedulian sosial terhadap
sesama-lingkungan.
Pribadi yang
mandiri tidak hanya soal kemampuan mengendalikan diri dalam memutuskan hal yang
tidak boleh dan boleh dia lakukan. Lebih dari itu, kemandirian juga harus
bersifat kematangan mengolah diri dari polah, sikap dan emosi. Jika itu sudah
bisa terlampaui, kemandirian finansial, kepatuhan terhadap nilai/norma bisa, atau
jenis kemandirian fisik lainya bisa mengikuti.
Ciri kedua
adalah peduli sosial. Bahasa gampangnya, orang dewasa dalam masyarkat yang bukan
orang yang bisa hidup sendiri dengan tangan, uang, dan waktunya sendiri. Namun,
ia mampu mengembangkan tangan, uang dan waktunya juga untuk orang lain. Itu
murni sebagai sebab-akibat makhluk sosial. Yah, kita tidak akan pernah bisa
hidup sendiri.
Syarat pertama
tersebut mungkin bersifat pribadi, namun jamaknya di masyarakat kita bisa
menemukan orang tua yang tidak bisa bersikap dewasa. Tua adalah keniscayaan,
dewasa adalah pilihan, begitu orang bijak berkata. Ini juga bukan soal pangkat
atau gelar akademik yang menggunung.
Karena bisa kita
lihat, betapa banyak orang yang cerdas intelektualistasnya atau yang bergelar
profesor justru malah korupsi, yang mencerminkan sikap sangat tidak dewasa!
Atau kewenangan pihak berkuasa yang tidak mengindahkan nurani dengan
mengucurkan darah rakyatnya sendiri. Jadi, ini bukan soal usia, pangkat,
jabatan atau pendidikan. Ini soal mentalitas dan karakter.
Ciri yang kedua
tersebut yang susah ditemukan. Ritme hidup manusia seperti disadur dari kisah
klasik dari zaman dahulu kala hingga kini.
Lahir-bermain-sekolah-kuliah-kerja-menikah-punya anak-pensiun-mati. Banyak
orang hanya meninggalkan nama saja ketika mati, tanpa meninggalkan “jasa” yang
bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Itulah dewasa sosial, sikap peduli yang
mengarahkan kita agar kita mati tidak sia-sia.
Dan, saya
menyadari sepenuhnya, saya belum dewasa...
*) sebuah
pengingat, ditulis dalam waktu selama 15 menit menjelang maghrib
No comments:
Post a Comment