16 Jul 2014

Rumitnya Das Capital

Judul Buku: Das Capital untuk Pemula






Adooh, buku ini walaupun dari judulnya tertulis bagi pemula, tapi isinya tetap saja ribet, seribet buku aslinya. Yah, walaupun (lagi) dibumbui dengan grafis dan karikatur yang lucu, tapi tetap saja sangat susah untuk dijelaskan bagi pemula -termasuk oleh saya.

Jadi, kurang lebih seperti ini yang berhasil saya fahami. *dudukmanis*

Sistem perekonomian dunia dahulu kala, jauh sebelum revolusi Industri bergema di Eropa, terdapat suatu sistem yang dikemukakan oleh teolog beranama Karl Marx. Ideologi ini kembang kempis dari awal buku ini diterbitkan sampai pada saat dunia sosialis sedang jaya-jayanya bersama Uni Soviet.
 
Hatta, Das kapital lahir bersamaan dengan revolusi industri yang melahirkan sistem mandor-buruh dengan kapitalismenya. Dalam perjalannya, kedua ideologi yang saling timpuk ini sama-sama punya penggemar, penganut dan pemujanya. Dari kalangan teolog, ekonom, rakyat jelata, sodagar sampai negarawan.

Karena ini buku idelogi, jadi maafkan saya kalau nanti ada tulisan yang sangat tidak jelas. Karena mayoritas saya tidak faham, hahaha.


Karl Marx itu beranggapan pada suatu dasar fundamental pembentukan sistem perekonomian dunia yaitu jual beli. Entengnya, hal ini diilustrasikan tentang penilaian dia terhadap suatu barang yang biasa dijual-belikan. Misalkan roti. 

Roti bagi orang zaman dahulu dinilai sebagai bahan makanan untuk mengenyangkan perut. Sebagai kebutuhan pokok pemenuh kebutuhan biologis seseorang. Oleh karenanya, jika ada orang yang ingin mendapatkan roti namun dia tidak bisa membuat roti, maka roti bisa dibeli senilai dengan NILAI FUNGSINYA. Bagaimana membarter roti dengan singkong, misalkan? Maka dilihat dari niai fungsi dan bagaimana proses pembuatannya.

Nilai tukar-menukar serta jual-beli dari suatu barang atau jasa menurut Marx itu adalah bagian dari konversi nilai gunanya. Sehingga barang tersebut akan bernilai sama, di sembarang tempat dan juga waktu. Sehingga semua orang memiliki akses yang sama atas barang tersebut tanpa harus mengalami pasang naik-turun seperti inflasi.

Sementara, di seberang sana, kenyataan berkata sebaliknya. Nilai dari suatu barang dikendalikan oleh pengusaha dan bangsawan. Sehingga ada eksklusivitas dari suatu barang yang nilainya diluar batas nilai fungsi dan bisa melonjak sesuai dengan tingkat peredaran dalam masyarakat.

Dengan nada satir, Marx bergumam seperti ini (menggunakan bahasa kekinian):


No Sale, No Use! Percaya nggak, barang-barang di swalayan yang biasa kau kunjungi itu, NGGAK ADA GUNANYA sampai kau membelinya? Biskuit coklat yang di iklan lumer di mulut Shampo yang katanya bikin lurus rambut Nggak bermanfaat kalau nggak ada yang beli! Burger sisa bahkan bisa saja dibuang saat waralaba tutup larut malam. Padahal di pojok-pojok luar mall, banyak pengemis tak lelah-lelahnya menengadahkan tangan, dan gelandangan tertidur dengan perut lapar. 
Tahu kenapa ini semua terjadi? Karena benda-benda itu memang diproduksi buat dijual! Komoditas nggak diproduksi untuk digratisin. Ia dibuat untuk memaksa uang keluar dari dompet kita.

Nah itu dia, komoditas! Sistem kapitalisme awalnya bermula dari kondisi para pemilik usaha, saudagar dan bangsawan yang sengaja membuat suatu sistem dimana barang yang mereka produksi menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh mayoritas rakyatnya. Dimana rakyat dengan ketiadaan modal tidak mungkin bisa memproduksi barang tersebut. Akhirnya, mau tidak mau, ada 'spekulan' harga yang dikontrol sekena hati oleh si pemilik modal.

Sementara pemerintahan (dalam hal ini Raja) yang seharusnya melindungi hak konsumen rakyatnya malah justru berkongkalikong dengan spekulan. Praktis, terjadilah iklim kompetisi untuk bertahan hidup. Hingga nilai dari bahan pokok pun melambung tinggi karena memang disengaja diset agar produksi besarnya kurang dari kebutuhan rakyat.

Awal pasar-isme ini diterapkan, selalu ada rakyat yang dibiarkan mati. Kapitalisme beranggapan, bahwa memang harus ada beberapa rakyat yang dikorbankan agar hanya orang yang mampu survive saja yang bisa eksis dan bisa menurunkan ajaran kompetisi ini. Kesenjangan semakin nyata, yang miskin semakin miskin, yang kaya (pemilik modal) pun makin kaya.

Padahal sejatinya, jika kerajaan mau (dan juga mampu), pemerintah bisa menjadikan sistem yang menjamin ketersediaan kebutuhan dasar dari rakyatnya. Marx memberikan solusi timpal balik agar pemerintahan menguasi seluruh kepemilikan aset kerjaan (tanah, model, upah, alat produksi dan sejenisnya), dan rakyat menjadi pekerja sesuai dengan keahliannya (sosialisme). Rakyat bisa makmur, pemerintahan pun bisa menjalankan roda pembangunannya.

Namun seperti yang kita saksikan sekarang, kapitalisme menang atas sosialisme. Lalu, Bagaimana Marx hidup di zaman seperti itu? Dua kata: MELAS BINGITS!

Dia lebih memilih mempertahankan ideologinya. Nuraninya berontak terhadap kenyataan tersebut, yang menyebabkan dia menjadi mlarat. Anaknya yang sakit-sakitan pun tak diurusnya, hingga istrinya pun bercerai dengannya. Ia meninggal bersama dengan kemiskinan dan gagasannya.

No comments:

Post a Comment