13 May 2010

Global Warming, Emang Gue Pikirin!


Saya tiba-tiba sangat tertarik dengan berbagai pemberitaan tentang Konferensi Perubahan Iklim PBB yang dilaksanakan di kota Kopenhagen, salah satu kota di Denmark. Tidak hanya dari inti permasalahan yang dibahas di konferensi ini, namun lebih dari itu. Ternyata banyak sisi lain dari efek Global Warming yang harus segera diantisipasi segera. Namun di sini, kita masih tenang-tenang saja. Seakan tidak terjadi apa-apa.

Kampus ITS, ITS Online - Kota Kopenhagen, Denmark saat ini sedang menjelma sebagai kota paling terkenal beberapa hari terakhir. Di kota ini mulai tanggal 5 desember kemarin telah menjadi sorotan dunia. Tidak kurang dari 15 ribu peserta dari 192 negara di seluruh dunia akan mencoba berunding menentukan nasib bumi. Ya, nasib satu-satunya planet yang bisa dihuni makhluk hidup hingga saat ini.


Bumi kita ini sudah teramat tua, umurnya sudah 4,5 miliar tahun dengan kondisi sekarat pula. Bumi sudah bukan menjadi tempat ramah untuk ditinggali manusia, kondisi iklim yang carut marut membuat manusia harus berpikir bagaimana menyelamatkan planet kita. Toh, sekaratnya bumi juga lebih banyak karena ulah manusia sendiri. Sudah sewajarnya manusia pula yang harus bertangung jawab atas ulahnya.

Dan di negeri Hans Christian Andersen ini seluruh perwakilan negara yang hadir akan menentukan kebijakan penyelamatan Bumi dari global warming. Mereka terdiri dari ilmuwan, pakar lingkungan, pemerhati lingkungan hidup hingga kepala pemerintahan akan memperbaiki Protokol Kyoto yang telah diteken sejak 1997 menjadi sebuah kebijakan nyata yang mengikat.

Sekali lagi, global warming telah menjadi isu dunia sejak dasawarsa terakhir. Sensasi yang ditimbulkan membuat orang berpikir “Ada apa dengan alam kita?”. Efeknya telah dirasakan diseluruh penjuru Bumi. Semoga kita tidak menutup mata terhadap perubahan besar ini.

Renungkanlah
Global warming adalah isu sekaligus permasalahan dunia. Namun apa yang ada di benak kita saat ini? Seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada lingkungan kita. Ya, setidaknya itu juga yang saya rasakan sampai awal masuk kuliah. Isu-isu yang ditebarkan Global Warming di media massa seakan seperti berita bualan atau terlalu teoritis untuk kita pahami. Apalagi untuk menggugah kesadaran kita, rasanya seperti harus mempercayai takhayul pocong atau tuyul. Susah untuk dimengerti karena kita tidak memahami esensinya serta tidak merasakan adanya perubahan itu.

Saya sendiri baru merasakan betul ketika melihat kondisi desa saya yang terletak di Tuban beberapa tahun terkahir. Perubahan iklim yang terjadi secara dramatis telah mengubah seluruh hal tentang desa kecil ini. Musim hujan tidak lagi terjadi di bulan Oktober-April lagi. Bahkan bulan Desember ini, hujan baru mengawali aksinya. Akibatnya pola panen pun jadi berantakan tidak menentu. Ditambah lagi, musim kemarau bisa bertambah panjang sampai tujuh bulan lebih, sampai-sampai sumur pun enggan mengeluarkan airnya. Kekeringan pun kerap melanda di setiap sudut desa.

Kala musim hujan datang, ada rasa syukur sekaligus waswas yang datang. Bagaimana tidak, sejak tahun 2007 wilayah saya selalu dihampiri oleh banjir. Alhasil tidak hanya rumah dan isinya yang harus diungsikan, semua tanaman di ladang dan sawah pun harus diikhlaskan mati karena terendam. Kesemrawutan cuaca ini juga merubah kondisi tanah, biota, aktifitas, pekerjaan hingga upacara adat warga desa saya. Semua berubah secara drastis, tidak seperti kala saya masih memakai seragam merah putih. Dan hal ini akan selalu berlanjut terus sampai tahun berikutnya, mungkin lebih parah.

Memasuki dunia perkuliahan, pengetahuan saya semakin terbuka lebar mengenai dampak global warming. Malah lebih ekstrem lagi kenyataan yang saya dapatkan. Karena ternyata jika global warming ini jika diteruskan tanpa kendali bisa menaikkan permukaan air laut hingga 2 meter. Dengan perubahan yang menurut saya sangat sedikit itu ternyata bisa menenggelamkan sekitar 2.000 pulau dari 17.504 pulau yang ada di negara kita. Kalau satu pulau kita hargai 1 miliar, berapa kerugian yang dialami negara kita? Dan yang paling miris adalah negara kepulauan yang wilayahnya sangat kecil seperti negara di sekitar samudra Pasifik. Dengan kenaikan laut satu meter saja, negara tersebut bisa hilang dari peta dunia. Bahkan untuk mempertahankan eksistensi negaranya, Pemerintah Maladewa, negara yang terletak di samudra Hindia ini sampai menganggarkan dalam APBD negaranya untuk membeli pulau baru. Saya sendiri masih beruntung masih berdiri di atas pulau Jawa.

Banjir dan kekeringan pun kerap terjadi di satu wilayah negara yang sama. Ironis memang, namun itu sudah sering terjadi, bahkan di negeri kita sendiri. Badai pun bisa muncul dengan ganas akibat pola suhu panas dan dingin yang berubah drastis. Lihatlah badai Katrina yang sukses menenggelamkan kota New Orleans, Amerika Serikat tahun 2005 lalu. Gagal panen, hujan salju lebat, kelaparan, angin topan, melelehnya es di daerah kutub hingga kematian bisa diakibatkan karenanya. Perubahan iklim yang demikian drastis sangat terasa sekali di seluruh penjuru dunia. Dan semuanya berakibat  buruk pada manusia dan ekosistem bumi.

Yang penting penanganan
Banyak penyebab yang dikemukakan oleh para ahli tentang penyebab global warming ini,  baik yang memang sudah terbukti atau hanya sekedar teori. Yang paling umum diketahui adalah meningkatnya kadar CO2 dalam atmosfer bumi kita. Akibatnya, bumi seperti diselimuti oleh lapisan tembus cahaya. Bisa memasukkan panas matahari namun tidak bisa mengeluarkan kembali ke angkasa. Hasilnya, suhu bumi pun meningkat. Istilah ilmiahnya Green house effect atau efek rumah kaca. Dimana prosuksi CO2 meningkat akibat pembakaran fosil besar-besaran oleh manusia pasca revolusi industri.

Ada pula yang menyatakan karena zat metana di bawah kutub utara yang menguap ke udara bebas. Berton-ton metana beraksi dengan ozon dan terjadilah lubang ozon. Dari sisi astronomi, kenaikan suhu bumi juga disebabkan meningkatnya suhu matahari. Hal ini juga mengakibatkan naiknya suhu seluruh planet di tata surya. Dan segala bentuk argumen yang lain.

Dengan segala bentuk fakta yang dihadirkan para ilmuwan, intinya menyatakan bahwa bumi kita sedang tidak sehat. Apapun penyebabnya, yang lebih penting dari semua adalah penanganan dari kita. Karena Bumi kita hanya satu. Dan ditangan kita pula, masa depan planet ini ditentukan.

Kita Tidak Bisa Saling Menunggu
Kopenhagen telah memberi contoh konkret bagaimana upaya individu, pemerintahan dan swasta bisa berperan untuk mengantisipasi global warming. Kota ini dulunya tak ubah seperti Jakarta atau Surabaya, semrawut dengan polusi dimana-mana. Namun dalam 15 tahun terakhir kota ini berusaha mewujudkan Neutral Carbon Country sesuai dengan visi negaranya.

Sinergi dari masyarakat dan pemerintah menjadi jurus andalan kota ini. Pemerintah melakukan trasnformasi transportasi secara besar-besarnya. Untuk menekan penggunan kendaraan pribadi misalnya, pengajuan lisensi mengendarai kendaraan ini dipatok dengan harga selangit. Fasilitas transportasi umum disiapkan benar-benar disiapkan untuk kenyamanan masyarakat.

Saat ini lebih dari separuh penduduk kota lebih banyak menggunakan transportasi umum atau sepeda. Hingga sering terlihat orang menenteng sepeda dalam kerta api dan melanjutkan Bike to Work. Kebiasaan menggunakan sepeda juga sudah ditanamkan sejak anak-anak. Untuk mendukung program ini, pemerintah kota pun sering memberikan royalti dan penghargaan untuk pengendara sepeda. Saking sedikitnya kendaraan bermotor disana, yang ada malah beraneka ragam bentuk sepeda yang nyleneh bentuknya, seperti desain satu sepeda untuk lima orang. Tak luput pula pembagunan pengolahan sampah dan gedung ramah lingkungan juga sedang digalakkan di sana.

Intinya, lakukanlah apapun yang bisa anda lakukan sekarang. Kita tidak mungkin menunggu beragam bencana meluluhlantakkan negeri kita. Atau menunggu pemerintah melakukan kebijakan tentang global warming. Banyak hal yang bisa kita lakukan sekarang. Mulailah hemat listrik, jangan boros energi. Sekedar mematikan lampu jika tidak diperlukan. Kurang penggunaan kendaraan bermotor anda. Atau coba resep Bike to Campus.

Karena sekepul asap dari kendaraan anda bisa jadi menyebabkan kelaparan di Afrika. Selembar kertas yang anda gunakan bisa mengakibatkan sebatang pohon pinus terpotong. Satu watt listrik yang anda gunakan bisa jadi merupakan penyumbang melelehnya es habitat beruang di kutub utara. Mari kita lakukan reduce energy, reduce water and reduce waste. Segera!

Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tinggkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang

( Sentilan Bang Ebiet untuk kita semua )

No comments:

Post a Comment