7 May 2010

Hidup Mahasiswa! Hidup Dolly!

Jika mental itu bisa diibaratkan seperti sebilah pisau, maka waktu adalah pengasah paling dominan yang dapat membentuk mental itu setajam silet. Sedangkan pribadi dan lingkungan adalah pusat kendali kemana pisau itu akan diayunkan, untuk kegiatan yang bermanfaat atau malah merugikan. Namun di tempat ini, mental itu tampak seperti paduan ironi dan paradoksal. Ganjil dan menyayat nurani.


Namanya Catur. Tubuhnya ceking, bahkan teramat kurus untuk anak seusianya. Sekilas, tidak ada yang istimewa pada siswa kelas I SD ini. Kelakuannya, sepadan dengan teman sebayanya. Sinergi kompleks dari dua kata : nakal dan susah diatur. Istilah keren Suroboyonya adalah mayak! Namun dibalik super kenakalannya tersimpan intan yang tersembunyi di dalam dirinya.



Intan itu saya temukan secara tidak sengaja. Itu terjadi saat saya memberikan sebuah soal sederhana tentang matematika. Dari penjumlahan dua digit, terselesaikan. Pengurangan, beres. Karena dia baru kelas I, sehingga saya tidak mungkin memberika soal perkalian atau pembagian. Tapi justru dia yang meminta. Awalnya saya tulis perkalian satu digit saja dan ternyata benar semua. Saya coba dua digit, semua soal dilumat habis. Dan yang paling membuat saya dan kawan-kawan takjub adalah cara dia mengerjakan. Dia tidak menggunakan jarinya sama sekali atau pinjam jari temannya. Tidak pula menggunakan oret-oretan. Apalagi menggunakan kalkulator. Cukup dengan memandangi soal itu dan jawabannya akan segera tertulis oleh tangannya. Luar biasa!

Inilah Lintang (Tokoh Film Laskar Pelangi yang super jenius, red.) yang ku temukan di kawasan hitam ini. Jika kecerdasan Lintang di Belitong dihadang tanggung jawabnya terhadap keluarganya. Justru kemilauan permata dalam otak Catur terkorosi oleh pekatnya kultur lingkungan. Tingkat kenakalannya yang menurut saya sudah masuk kategori stadium 14 adalah buah dari mayakisasi kompleks segala segmen kehidupannya.

Bagaimana tidak, tepat dua meter dari tempat biasanya kita belajar bersama adalah wisma. Bukan tempatnya yang menjadi masalah, tapi volume ekstra dari sound karaokenya tidak hanya membuat telinga mau meloncat namun kalau tidak kuat iman, kesabaran pun bisa lari dari nurani. Semua tampak jelas dari kaca transparan dipadu lengkingan suara karaoke dengan kualitas seperti kumpulan panci jatuh dari rak dapur. Efeknya, untuk memanggil teman dengan jarak semester saja, suara harus diload speaker mirip rentenir sedang nagih hutang.

Di sini, wanita dengan pakaian super amat mini nampak seperti gunung vitamin A bagi kaum adam. Kata teman, “Obat sakit mata paling mujarab”. Mungkin tumpukan botol Bir di sini itu sama dengan tumpukan botol air kemasan bagi kita. Ditambah ramuan istilah-istilah ini : PSK/WTS/Kupu-kupu malam/Balon/Penjaja, purel, mucikari, gigolo, hidung belang, orang mabuk, KDRT, Traficking dan istilah sebangsanya. Semua itu adalah makanan pokok keseharian Catur dkk sebelum mereka makan nasi. Bagaimana mental mereka tidak karatan jika sejak mata melihat dunia, malaikat kecil ini sudah dijejali dengan kondisi seperti itu?

Bahkan ada anak berumur 8 tahun yang tahu Bapaknya ditangkap Polisi di depan matanya sendiri! Banyak juga anak yang tidak pernah tahu apa artinya Bapak sejak dia lahir. Pernah juga saya melihat orang tua sangat renta, memdekap beberapa botol bir dan tiba-tiba botolnya jatuh. “Sudah bau tanah saja kelakuannya seperti itu, apalagi yang muda?,” pikirku. Atau suatu tulisan yang banyak terpampang di wisma-wisma, DIBUTUHKAN : TENAGA PUREL.

Dan yang membuat saya terperanjat setengah mematung, adalah ketika saya menanyakan salah seorang warga tentang identitas anak yang wajah dan kulitnya mirip keturunan Tionghoa. “Pak, emang dia itu China ta?,” tanyaku. “Nggak tahu saya, mungkin aja yang jadi itu pas China. Jadinya ya seperti itu”. Grubyakkkk.

Dolly. Kalau jam sudah beranjak ke angka 5, tempat ini berubah seperti perkantoran. Adzan Maghrib seolah menyuarakan bel “masuk kerja” bagi para karyawannya. Lebih malam lagi, aneka jenis akuarium terpampang rapi, lengkap dengan model, layanan dan tarifnya. Sementara di jalan dan gang-gang kecil sudah penuh dengan ”sales” yang menawarkan produknya. Ramai sekali pengunjungnya, tak mau kalah dengan SSF (Surabaya Shopping Festival, red.).

Ya, ini adalah realita saya peroleh setelah berkecimpung beberapa hari di daerah paling prestis se-antero Surabaya ini. Lokalisasi Dolly, menghadirkan beraneka ragam cerita dan luka. Hingar bingarnya selaras dengan cerita kelam para penghuninya. Semua hadir memperagakan paradoksal kehidupan lengkap dengan pemeran dan alur ceritanya. Seperti dunia anak-anak di sini. Tak sepantasnya mereka menelan kehidupan yang mereka sendiri belum mampu memilah baik buruknya.

Ironi yang Nyata dan Ada di Sekitar Kita
Cerita tantang ironi di negeri ini tidak hanya ada di Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Nyatanya paradoksal kehidupan itu senantiasa ada di setiap jengkal langkah yang kita lalui. Cukup perhatikan kehidupan di sekitar kita. Tidak hanya di Dolly. Masih sangat banyak sekali kondisi masyarakat di sekitar kita yang memprihatinkan.

Siapa yang tahu bahwa di Gebang itu ada sebuah yayasan yang menaungi penyandang tuna netra. Saya pernah mengikuti sebuah kegiatan yang diselenggarakan di situ. Dikelilingi oleh puluhan orang yang tidak bisa melihat membuat saya merasakan betapa besar nikmat penglihatan. Ada juga kisah hidup anak SD yang mirip sekali dengan sinetron. Setiap hari, dia harus menyetorkan sejumlah uang hasil mengamen kepada orang tuanya atau jika tidak, dia tidak akan diperbolehkan masuk rumah. Belum lagi perjuangannya ketika dia harus saling berkejaran dengan satpol PP.

Amati pula kehidupan keluarga di permukiman pesisir Kenjeran, perbatasan Surabaya-Gresik atau di sepanjang bantaran semua sungai di kota ini. Atau jika anda pernah hang out ke Tunjungan Plaza (TP) sempatkan untuk blusukan ke permukiman tepat di belakang tempat parkir. Ada maskot tempat jambret kota Surabaya, Gang Kelinci Joyoboyo. Irba, daerah penuh kontroversi. Tempat mesum di Ken Park malam. Kompleks.

Itu adalah sekelumit potret permasalahan masyarakat di sekitar kita. Dan daftar fenomena tersebut bukan sekedar info berita di televisi, dilihat dan dikomentari. Semua ini nyata dan ada di sekitar kita.

Agent Of Change itu Bukan EO
Selama di tempat prostitusi, kami pernah sharing dengan dua orang perempuan paro baya. Beliau menceritakan banyak hal tentang seluk beluk tentang dunia Dolly. Mulai sejarahnya, pembagian wilayah yang juga membagi kelas dan tarif “berlangganan”, kondisi sosial, perilaku warga, demografi dan bala tentaranya. Oh ya, beliau itu pegajar TPA anak-anak yang berada di gang seberang.

Yang membuat saya kagum adalah dedikasi dan keikhlasannya. Beliau berjuang selama 10 tahun lebih hanya untuk menanamkan nilai spiritual dan moral pada anak-anak daerah itu. Tidak peduli dari anak tanpa Bapak atau tanpa orang tua, anak mucikari, anak Gigolo atau anak yang tidak jelas asal usulnya. Semua dilakukan tanpa bayaran dan tanpa hari libur! Padalah Ibu ini tidak pernah sedetik pun merasakan bangku kuliah. Embel-embel “Mahasiswa” yang kami bawa seolah terjun bebas di depan beliau.

Dalam kesempatan lain, ada seorang teman yang mengeluhkan tentang proposal kegiatan yang menggunung di Kemahasiswaan BAAK. Dia berujar bahwa banyak kegiatan yang diadakan mahasiswa sekedar angin lalu. Tidak memberikan pengaruh apapun terhadap masyarakat dan lingkungannya. Menyelenggarakan kegiatan, evaluasi, buyar. Dari sini mahasiswa tidak ubahnya seperti seorang Event Organizer (EO), katanya. Dengan tameng melatih komunikasi, leadership, teamwork, soft skill dll, sebuah kegiatan bisa mengubah esensi mahasiswa sebagai agent of change menjadi EO kegiatan kampus. Yang penting bagaimana kegiatan itu bisa berlangsung, bukan dampak positif apa yang bisa didapatkan pasca kegiatan ini. (Ini murni pendapat)

Terlepas dari pendapat tersebut. Fakta mengatakan, setiap tahun kita menghabiskan miliaran uang rakyat. Yang bisa jadi uang itu adalah retribusi yang disetorkan penjual sayur di pasar dekat rumah anda. Maka di tangan kita telah tergenggam sebuah amanah. Kuliah itu bukan hanya untuk menuntut ilmu, lulus, bekerja dan memperkaya diri. Tapi saksikan di sekeliling kita, ada rakyat yang ikut mensubsidi biaya kuliah kita. Saat ini mereka sedang butuh pertolongan. Apakah kita masih peduli?

“Khairunnas anfa’uhum linnas”
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama,” begitu Rasulullah mengajarkan.

Klik juga di www.its.ac.id

No comments:

Post a Comment