20 Jul 2010

Pak SBY, Jangan Menyesal Keluar dari Teknik Mesin ITS


Kiranya kalimat itulah yang akan saya lontarkan kepada Presiden SBY jika saya menjadi salah satu crew Sapu Angin. Itu pun kalau Pak Beye bersedia mengundang kita lagi ke istana kepresidenan selepas kemenangan spektakuler di ajang Shell Eco Marathon Asia kemarin. Saya juga tidak mau berspekulasi jawaban apa yang akan lontarkan oleh beliau. Yang jelas sebagai mahasiswa Teknik Mesin ITS, saya berharap beliau menyesal telah keluar dari Teknik Mesin ITS.

Itu hanya sebuah jawaban impian, seperti halnya kalimat yang saya ajukan menjadi judul artikel ini. Toh misalkan benar-benar menjadi kenyataan, mayoritas civitas akademika ITS pasti mendukung jawaban yang saya, walaupun kampus lain belum tentu setuju. Yang saya yakini Pasti Pak Beye sangat terpukau melihat prestasi mantan Almamaternya. Juga jika memang Pak Beye ternyata pada tahun 1969 memutuskan melanjutkan untuk kuliah di jurusan Teknik Mesin ITS, tidak ada yang bisa menggaransi bahwa pada tahun 2004 beliau bisa menjadi Presiden. Lha lulusan ITS saja tidak ada yang jadi RI 1. Tapi setidaknya Pak Beye yang Drop Out-an ITS pun bisa.


Semua bermula dari Sapu Angin, jurus sakti milik Sunan Kali Jogo yang menjadi nama Mobil sakti milik Tim Mesin ITS. Kemenangan tim ini pada ajang Shell Eco Maratho Asia memang sangat istimewa dan spektakuler. Menjadi juara I untuk Combustion Grand Prize dan Gasoline Fuel Award, semuanya untuk kelas Urban Concept dengan rekor 237,6 km per liter bensin. Sedangkan juara 2 dan 3 diraih tim UI dengan catatan 61,8 dan 54,5 km/liter. Saya sendiri melihat selisih yang ekstrim tersebut lebih suka menyebut juara I ITS, juara 2 ITS, juara 3 juga ITS dan juara 4 baru UI. Setuju atau tidak terserah anda tapi yang jelas juara itu level Asia.

Sejak awal Mobil ini memang sudah menuai pujian dari banyak pihak termasuk dari pak Beye. Disaat ada mobil tim lain yang hobi mogok ketika diminta memutari Istana Kepresidenan, justru Sapu Angin berhasil melaju tenang tanpa banyak curcol ke pers. Juga berkat dukungan penuh dari hampir seluruh civitas akademika ITS plus alumni, tim ini akhirnya menjadi satu-satunya tim yang berhasil mengumandangkan Lagu Indonesia Raya di sikuit Sepang, Malaysia. Saya membayangkan, betapa senang dan bangganya crew Sapu Angin saat itu. Sampai Pak Herman (Herman Sasongko, Kajur Teknik Mesin, red) pun harus berkali-kali melihat angka yang tertera pada display hasil perlombaan karena hampir tidak percaya dengan angka yang mereka capai.

Dengan tiba-tiba, mayoritas otak civitas akademika yang konsentrasi pada Piala Dunia dan kasus video mesum harus berbelok arah memelototi berita kemengangan Sapu Angin. Serbuan media bertubi-tubi memblow up kemenangan ini hingga menjadi Top Trending Topic hampir semua media massa seluruh Indonesia. Bahkan milist Mesin ITS pun seakan sudah berubah menjadi seper10detik.com. Mahasiswa juga kena imbasnya, mulai dari yang standby di kampus, pulang ke desa, kerja praktek atau sekedar jalan-jalan pasti ditanyai orang lain tentang Sapu Angin walaupun belum tentu dia mahasiswa Teknik Mesin. Hingga Mbah Google pun menyimpan hati kepada “Sapu Angin ITS” dengan menyediakan 360 ribu tulisan. Sebuah angka yang fantastis karena berhasil mengalahkan kata “Dr Angka Nitisastro”, salah satu pendiri ITS.

Satu hal yang saya suka dari Tim SA adalah sikap “bungkam” terhadap media sebelum kompetisi. Jika tim lain berusaha mengekspos diri kepada media sebanyak-banyaknya. Tak jarang, lewat model simbiosis mutualisme ini ada media yang memberikan liputan eksklusif setajam rambut dibelah tujuh belas. Nyatanya Tim SA tidak mau kecolongan berkali-kali akibat polah media sekarang yang memang tak memberi batasan mana kawan, mana lawan.

Saya sadur pengalaman pribadi dari Pak Triyogi Yuwono, salah satu dosen pembimbing Tim SA. Ketika diundang seminar di Bali, ada dosen ITB yang memaparkan konsep desain mobil yang akan diikutkan SEM Asia pada kelas Prototipe. Bentuknya lonjong dengan semakin mengecil ke belakang dengan bagian akhir membelok ke atas. Beberapa hari kemudian, ITS memberitakan desain SA 2 yang bentuknya menyerupai tetesan air. Tak lama kemudian, semua tim Indonesia menggunakan bentuk ini temasuk ITB yang tidak diketahui alasannya mengubah desai. Pun demikian waktu SA 1 diberitakan menggunakan mesin Pemotong Rumput, semua tim se-Indonesia seakan “sepakat” menggunakan mesin serupa. Walaupun akhirnya ada yang berubah haluan.

Tak mau kecolongan lagi, saat lahirnya mesin PAIJO EXPERIMENT-01 tidak ada satu keterangan resmi dari media terkait komponen dan manufaktur mesin ini hingga detik ini. Tentang peran pemberitaan dari media, saya berharap kompetisi SEM Asia 2011 bisa dibuat liputan eksklusif harian. Mirip yang dilakukan Tim Maritim Challenge ketika berlaga di Finlandia daripada dibuat tulisan parsial wartawan yang belum tentu merasakan soul Tim SA ITS. Bukankah rumput rumah sendiri lebih hijau daripada rumput tetangga?

Made In Indonesia
Pernah ada seorang dosen Bahasa Inggris berkomentar enteng, “Di sini itu ada jurusan Teknik Sipil tapi kenapa jalan ITS masih ada yang bolong-bolong dan tidak rata. Saya juga tidak pernah tahu Teknik Mesin yang mampu membuat mesin sendiri?”. Kala itu mungkin mahasiswa Mesin yang berada di kelas ini sudah memaki-maki dalam hati sambil berfikir, “Apa bisa?”.
Akhirnya terjawab juga di tahun 2010 ini. Tim SA ITS adalah satu-satunya tim Indonesia dengan mesin yang dirancang dan dibuat sendiri alias Made In Indonesia dengan sapaan akrab PAIJO. Terlebih dari wacana, ada rencana untuk mengkomersilkan kedua mobil SA. Walaupun harus menunggu 20-30 tahun mendatang, setidaknya ada kontribusi nyata dari ITS terhadap hak paten otomotif yang sejak Indonesia merdeka sangat minim perhatian.
Jika terwujud, jangan kaget dari kita ada yang menyaksikan mobil dengan nama PAIJO berseliweran dengan mobil IZUSU, TOYOTA, DIHATSHU dll. Namun satu hal yang menjadi kekhawatiran bersama, ibarat hangat-hangat tahi ayam. Hanya diperhatikan di awal, 10 tahun berselang tidak ada kabarnya. Setidaknya kita bisa mengambil contoh dari Mobil Tawon yang entah bagaimana kabarnya.

Kerjasama dan Kekeluargaan dalam Prestasi
Kemenangan Tim SA ini lebih mirip keajaiban. Lebih tepatnya keajaiban yang terbagun oleh usaha, optimisme, dukungan serta do’a banyak orang. Bayangkan saja ketika di tengah-tengah perlombaan, tiba-tiba Engine Control Unit (ECU) alias otaknya mobil SA 1 malah rusak karena kabel busi putus. Dengan berbagai akses informasi dikerahkan, akhirnya perjuangan menegangkan seperti perjalanan Frodo menuju Orodruin membuahkan ECU seharga 4000 ringgit. Belum lagi kelalaian tim saat lupa membawa paspor yang tertinggal dalam mobil di Surabaya ketika sudah sampai Jakarta. Untung ada dosen pembimbing yang masih mau berangkat, alhasil paspor yang ditaruh kolektif di kresek terebut pun terangkut.
Banyak kisah dramatis, menegangkan dan mengkhawatirkan yang berhasil dilalui oleh Tim SA ini. Yang perlu dicatat di sini adalah adanya kebersamaan dari awal tim dibentuk sampai tim ini kembali ke tanah air membawa kemenangan. Terlepas dari jurusan yang pasti all out mendukung anak didiknya, ada juga pihak lain diluar Teknik Mesin ITS yang turut mesupport Tim ini. Mulai dari Rektor, Pembantu Rektor, para rombongan supporter yang terdiri dari Dekan FTI, Pembantu Dekan, Kajur, dosen, alumni dll. Bahkan sampai alumni yang di Jakarta dan Malaysia pun turut meyambut kemenangan Tim ini. Ibarat sepak bola, dukungan mereka adalah pemain kedua belas yang sering diabaikan. Karena cukup miris ketika mendengar keluhan Tim Indonesia lainnya senewen akibat tidak terlalu didukung oleh birokrat.

Membangun Institut (Tidak) Berbasis Angka
Kampus teknik memang sangat dekat dengan angka, bahkan identik. Tak jarang mahasiswa terbuai dengan meletakkan nilai angka akademik (IP) sebagai tujuan utama kuliah. Terlebih, sering formulasi angka-angka seolah berubah menjadi ular kobra yang memangsa setiap jengkal kreativitas, mengkerdilkan otak kanan. Calon insinyur yang diharapkan mampu menjadi problem solver bidang teknologi malah berubah menjadi stok buruh pabrik. Banyak teori, minim aplikasi.
Pun demikian yang saya tangkap dari Tim SA ini. Dari 14 mahasiswa yang tergabung dalam tim inti, tidak sampai sepertiga yang moncer nilai akademiknya. Namun nyatanya, mereka justru mereka yang biasanya under estimate bagi maniak IPK itu mampu memberikan gagasan-gagasan tentang teknis pembuatan mobil yang sama sekali tidak diajarkan dalam kuliah dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Menyandang IP pas-pasan atau bahkan ajur-ajuran, mereka mampu berprestasi di level Internasional. Konsep ujian ulang yang diperuntukan bagi mereka setidaknya menjadi solusi praktis menyikapi ambruknya IP mereka gara-gara fokus pada pembuatan SA.
Pilihan untuk berlaga di kancah Internasional dan fokus akademik memang dilematis di mata sebagian mahasiswa. Ada yang rela memolorkan jadwal kelulusannya demi kesempatan berlaga di negara seberang. Namun ada pula yang sebaliknya. Malah ada yang nekat ngamen untuk membiayai akomodasi ke luar negeri yang tidak murah. Tanpa kompensasi akademik atau mekanisme apapun yang bisa menyelamatkan akademiknya. Memilih angka akademik atau non akademik?

Kalimat bijak bertuah bahwa meraih itu lebih mudah daripada mempertahankan. Jika PENS ITS mampu mempertahkan gelar juara KRI 11 tahun berturut-turut sampai lumutan, saya berharap Tim Mesin ITS mampu mempertahankan bisa lebih lama dari itu dan mampu meningkatkannya. Jika selama ini bagi dunia barat (UI, ITB dkk) silau dengan Robotika dan Kemaritiman ITS, semoga mulai 2010 ini mereka juga silau dengan teknologi mekanika dan otomotif dari ITS.

“All that is valuable in human society depends upon the opportunity for development accorded the individual” -Albert Einstein-

No comments:

Post a Comment