21 Jul 2010

Syuro Efektif ?





Ma hua Syuro?

Apa itu syuro?

Musyawarah atau diskusi, model rapat untuk kalangan aktivis dakwah. Ya begitulah kurang lebih artinya. Tidak jauh beda dengan rapat, bedanya ada beberapa regulasi wajib yang harus dilakukan di dalamnya. Sebutlah Tilawah (membaca Al Qur’an), ada hijab, tausiah dll. Membudayakan kebiasaan islami untuk hal-hal kecil. Bukankah bangunan besar dibangun dari tumpukan satu demi satu batu-bata?

Saya cuman ingin sedikit curcol, tadi pagi saya dengan Bang Faishal Mufied Al Anshary (namanya ustadz bangeeets), Mohammad Ghoni Febri plus Surya bersama empat orang muslimah (akhwat) mengadakan syuro tidak resmi. Saya sebut demikian karena memang tidak formal namun esensial. Syuro tentang Lembaga Semi Otonom (LSO) Lentera harapan, Putat Dolly Surabaya. Ini adalah syuro pertama yang saya pimpin untuk bulan ini. Memang saya sudah tidak langganan syuro lagi mulai dua bulan terakhir. Menjadi “bawahan” lagi untuk sesuatu yang lebih urgen. Skala prioritas rek!
Selama beberapa abad (lahir abad ke-3 SM) saya menjalani syuro, baru kali ini saya merasakan sebuah “sensasi” berbeda. Entah mengapa, sesuatu yang belum saya definisakan. Semua terasa berbeda. Seperti sebuah roda, ini syuro kali pertama yang bisa mengalir tanpa kehilangan kendali, masih nurut dengan tujuan awal. Sistematis, efesien dan mengena namun tidak kaku. Lha kendala utama saya selama ini adalah ketika syuro pasti yang bicara cuman yang mimpin saja plus dari akhwat cuman 1 suara. Sungguh, kebersamaan suara tingkat akut. Peserta yang lain tinggal menyetor anggukan saja.

Biasanya syuro’ juga sangat kaku, ortodoks nan kolot. Tidak ada kata “ah” apalagi banyolan penyejuk suasana. Toh biasanya kalau ada, mbanyolannya kebablasan sampai tidak fokus pada tujuan. Nglantur kemana-mana. Dan yang pasti jatah durasi syuro tidak berimbang dengan materi yang akan dibahas, penyebab utama pasti telat. Modus Menejemen By Afwan (MBA) senantiasa menjadi garda terdepan sebagai alasan utama. Hal itu berbeda ketika saya rapat dengan para aktifis non dakwah. Mereka bisa professional dan konstruktif. Tidak bertele-tele, ide mengalir deras dan soul rapat dirasakan secara bersama. Entahlah kenapa.

Dan hari ini, saya merasakan untuk kali pertama di dunia dakwah sosial. Kalau dakwah kampus, biasanya saya rasakan bersama mas-mas angkatan di atas saya atau di lahan dakwah sekolah, tidak usah ditanya tentang gaya syuro’nya, sangat efektif, kata singkat yang mewakilinya. Dihadiri dari tiga angkatan berbeda, saya paling tua :P. Tidak ada kelas disini, sebisa mungkin saya memposisikan sejajar dengan mereka. Dan Alhamdulillah, berhasil di luar dugaan awal.

Penggalan kisah yang saya ingat. Ketika kita bingung apakah mau menghadiri undangan ke Dolly jam 18.30. Saya berujar, “Lho adzan maghrib itu pertanda jam masuk kerja di situ. Hati-hati,” ujar saya mengutip tulisan lama saya sendiri. Sontak, semua tertawa cekikikan sendiri. Kalau di ikhwan malah ngakak jamaah, hehe. Juga saat tanya tentang progress papan ekspresi untuk adik-adik di taman baca, yang terdengar malah seperti ibu-ibu arisan plus nyemil jajan yang sengaja di bawa oleh bang Ghoni. Duh, ngrumpi memang penyakit lama perempuan sejak dalam kandungan.

Dan yang paling saya suka adalah keterlibatan aktif semua peserta yang hadir. Karena yang dibahas sangat banyak, semua ide dan alternative solusi mengalir deras. Tak ada satu peserta pun yang diam tanpa ide. Hal jarang saya temui dalam syuro’ tiga generasi. Apa karena efek senioritas selama pengkaderan? Entahlah. Yang jelas saya berharap keadaan seperti tadi pagi tidak hanya berhenti saat itu saja.

“Zona aman itu syetan nomor 23, begitu pula dakwah di lahan ‘tidak umum’ senantiasa menggerogoti saya untuk melepasnya dan menuju zona aman. Tapi ketika saya teringat senyuman kecil itu, saya bertanya apakah saya lebih picik dari pelacur di sana?” (hoe)

No comments:

Post a Comment