Niat hati memborong segudang daftar tugas yang bisa saya kerjakan selama lebaran kali ini. Nyatanya tidak sampai separuh bisa saya selesaikan. Selalu ada saja alasan untuk melepaskan diri dari rutinitas dan kepenatan kota Surabaya. Waktu lebaran sepekan di rumah sendiri begitu berharga. Melahirkan banyak inspirasi dan kesadaran diri untuk senantiasa melangkah. Ini adalah seruas kisah ku selama lebaran 1431 H. Sederhana namun semoga bisa bermanfaat.
Halal bi halal. Momen rutinitas namun selalu ditunggu setiap umat muslim Indonesia. Tidak berbeda pula dengan seluruh umat muslim dari Sabang sampai Merauke, saya pun juga turut berlalu lalang dari rumah satu ke rumah sampingnya. Jika di masa kecil saya harap-harap cemas seberapa banyak uang yang bisa ku kumpulkan, menjelang gede saya menghitung seberapa kuat kaki ku melangkah ke rumah saudara ku.
Alasannya sederhana, saudara saya terlampau banyak dan hanya berkutat di dua desa. Dari Bapak ada 10 Pak-Bu Lek dengan 22 sepupu dan 13 keponakan. Dari Emak ada 5 Pak-Bu Lek dengan hanya seorang keponakan. Itu belum termasuk mertua dan saudaranya kakek dan nenek yang mbuletisasi. Juga belum saudara kakek dan nenek dari Mbah yang sama. Kalau diruntut detail silsilahnya sampai 4 sampai 5 generasi teratas, saya hanya bisa terperangah sambil manggut-manggut kebingungan. Dijelaskan berkali-kali juga tetap saja bingung, terlebih untuk menghafalkan nama, nyerah. Menghafal nama keponakan saja sering tertukar.
Jadi kalau seluruh keluargaku dikumpulkan menjadi satu, dua rumah pasti tidak cukup. Harus antre kalau mau ke rumah kakek/nenek. Atau kalau tidak mau, lantai rumah siap menampungnya. Dari sini saya harus pinter-pinter memilah kemana kaki ku harus melangkah sebelum terkapar karena capek dan panas. Butuh dua hari untuk thowaf dua desa tersebut. Itu pun masih ada saja yang tidak saya kunjungi. Lupa. Payah kan?