2 Sept 2010

Bermalam di Dolly



Akhirnya saya bisa mewujudkan impian saya. Harapan yang sempat ditentang oleh beberapa kawan saya. Cukup ekstrem dan tidak mengindahkan adat manusia normal. Takut terjadi hal-hal yang diingankan sekaligus hal yang tidak diingankan. Ibarat ibu hamil yang ngidam, tindakan ini merupakan obsesi komplusif bersama dengan teman sejawat saya terdahulu (sekarang dia harus merantau). Tahu apa itu kawan? “Bermalam di Dolly”.

Yachhh… Akhirnya saya bisa bermalam di Dolly kawan. Menikmati setiap jengkal nafas kehidupan di sini. Tapi jangan berfikir yang iya-iya lho! Saya berhasil ke sini karena saat itu masih bulan Ramadhan. Jadi tak satupun wisma dan tempat karaoke buka. Semua bisnis esek-esek dan hiburan di sini diliburkan total. So, jangan harap akan menemui gempita perempuan jalang dengan pakaian minimnya atau pun lelaki hidung belang di sini. Di sini, tenang sekali. Sama seperti daerah kampung di belahan kota Surabaya.

Tahukan kamu kawan? Obsesi komplusif saya adalah mengunjungi “kedai malam” ini saat hari biasa. Ikut masuk ke dalam dunia mereka. Menyusuri tiap lekuk, jengah, panas dan dinginnya wilayah otonomi khusus ini. Ikut hadir dalam kehidupan mererka. Menjadi mereka. Menjadi anak-anak yang setia ikhlas menyaksikan dunia kecil dan gemerlapnya klakson hiburan di sekitarnya. Yo opo critane arek cilik urip nang daerah koyok ngono?



Bagaimana mereka bisa memaklumi hal ini. Bagaimana mereka menyelami kebiasaan ini. Bagaimana karakter mereka terukir. Bagaimana mereka bisa tersenyum. Menangis sambil tertawa. Di antara mungilnya boneka kecil, botol bir yang bersiulan, para pelacur , narkoba, belaian tangan besi hingga makna orang tua – yang terkadang mereka sendiri bingung mendefinisikan.

Ekstrem bukan? Haha..Tapi bukan kita kalau tidak berpikir out the box, melawan pattern. Sudah lama kita rencanakan. Namun tak satupun berhasil. Terlalu banyak pro kontra dengan jadwal pribadi kami yang hobi bersekongkol untuk bentrok. Sampai kedodolan (tindakan dodol) itu kami lakukan. Mohon pertimbangan ke teman-teman pengajar akhwat (putri). Keluarlah jawaban, “Saya mengijinkan kalian bermalam di sana dengan syarat ada tiga ustadz yang memperbolehkan tujuan kalian ke sana. Saya tunggu maksimal sampai sore ini”

“Waduh, ngelu iki….”
“Heh, punya kenalan ustadz yang mempan disogok nggak?”
“Eh, kelamaan. Pake ustadz yang rada brandal dikit, pasti diijinin. Atau coba kita rayu mas Niki (Murobi kita, red.) agar dapat rekomendasi. Kalau tidak mempan, pake tampang super melas deh”
“Aku ada solusi praktis. Kamu punya teman yang namanya mirip ustadz tidak? Kita dompleng saja namanya, hahahaha”

Model mahasiswa gila abad 21. Nyatanya kami tak mau dikutuk jadi batu gara-gara melanggar titah bundo. Tentu saya sendiri tak mau menerima adzab gara-gara obsesi gila ini. Dan akhirnya, impian itu tidak terealisasi sampai teman saya lulus dan merantau mencari nafkah buat (calon) istrinya.

Sampai pada malam itu. Saya berhasil menyusuri daerah prestis ini. Bisa merasakan sensasi sholat di masjid Dolly blok A lagi. Pengalama langka bro. Bersama Gus Ghoni yang duet dengan Ustadz Surya. Tentu kehadiran mereka untuk menetralkan kegilaan saya sebagai the craziestman of the years.  (Gus=panggilan untuk putra Kyai)

Kita ke sini untuk mengumumkan acara lomba, pengajian dan buka bersama esok hari. Tak sampai H-12 jam sebelum acara dimulai. Namun inilah seninya hidup ala mahasiswa, terbiasa dengan sesuatu yang serba dadak dan praktis. Tak banyak nggombal, sikaaaaattt! Kondisi di taman baca tidak jauh berbeda di siang hari. Lha tidak ada satu pun hiburan yang buka. Jadinya sepi nan khusyu’. (cerita sengaja saya singkat)

Perjalan kita lanjutkan menuju ke TPA di blok B. Kawasan kelas dua yang sering menjadi jujugan polisi narkoba. Karena menurut sejarahnya, kawasan ini adalah merupakan wilayah Bandar narkoba. Sekilas, saya sendiri sempat terkaget-kaget dengan fakta ini. Mosok seh? Lha di ujung masuk sampai ujung keluar, tak ada bedanya dengan kampung biasa di Surabaya. Nanti akan saya kisahkan dalam tulisan selanjutnya.

Di sini kami bermaksud untuk mengundang beberapa anak untuk diikutkan lomba di Taman Baca. Istilah saya, impor peserta. Tak ada maksud lain. Namun yang kami dapatkan lebih dari itu. Saat masuk ke kediaman Bu Modin, kita justru diajak maen ke mushola untuk menyaksikan ibu-ibu yang sedang tadarusan. Ampun jiahhh. Saat kami sampai mulut masjid, kita grogi tiga perempat mati. Lha ada 9 perempuan tadarusan tiba-tiba kami nyelonong masuk dengan status single, hahaha. Kikuk. Tidak berkutik. Saya sendiri hanya mengandalkan bahasa formal saya ketika mewancarai narasumber. Sambil diiringi guyonan tidak jelas sekaligus tidak mutu dari kita. Dan…

“Masnya pasti tertawa karena aneh lihat ibu-ibu Jarak (synonym of Dolly) kok bisa ngaji, iya kan?”

Dengan mulut full bocked oleh pisang goreng, saya mau tersedak. Tak sepintas pun saya berpikir seperti itu.  Namun ternyata, Gus Ghoni berpikir lebih dalam. Di perjalan pulang dia curcol bagaimana kebiasaan tadarus-an di desanya yang mulai luntur. Anak mudanya jarang ada yang mengaji. “Gimana ya, bisa menumbuh semangat kayak ibu-ibu tadi?”. Huh, saya kalah telak dalam hal ini. Karena saya jarang pulkam, praktis tak pernah saya amati hal sepele tapi penting seperti tadarusan.

Waktu semakin merangkak. Meninggalkan manusia dengan segala kemalasannya. Berlari seiringan dengan putaran bumi. Eh, juga selaras dengan putaran jarum jam. Jam 21.30. Bagi kami jam segitu masih sore, namun karena berada di kawasan super ekslusif ini, saya harus berpikir ulang. Waktunya untuk pulang.

Di tengah perjalanan….

“Ah, andai sekarang bukan bulan Ramadhan,” candaku.

See u on the next story

2 comments:

Anonymous said...

itumah kagak nginep..mpe nginep donk..seru tau..
mpe ade2na cape mw tidur..
dan kemudian jalan2 dah tuh malem2...hehehehe(tanduk di kepala)

hudahoe said...

Dudul, kok ora tobat2 arek iki. Bertobatlah bro :)

Heh, jadi 8 atau 10 oktober jeh?

Post a Comment