18 Sept 2010

Ramadhan di Dolly (#feature edition)


Jujur saya cukup tergugah oleh tulisan saudari Lisana tentang opini buka bersama bulan Ramadhan bersama  Sanggar Alang-Alang. Niat awal ingin menyajikan kisah Ramadhan di Dolly ini dalam bentuk berita dengan model tulisan feature yang bersambung di website ITS. Namun justru malah menjadi tulisan yang  tak tahu aturan. Cukuplah tulisan ini menjadi tumbal daripada tidak ada tulisan sama sekali. Semoga bermanfaat.
*****
Musim kemarau. Matahari kota Surabaya sedang tidak hobi tersenyum. Terlebih jika jarum jam sudah merangkak diatas angka 10. Suhu yang senantiasa diatas 30 derajat Celsius setidaknya sudah cukup membuat orang malas keluar rumah. Tidak mengherankan karena ramadhan tahun kemarin saja, suhu kota pahlawan mencapai titik maksimum melewati rekor 35 derajat. Cobaan untuk orang yang sedang berpuasa. Juga menjadi nikmat untuk tidur siang hari.

Kaki kecil itu justru melangkah terus. Melawan aspal jalanan yang menggeliat, memuai tak beraturan. Menapaki jengkal demi jengkal kilometer jalan. Kira-kira 30 menit dari kampus ITS Sukolilo. Cukup jauh untuk skala perjalanan mahasiswi. Nyatanya gempuran panas hari itu tidak cukup untuk melelehkan semangatnya demi menemui malaikat-malaikat kecil di sudut kecil kawasan prostitusi Dolly.

Kegiatan sosial rutin setiap hari minggu masih tetap berjalan walaupun ramadhan telah tiba. Bahkan saat masa liburan panjang mahasiswa, aktifitas ini tetap berlangsung. Memilah antara hasrat pulang kampung, suksesi himpunan, raker, musyker, rapat, kerja praktek, kerja dan aktivitas kampus lainnya. Memang tidak banyak jumlahnya namun senantiasa ada jalan tambah sulam selama setahun lebih kegiatan ini berlangsung.

“Saya suka dengan anak kecil,” sebuah alasan sederhana dari seorang pengajar, begitu kami biasanya menyebut setiap mahasiswa yang rela menjadi relawan sosial di sini.


Namun hari itu Dolly sedang tidur. Tidak ada satu pun kedai hiburan yang beraktifitas. DITUTUP SELAMA BULAN RAMADHAN, begitu kertas tertempel di setiap pintu Wisma dan tempat karaoke. Tidak pula ada lusinan bir yang berkeliaran. Juga tak akan nampak manusia krisis busana. Sama seperti kawasan perkampungan biasa. Tak salah jika stasiun televisi selalu beriklan bahwa bulan Ramadhan membawa berkah. Tak terkecuali kawasan Dolly. Yah, walaupun selepas Ramadhan balik lagi.

Walaupun pemerintah Kota Surabaya tidak pernah mau mengakui kawasan Dolly dan pula tak mau membubarkan kawasan Dolly, kertas tempelan seolah itu berkata “Liburlah dulu, nanti habis lebaran buka lagi nggak papa”. Malah kalau bisa lebih besar lagi, pikirku iseng.

Ada suatu adat unik di kawasan ini selama bulan Ramadhan. Bukan acara tadarus bareng atau pun grebek sahur. Masa ramadhan adalah masa-masa renovasi wisma dan tempat karaoke.  Banyak wisma diperbaiki selama bulan puasa. Di gang IIA saja, saya hitung ada tujuh wisma sedang berbenah memasuki musim baru. Saya sendiri tidak tahu persis, apakah mereka juga ganti pemain setelah mengubah wajah markasnya. Banyak kuli bangunan disewa selama itu, praktis kondisi ini juga merupakan rejeki untuk para kuli. Ironi bukan?

Puasa dan Anak-anak
Berpuasa di sini tak ubahnya di Keputih atau Gebang (kawasan kos mahasiswa ITS, pen). Kemilau panasnya sang Surya sama persis. Jajanan takjil menjelang maghrib juga ada. Termasuk suara pengingat imsak dan tadarusan. Orang yang berpuasa juga lumayan banyak walaupun tidak seluruhnya. Yang unik adalah anak-anak di taman baca, tempat kami singgah setiap pekan.

Ada beberapa yang berpuasa, minoritas. Yang tidak berpuasa malah lebih banyak dan tidak merasa bersalah sama sekali. Jangankan merasa salah, sungkan pun tidak. Saat kita berusaha mengirit pengeluran suara dan energi, mereka malah lenggak lenggok dengan es di tangannya. Yang paling lucu adalah saat mereka disuruh membuat drama dengan tema puasa. Eh, mereka malah memperagakan bedanya orang berpuasa dan yang tidak perpuasa. Lengkap dengan permen di mulutnya. Di atas panggung, di hadapan para warga lagi.

Selama ramadhan tahun ini, terjadi tiga kali buka bersama. Satu direncanakan dan sisanya dadakan. Walaupun saat di awal sempat ketar ketir dengan persoalan klasik alias dana, namun akhirnya terlaksana melebihi ekspektasi awal. Tak mudah menyediakan 100 bungkus nasi di sini walaupun setiap hari saya bisa mendapatkan gratis dari masjid ke masjid. Namun ada saja para donatur dan relawan panitia yang tergerak. Dari teman, senior, kenalan akibat note facebook, jaringan lama dan lainnya. Mungkin karena efek bulan ramadhan juga, amal jariyah harus digenjot.

Kecererian selama ramadhan memang sangat mengharukan. Terlebih jika mau mengkomparasikan dengan kondisi harian di luar puasa. Termasuk saat diadakan lomba menggambar dan mewarnai. Bersama salah seorang anggota keluarga, setiap anak harus menggambar dan mewarnai suatu gambar sebagus-bagusnya. Di sini letak seninya, ada saja ulah para peserta. Ada ibu yang hanya bisa tersenyum melihat anaknya disuruh menggambar dan mewarnai sekaligus tanpa membantunya. Ada yang malah anaknya diam saja. Ada yang kompak saling membantu antara dua anak dengan bapaknya yang jago menggambar. Sungguh, kebersamaan yang sangat langka dan mengharukan. Apalagi tempatnya berlatar wisma yang berjejer-jejer.

Senantiasa ada kejadian lucu dalam setiap rangkaian fragmen hidup. Pada saat acara lomba cerdas cermat, panitia melontarkan pertanyaan “tanggal 17 ramadhan terjadi tiga peristiwa besar dalam Islam, sebutkan apa saja?”. Dengan nada tegas dan polos, ada yang mengacungkan tangan dan menjawab, “hari kiamat”. Sontak seluruh penonton tertawa lepas. “Emang kiamat itu yang menentukan mbahmu?” celetuk salah seorang penonton. Ada-ada saja, sedangkan aku sendiri berpikir, “Andai kiamat itu tanggal 17 Ramadhan, pasti setiap orang tidak akan memikirkan baju baru untuk lebaran. Juga tidak akan ada prostitusi di Dolly”.

Atau kisah panitia yang tak kalah unik. Erik yang menjadi pendongeng ria sampai suaranya serak. Ghoni yang berjam-jam di atas atap untuk memasang terpal. Hanif yang rela membawa 3 tiga TSK-nya di tengah-tengah masa kampanyenya. Faishal  yang menyempatkan waktu di tengah jadwal super padatnya. Parmono yang dikorbankan menjadi MC dadakan. Surya yang dipaksa untuk kelayapan malam hari di Dolly. Heri yang senantiasa dikorbankan untuk mengurusi anak-anak gang IIIA.

Hasan dan Ifa atas kerelaannya di tengah-tengah aktifitas mengurusi himpunan. Immash yang pontang-panting mengurusi banyak adik asuh. Fizi atas semua pengorbanannya yang senantiasa di anggap kecil. Mbak Tyas  atas pulsanya, sering-sering saja J. Nanda, Marendra, Bahrowi, Eka, Dwi, Mbak Devi, Mbak Asri, Bu Sinta, Pak Wahyu, Mas Imron dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu kisahnya. Semoga Allah menjadikan kebaikan kawan-kawan semua menjadi amal jariyah di yaumul mizan kelak.

Tidak ada kisah sempurna, sedih pun juga saya alami. Buka puasa pertama saya mendapatkan capek karena susahnya mengatur anak kecil jika berebut makanan. Kedua saya mendapatkan kalimat ini, “Males ketemu sama kakak pembohong”. Yang buka bersama terakhir malah lebih menantang, “Jangan datang ke sini lagi. Selamanya!” (dengan nada lantang dan keras mirip orang mengejar maling).

Seutas Cerita Tentang Prostitusi
Konon prostitusi itu ada bersama lahirnya peradaban manusia. Saking tuanya, problem satu ini tidak pernah bisa dituntaskan dengan cara apapun. Walaupun dengan cara kekerasan atau perang. Semakin lama semakin mbulet. Mungkin harus menunggu kiamat. Termasuk tulisan saya ini. Hanya sebagian kecil uraian saya yang tidak akan mampu mewakili ironi dunia prostitusi yang sebenarnya.

Untuk urusan popularitas, Dolly jauh lebih masyhur daripada Toendjoengan, Tugu Pahlawan ataupun Kebun Binantang Surabaya yang sama-sama menjadi ikon kota Surabaya. Sebagai kawasan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara, Dolly memang benar-benar luas lho. Untuk mengetes kalimat tadi, bisa dicoba dengan mengintari areanya dengan jalan kaki. Berminat? Boleh dicoba. Siapkan balsam otot sebaskom.

Warga di sana membagi kawasan ini menjadi tiga blok : A,B dan C. Induk semang awal berdirinya label “Dolly” bermula di blok C. Sehingga secara kuantitas, jumlah kedai di sini paling banyak. Namun nyatanya hal itu berbanding terbalik dengan kualitas. Justru kawasan C paling murahan disusul B dan A sebagai primadona. Hal itu selaras dengan layanan dan tarif. Saya sendiri lebih suka menyebut, blok A itu artis Hollywood, blok B artis Indonesia dan blok C artis kampungan.

Dari masing-masing blok itu terdiri dari puluhan gang. Dari setiap gang, berjejer wisma-wisma mirip yang hamparan kepulauan Indonesia. Jumlah wisma tiap blok tidak merata. Misalkan untuk di blok tempat kita beraksi, rata-rata belasan sampai dua puluhan wisma bertengger. Dan masing-masing wisma menyediakan beberapa jenis “menu” siap pakai lengkap dengan tarifnya. Jumlah penjaja juga tidak menentu tiap wisma. Setidaknya sudah tidak terbayangkan berapa ribu orang yang terikat oleh bisnis esek-esek ini.

Mengapa bisa sebesar itu? Saat blusukan ke warga di sana, kami disuguhkan fakta bahwa justru para pendatanglah yang membuat kawasan ini berekspansi bebas. Tanpa adanya pengereman, warga asli Dolly dipaksa hidup pada berdampingan dengan dunia prostitusi yang mereka ciptakan. Termasuk anak-anak yang terpaksa mengenal dunia hitam sejak mereka menghirup udara dunia. Dihadapan kita inilah drama kehidupan anak-anak itu disajikan. Lengkap dengan pemain utama dan alurnya. Tanpa sutradara.

Kisah para pendatang tersebut bak TKI, dipuja sekaligus dicaci. Mereka “bekerja”  di kawasan ini, sama seperti pekerja atau pegawai lainnya. Namun tak akan ditemui kisah bahwa mereka memilih melacurkan diri. Keadaan memaksa mereka untuk survive atau mati. Banyak yang berusaha keluar dari lingkaran hitam, namun jeratan mucikari senantiasi membelenggunya. Sejatinya dunia kelam para PSK tidak cukup diceritakan lewat tulisan. Mengentaskan mereka jauh lebih berguna, menurut saya.

Masih saya ingat ketika berbincang dengan salah seorang PSK, “Anak saya tidak senakal dia lho mas (sambil menunjuk anak kecil di depan saya). Dia nurut sekali kalau diomongi sesuatu, nggak pernah membantah”. Ujarnya tentang anaknya yang tinggal bersama neneknya di desa. Mereka juga seorang perempuan yang juga seorang ibu dari anak-anaknya.

Atau ketika waktu berbuka bersama Ramadhan kemarin, ada seorang mucikari yang memberikan kita beberapa botol minuman dingin. Dengan senyuman khas mereka, diseduhkan satu persatu kedalam gelas kita. Antara rasa khawatir terhadap isi minuman itu, rasa haus, miris, terharu dan berharap. Bukankah di setiap insan senantiasa bersemayam nurani yang tak pernah tidur?

Selain Dolly, ada tempat bernama Jarak, Moroseneng dan Kremil di Surabaya yang juga tak jauh berbeda isinya. Senantiasa ada berita razia di sana  namun belum ada keseriusan Pemkot untuk menghapus total bisnis ini. Mengklaim tidak pernah mengakui “membuka” kawasan ini, namun nyatanya jutaan uang warga sini berputar menuju pendapatan kota. Dari uang pajak, retribusi wisma, uang karcis, dana pelicin sampai pungutan illegal. Tidak pernah pula ada wacana tegas untuk memberangus kawasan ini walaupun orang sedunia akhirat mengetahui adanya super borok di sini.

Jika Kramat Tunggak (kawasan Prostitusi terbesar di Jakarta) berani dibabat habis oleh  pemkot setempat. Dan tepat di atas tanah mesum tersebut didirikan Islamic Center Jakarta. Justru Islamic Center Surabaya berdiri megah tak jauh dari Dolly. Perpaduan ironis. Untungnya masih ada segelintir manusia yang rela membuka masjid atau pun sekedar Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA). Entah pertimbangan macam apa yang menjadi sandaran untuk mempertahankan dunia prostitusi semegah Dolly.

Dunia hitam tak sepenuhnya hitam pekat. Di Kremil, kawasan prostitusi yang pada tahun 80-an lebih besar daripada Dolly bisa diubah wajahnya. Menggunakan operasi face all tanpa permak palsu. Sedikit demi sedikit. Sejumput manusia menasbihkan hidupnya untuk mengubah area ini. Tinggal bersama mereka sambil memasukkan nilai kebajikan sejengkal demi sejengkal. Memahamkan seseorang tanpa mendoktrin. Mengeluarkan mereka dari lembah hitam dengan bekal agar mereka bisa berdiri

 Satu per satu wisma yang sedang “libur” diakuisi dijadikan tempat ibadah atau sekedar sarana mengaji. Diawali dengan angka satu wisma. Beberapa bulan kemudian, satu wisma lagi dan lagi. Hingga waktu 20 tahun lebih telah mampu merubah area ini. Digerogoti dari dalam. Tanpa mendoktrin. Menyentuh nurani mereka. Menyentak kesadaran manusiawi. Tanpa menelantarkan kembali. Jika anda sempat mampir ke sana, akan bisa ditemukan rumah penduduk atau pun masjid dengan desain ruangan karaoke.

Kisah nyata berbicara, terlalu banyak kepedulian merek “angin lalu” di kawasan ini. Mirip orang bersin, menggebu di awal dan tidak berbekas untuk selamanya. Sebut saja acara bakti sosial yang hobi dilaksanakan sehari atau dua hari. Pembagian sembako gratis. Pengobatan dan penyuluhan. Atau model buka bersama di bulan Ramadhan. Andaikan perut bisa merubah karakter manusia, pastilah cara ini manjur. Namun tak ada satu pun postulat para ilmuwan berkata demikian. Tukang sayur di pasar pun tahu walaupun dia senantiasa berjualan sayur setiap hari namun dia sadar bahwa sayur tak akan mengubah tabiatnya.

Suatu peradaban dibangun dari kumpulan satu demi satu mental manusia. Berjejer dan bersinergi membentuk masyarakat yang bisa dinilai baik buruknya. Pun begitu dengan pola kehidupan masyarakat, hanya bisa berubah dengan cara mengubah individunya. Dimulai dari hal mendasar. Yang tentunya untuk merubah peradaban dibutuhkan tenaga, perhatian dan waktu ekstra. Sulit tapi pasti bisa.

Tak dibutuhkan Superman untuk melakukan hal ini. Tidak pula Wonderwoman, Catwoman, Spiderman, Batman, Ironman, Upin Ipin apalagi Gundam sang Putra Petir. Setiap orang bisa melakukan. Setiap individu bisa berkontribusi. Bisa dimulai dari hal-hal kecil. Tidak perlu menuggu orang lain bertindak. Mulailah dari sekarang, begitu Aa Gym berpesan. Dan istiqomahlah.

Kartono, seorang mantan mucikari yang banting setir menjadi aktivis anti trafficking sering bertutur bahwa persoalan prostitusi itu kompleks. Tidak melulu soal PSK, mucikari, HIV/AIDS dan trafficking. Masih ada berjuta-juta gudang persoalan yang setiap orang pasti tidak bisa menutup mata dengan kerusakan ini. Dan kebobrokan massal ini merupakan tanggung jawab bersama bagi insan yang terbuka hatinya.

Tak harus menunggu menjadi orang besar untuk melakukannya. Untuk menjadi wali kota Surabaya sangat susah. Itu pun kalau berhasil. Lha yang sudah jadi wali kota saja terkadang lupa dengan borok kotanya sendiri. Untuk menjadi kaya raya, juga butuh waktu lama. Toh, masih banyak orang kaya yang pura-pura buta dengan tetangganya. Menunggu waktu luang? Hanya satu saran saya, luangkanlah waktumu. Jatah waktu sehari kita sama dengan Rasulullah, 24 jam sehari dan 7 hari sepekan.

Menunggu lulus? Justru ketika sudah sudah lulus kemungkinan waktu luang lebih terbatas. Menunggu kerja? Menunggu tua? Menunggu orang lain berbuat? Menunggu sampai lebih sangat amat super bobrok? Menunggu niat? Yang ini tidak ada obatnya.

Andai dunia ini berjalan ideal tentu persoalan Dolly bisa tuntas sampai pada akar-akarnya. Pejabat membuat peraturan pelarangan. Kelebihan duwit, bisa menjadi dermawan. Ustadz bisa mengajar ngaji dan meramaikan masjid. Aktivis LSM bisa melakukan penyuluhan dan keterampilan untuk para PSK, gigolo dan mucikari. Penjual bir bisa mengganti stok dagangannya. Loudry pakaian bisa menolak layanan untuk baju bisnis wisma dan karaoke. Dan mahasiswa….

“Tanpa adik-adik mahasiswa ini, pasti rencana kita tidak mungkin berhasil,” ungkap Kartono mengurai kondisi.

Kawans, kebobrokan tersebut nyata. Bukan rekayasa atau sinetron. Kesamaan nama dan tokoh juga merupakan realita yang tidak bisa dipungkiri. Itu hanya sekelumit tentang prostitusi. Belum lagi sisi kelam dunia sosial, pendidikan terlebih ekonomi. Akankah kita masih menutup mata hati dengan berdiam diri? Berbuatlah kebajikan sambil menunggu ajal tiba.

“Kami sadar tak selihai Michelangelo, namun kita mau berusaha mengukir batu cadas beraroma Dolly,” tekad kita sambil berpuisi ria

No comments:

Post a Comment