4 Sept 2010

Air Mata Laki-Laki



Salahkah jika seorang laki-laki menangis? Jika iya, adakah alasan logis yang bisa diterima semua orang? Jika tidak, mengapa semua perempuan membenci laki-laki yang menangis?
*****
Dia tidak menangis. Juga tidak sedang ingin menangis. Setidaknya, guratan wajah serta sorot matanya sudah cukup menjawab teka teki itu. Polah tingkahnya juga sangat lincah, dinamis. Tidak ada pula ada perubahan dengan logat bicaranya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang membendung air mata. Senyum simpulnya. Ceria bersama raut muka yang teduh.

“Terima kasih mas atas kedatangannya. Gimana kabar teman-teman? Naik apa ke sini?,” tanyanya singkat.

“Alhamdulillah, sehat selalu Don. Ini tadi rombongan naik sepeda motor, takut macet di Porong kalau bawa mobil. Kabar Ibu gimana?,” jawab Adam, pimpinan rombongan kami.


“Alhamdulillah Bang. Aduh merepotkan sekali. Ibu masih di kamar sama adik,” jawabnya. Bang Adam menghentikan pertanyaannya.

Aku sendiri tak begitu mengenal lebih dalam dengan pria di depan ku ini. Rekan sekantor, seruangan pula. Tapi karena dia baru masuk dua minggu yang lalu, praktis aku hanya mengenalnya lewat CV yang dua hari lalu tergeletak di atas meja kerjaku. Mereka memanggilnya Dony, padahal nama lengkapnya Ridhany Agilan. Pribadinya tegas juga humoris, itu kata teman-teman sejawatku yang lain. Entahlah, namun dari sorot matanya kurang lebih anggapan itu banyak benarnya.

Entah kenapa tiba-tiba suasana menjadi pilu. Setetes air mata meluncur dari ujung matanya. Tanpa diundang rasa syahdu memenuhi ruangan tamu itu. Bukan Dony. Justru rombongan di depanku terisak-isak tidak karuan. Tiga orang dari empat pria yang berdiri di lorong sana. Bingung antara mengelap air matanya dengan berusaha tegar sesama laki-laki.

“Ruli itu sensisitif sekali dengan berita kematian. Tapi justru teman di sampingnya malah ikut-ikutan terisak,” bisik Adam lagi menerawang kondisi.

Terdengar deru suara mobil mendesir. Dari suaranya, lebih dari dua kendaraan. Menepi mencari lahan parkir di halaman rumah seberang. Aneh. Ganjil. Semua orang yang keluar dari tiga mobil itu hanya laki-laki. Satu persatu menyalami Dony. Tak satu pun yang terlewat dengan senyuman simpulnya. Hingga dua orang terakhir yang dia rangkul. Buliran air di ujung matanya luluh. Laki-laki tegar ini menangis. Dia menangis kali pertama di depan orang lain. Namun dia menangis dengan tetap mempertahankan senyum simpulnya. Senyum tulus untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada semua orang.

Menyaksikan hal itu, kami di sini sedari tadi sudah menahan air bah dari kelopak mata. Sembari sekali-kali mengusap keringat. Aku sendiri sudah menyeka air mataku berkali-kali. Membayangkan kepedihannya saja sudah membuatku perasaanku teriris. Dia telah ditinggal pahlawan hidupnya. Laki-laki yang telah membesarkannya telah berpulang untuk selamanya. Di akhir hayatnya, sosok jagoannya itu menitip pesan, “Bapak nitip Ibu dan Adiknya ya Nak”.

Ada banyak hal mengapa laki-laki menangis. Aku sendiri tidak mampu mendefinisikan lazim atau tidak jika seorang laki-laki menangis. Terlebih di depan umum. Namun saat ini aku mengalaminya. Dan nyatanya dia justru mampu lebih tegar dari semua laki-laki dihadapanku. Laki-laki ini menangis demi perempuan. Salahkah dia?

*****

Perempuan itu tetap diam di tempat sedari tadi. Tangan kanannya tak lepas dari setir mobil. Raut mukanya sudah basah oleh air matanya. Dia hanya bisa menangis, bersedih dan menangis lagi. Bersama rombongan laki-laki tadi, dia memilih tidak keluar dari mobil. Dia lebih memilih menatapnya dari kaca hitam mobil bersama air mata dan senyum getir menatap senyum simpul itu.

#fiksimidi

No comments:

Post a Comment