13 Nov 2010

Nafsu dan Nurani


“Yakinlah, dalam diri manusia paling bejat sedunia, masih tersimpan nurani di hatinya”


Aku mengagumi teman satu ini. Suaranya dari jarak 313 kilometer dari arah barat daya kota Surabaya itu membuatku tersentak. Pikirannya sangat berbeda dengan aku. Tingkat cara berpikir positifnya terlampau tinggi. Bagi dia, semua orang di dunia ini adalah manusia yang baik. Sebejat apapun dia, pasti masih memiliki fitrah untuk berkelakuan baik. Bahkan bagi orang-orang yang telah membuatnya terluka, hal ini juga berlaku.

Bertolak belakang dengan diriku. Aku malah senantiasa berpikir bahwa sesempurna apapun manusia, dia pasti memiliki celah kekurangan dan kesalahan yang pernah atau sedang dia lakukan. Kalau dia selalu mencoba berpikir positif, aku justru menerapkan pola su’udzon pada semua orang. Tingkat kecurigaanku terhadap orang lain lebih tingi daripada kemampuan untuk mengaguminya.

Namun kita pun akhirnya menyadari bahwa pola berpikir kita masing-masing memiliki sisi boomerang. Tidak salah untuk berpikir positif terus dengan orang lain, namun akibatnya bisa fatal karena kalau tidak jeli, kita bisa menjadi korban tipu muslihat orang itu. Tapi kalau su’udzon terus dengan orang lain, dari hari ke hari tingkat Indeks Pikiran buruK (IPK) semakin meningkat. Bisa-bisa kita menjadi stress karena pikiran buruk itu sangat tidak baik bagi kesehatan mental. Orang gila juga karena pikiran jelek.


Nah, iseng-iseng dalam renungan berbuah tangisan (lebay). Aku mendapatkan sebuah parodi kenyataan yang sungguh paradoksal kisahnya. Pertama tentang ulasan super panjang dari Harian KOMPAS tentang erupsi gunung Merapi. Angle yang aku suka dari ulasan tersebut adalah, pemaknaan positif dari korban bahwa selain kehancuran yang ditimbulkan dari erupsi tersebut, ada kesejahteraan lain yang akan mereka terima. Mereka mengatakan bahwa kesuburan akan datang setelah ini. Bagi mereka Merapi adalah dunianya, apapun yang telah diperbuat Merapi kepadanya. Tidak selamanya musibah itu buruk.

Kedua adalah rencana pelepasan tokoh demokrasi asal Myanmar, Aung San Suu Kyi. Peraih nobel perdamaian ini sudah dipenjara tanpa melakukan kesalahan selama 20 tahun lebih! Aku berpikir, ini adalah keputusan hakim paling bodoh sedunia akhirat. Bayangkan saja, 20 tahun di rumah tanpa diijinkan melakukan aktifitas di luar rumah. Dan tahu apa yang membuat aku super jengkel? Adalah tokoh pemimpin junta militer yang memimpin kudeta tak bermoral 20 tahun silam. Karena ingin mendapatkan kekuasaan, dia menghalalkan segala cara termasuk menbungkam pers, membunuh rakyatnya, menjebloskan ke penjara tokoh-tokoh politik tanpa alasan, sampai memberondong biji peluru kepada biksu (tokoh spiritual yang dihormati) tanpa ampun.
Kekuasaan. Jabatan. Harta. Entah dimana naluri mereka? Dan yang fatal lagi, bentuk korporasi kejahatan ini dilakukan secara massal , terorganisasi dan terbuka. Artinya melibatkan banyak orang dan orang lain pun tahu kejahatan mereka. Ternyata ada juga manusia model seperti ini. Hampir tidak ada sisi baiknya sama sekali. Kok bisa ada makhluk tanpa nurani?

Terakhir, saya mencoba menganalogikan dengan kondisi kampus saya. Aksi jegal menjegal menjadi satu ini juga kerap terjadi di dunia para akademisi ini. Yang bagi saya adalah bentuk hal yang sangat memalukan! Kumpulan orang berpendidikan tapi kelakuannya tak ubahnya seperti preman pasar. Dan itu juga karena kekuasaan dan harta. Juga tentunya nafsu.

Lihatlah aksi pemilihan rektor (pilrek) tahun ini. Entah karena saya yang terlalu su’udzon atau karena apa, pilrek pun baunya seperti pilpres. Penuh dengan unsur politik. Dengan “kuping” informasi yang tertempel dimana-mana, kesimpulan saya ini murni subjektif. Dari kalahnya calon kuat dari kalangan civitas akademika ITS saat di level senat (kalah telak pula), dinonaktifkannya pak Nuh (Mendiknas) sebagai anggota senat beberapa pekan sebelum rapat senat penentuan calon rektor, gugatan PP Kemendiknas yang tidak menyetujui rektor dipilih Mendiknas beberapa hari sebelum Mendiknas memilih rektor ITS, aksi sumpal menyumpal media, black campaign sampai isu lobi-lobi duwit membuat saya gerah dengan namanya institusi pendidikan.

Juga saksikan aksi Dies Emas ITS. Bagi saya inti tujuan Dies tahun spesial ini tidak ada yang beres. Cenderung menghambur-hamburkan uang dan terlalu banyak acara hiburan serta selebrasi berlebih. Tapi usaha untuk memaknai usia emas ini minim sekali. Sampai kasus sponsor rokok yang bisa lolos nampang bersanding dengan ITS, ini merupakan tindakan fatal yang kebablasan. Jelas-jelas mahasiswa sudah diwanti-wanti sampai dibungkam dalam urusan sponsor barang haram ini, eh malah dengan terang-terangan panitia Dies memberikan contoh buruk ini. Sampai-sampai umbul-umbul logo rokok yang bersanding dengan logo ITS, menyebar seantero Surabaya. Memalukan! Muak!

Acara ITS Innovation Expo (IIE) yang digelar di convention Hall Tunjungan Plaza tak kalah ironis. Menjadi ajang paling ngepleh yang pernah ada di ITS (versi saya dengan beberapa teman). Mosok acara teknologi ITS yang ngadain malah anak Unair? Penghinaan! Sudah begitu, logo rokok lebih banyak mendominasi daripada logo ITS sendiri. Apalagi saat menyaksikan brosurnya, dipajang besar-besaran gambar Mobil Sapu Angin 2. Eh kenyataannya, yang ada malah prototype seukuran toples biskuit. Sudah begitu, banyak jurusan yang setengah hati sampai walk out dari ajang pamer-pamer ini gara-gara EOnya yang tidak beres. Anak BEM yang sudah bengok-bengok pun sampai kehabisan suara karena tidak diperhatikan. Biarlah dirimu menggonggong, acara harus berjalan.

Bagi kami yang berstatus mahasiswa, aksi kotor itu sungguh kebablasan. Maklum, mahasiswa biasanya memiliki idealism kelas kakap. Walaupun kenyataannya para pelaku yang mereka tuntut juga merupakan mantan aktivis mahasiswa. Idealisme mahasiswa pasti akan luntur kalau sudah ditaruh dalam dunia masyarakat yang sebenarnya. Mereka pernah menjadi mahasiswa, namun mahasiswa belum pernah menjadi mereka. Alasan sederhana mengapa praktek kotor itu terjadi.

Belajar dari tiga kisah di atas. Saya semakin sadar. Intinya, dunia ini tidak selamanya indah. Tidak pula buruk rupa terus. Idealisme juga tidak senantiasa bisa berdiri tegak. Manusia tidak ada yang sempurna. Yang bisa kita usahakan adalah menebar kebaikan dengan tidak menyesal di lahirkan di negara Indonesia! Kota Atlantis yang hilang dengan segala sumber daya memukau dan ironi warganya…..

13 November 2010

No comments:

Post a Comment