2 Nov 2010

Tiga Hari Mencari Kesabaran



Malam itu, saya tidak bermimpi bertemu dengan Nyi Blorong di kediamannya Pantai Selatan. Juga tidak berharap bertemu Grandong  saat tengah malam setelahnya. Apalagi berkeinginan untuk menjamu Mak Lampir. Namun semuanya terlihat aneh. Entah mengapa. Tiga jam sebelumnya, saya juga tidak makan petai sama sekali. Tidak ada yang ganjil dengan pribadi saya. Juga dengan teman-teman saya. Justru saya bersama dengan dua ustadz muda. Yang kalem-kalem dan tidak banyak tingkah, tidak seperti saya. Tapi tiga hari itu adalah momen mistis. Absurd.
******
Ting….Tung….
“Kereta Kertajaya segera berangkat,” suara dari pengeras suara seberang sana.
“Itu masih lima menit lagi Mas,” ujar petugas parkir di samping saya.
“Apa?,” sontak saya kaget bukan kepalang.

Kaki saya berhamburan(sejak kapan kaki bisa berhamburan?). Palang parkir dan selokan dengan sopan saya terobos walaupun ada pintu keluar untuk orang-orang normal. Lima menit itu kritis. Saya masih di luar peron. Tidak membawa tiket kereta pula. Dan saya juga tidak tahu dimana keberadaan dua teman saya. Namun pikiran saya masih bisa diajak kompromi. Bingung namun tidak sampai kalut.

Bingung dimana letak Peron. Bagaimana masuk kereta. Dan perlengkapan apa saja yang harus saya serahkan kepada petugas agar jangan sampai saya dikeluarkan di tengah perjalanan. Saya bingung karena saya sangat langka bepergian naik kareta. Terakhir saya naik kereta adalah sebelum saya bersekolah, mungkin usia 4 tahun kala itu. Praktis saya sangat buta dengan saran transportasi jenis ini.

Kebegokan saya pun terbukti. Lima menit tersebut saya menjadi kecebong dalam tempurung. Saat saya bergegas memburu kereta, saya justru salah masuk pintu pemesanan tiket bukan ke pemberangkatan kereta. Lima menit menjadi lebih kritis. Saya berlarian bak sprinter kondang. Tepat di depan jalur masuk peron. Saya masih bingung untuk menghubungi teman saya yang membawa tiket kami bertiga. Sinyal selulerku justru tidak bersahabat. Saya telepon berkali-kali dan berteriak berkali-kali pula, suara teman saya tetap terdengar seperti gemerisik pasar sore.

Justru saat itu momen itu menjadi starting point saya menjadi pasrah. Istilah bang ustdaz adalah tawakal. “Wes pasrah wae”. Saya tidak membayangkan bagaimana rupa kereta yang akan saya naiki. Tidak pula bagaimana ekspresi teman-teman saya. Ah, mungkin mereka berdua justru bahagia tanpa diriku. Iyo to?

Namun akhirnya saya bisa masuk ke dalam peron dengan seizing petugas kereta. Dengan pasang muka tegang ditaburi melas, saya berlari-lari kecil (sa’i) menuju kereta bernama Kertajaya. Mencari gerbong 17 sesuai suara teman saya yang terdengar seperti di seberang pulau. Ternyata itu adalah gerbong terdepan ke-dua. Padahal saya berada di gerbong hampir belakang. Dan tiba-tiba, eh….keretanya sudah bergerak. Saya terbirit-birit beradu kecepatan dengan ular besi ini. Hufthh…

Saya tetap berlari. Kereta bertambah cepat. Semakin cepat. Dan lebih cepat. Woiiii….saya kok malah balap karung. Dalam lari-lari kecil yang semakin cepat itu saya justru teringat film Kuch Kuch Hota Hai. Yaitu saat adegan mengaharu biru dengan mata syahdu, Sakh Rukh Khan mengejar Angelina Jolie di kereta. Lho? Sejak kapan Angelina Jolie pindah ke Bollywood. Ketika saya tersadar kok masih sempat-sempatnya mengingat adegan film di pinggir kereta. Efek pikiran frustasi dan pasrah mungkin.

Dan sesaat itu pula, tubuh saya langsung saya lempar masuk ke salah satu pintu gerbong. Dimana gerbong itu sudah nampak seperti pasar sore, bukan model kereta api lagi. Penuh sesak dengan manusia, barang, kebisingan, bau keringat, bau badan, bau kaki, bau ketek, sampai bau ayam goreeeennggg (sindrom Upin Ipin). Pikir saya kala itu, ini kereta manusia apa kandang kebo yo?

Mboh lah, apa julukan yang paling keren untuk model kendaraan ini. Yang paling penting saya harus menuju gerbong 17 yang masih ada jauuuhhh di depan sana. Siap berjuang melawan segala halangan dan rintangan di depan mata. Ratusan mungkin ribuan orang turut menyumbang dalam menumbuhkembangkan kesumpekan kerata ini. Bayangkan saja, di setiap jengkal kaki melangkah, tidak ada satu pun jalan yang tidak ada manusianya. Dari orang berdiri, duduk di bawah kursi, tidur-tiduran, tidur beneran, makan, sampai ada pula yang membawa bayi.

Mereka pun nampak seperti halangan dan rintangan nomer wahid bagi saya. Kaki saya melangkah cepat menyerobot setiap insan di depan tubuh saya. Ya Allah, seumur-umur saya tidak pernah melangkahi orang yang lebih tua. Tapi hari ini saya melakukannya. Tidak hanya sekali, berkali-kali sampai amnesia dengan angka. Muka ku jadi beton anti peluru, nggak duwe isin blas. Dalam kondisi seperti itu otak saya berlogika bahwa tujuan utama adalah mendapatkan tiket di gerbong depan sana atau di keluarkan ke stasiun terdekat atau dilempar di tengah jalan oleh petugas pemeriksa tiket. Apes.

Mungkin lima gerbong yang saya terobos tanpa ampun. Dan akhirnya saya menemukan dua teman saya. Fhuiihh, sesaat saya seperti Achimedes ketika menemukan hukum atas namanya, EUREKA! Tapiiii….melihat ekspresi dua makhluk hidup di depan saya ini. Kesenangan saya ndlosor dan nyungsep langsung ke kolong kursi. Perjuangan baru dimulai guys….

(to be continued……lanjut gan, hari pertama mencari kesabaran : Indonesia tanpa telat)

2 comments:

rio said...

gak ada kelanjutanya...
pengen trtawa lg ini Hud..

hudahoe said...

hahaha
ngguyuo dewe le

ak akeh sing lali nama tempatnya. Cb km yg nulis, nti ak yg ngomentari :P

Post a Comment