12 Jan 2011

Kawan, Ai Lup Yu Pul



Inilah pertanyaan bodohku : Apalah arti pengorbanan bagi manusia? Untuk apa pula mengasihi sesama? Toh, tidak ada satupun pengorbanan yang ikhlas karena ingin melakukan esensi tindakan itu sendiri. Ibadah pun masih ada iming-iming surga. Sederhananya, menjaga kebaikan dalam kesendirian adalah buktinya. Sering aku pun berlaku sama. Menghendaki sesuatu dalam setiap tindakan. Berharap ada hal di masa depan yang bakal aku peroleh. Dunia. Juga akhirat.

Tapi aku bangga dengan mu, kawan. Kalian hebat! Sedikit berbicara, sarat tindakan. Kalian adalah inspirasi. Yang dengan sabar dan teliti meniti noktah demi noktah kebaikan. Walaupun orang di luar sana acuh tak acuh denganmu. Bahkan mungkin teman dekatmu sendiri pun tidak memberikan respek  dengan kelakuanmu yang satu ini. Kalian justru cuek dengan mereka. Pertanyaan bodoh (lagi) : kok ada manusia model kalian?

Ini pula yang membuat aku sering bertanya, apa motif kalian? Semakin aku mencoba aku mencari alasan itu, semakin dalam pula aku terjerumus pada tindakan bodoh. Lama memikirkan, jauh pula keberadaan jawaban itu. Akhirnya aku pasrahkan jawaban itu ke udara. Membiarkannya abadi bersama kebaikan itu. Hingga akhirnya bisa bergema dalam keabadian hidup. Membiarkan kebijaksanaan yang berbicara.


Apresiasiku mengalir deras untuk kamu, Kawan. Rasa syukur itu tak cukup diuntai dengan nominal. Walaupun secara sadar, apresiasiku juga sama dengan ruang hampa udara. Juga rasa banggaku. Kering tidak berarti. Mungkin jika aku adalah orang yang sedang kasmaran, aku hanya ingin bilang “Aku mencintai mu, kawan”. Ai Lup Yu Pul.
******
Dolly. Ya, semua bermula dari gang becek ini. Jorok pula.

Ingat kawan, ahad kemarin Surabaya basah kuyup. Temperatur udara merangkak jongkok. Menjadikan wajah kota ini begitu sayu. Muram tak bergairah. Namun (lagi-lagi) mengapa kalian justru bertindak sebaliknya? Melemparkan tubuh menuju gang Jorok itu. Melawan cuaca dengan semangat menggebu. Sederas hujan kala itu. Yang justru membuatmu kedinginan. Kehujanan. Basah kuyup pula. Tanpa  seorang pun yang peduli dengan kondisi kalian. Tanpa apresiasi.

Pun begitu ketika kaki kalian melangkah setelah setengah jam perjalanan heroik itu. Dari guratan wajah, pasti kalian kecapekan. Namun sesampainya di ruangan 3 x 3 meter, di hadapan malaikat-malaikat kecil yang memanggilmu “Kakak” itu, raut mukamu berubah menjadi senyuman. Mulai saat itu pula, nalurimu seperti berubah menjadi malaikat. Berbuat tanpa mengharap imbalan.

Secara sadar penuh, anak kecil di hadapanmu tidak memiliki hubungan darah denganmu. Namun  kalian memperlakukan mereka seperti adik atau (malah) seperti anak kandung. Mengajari mereka mengeja huruf demi huruf. Mengurai angka menjadi barisan matematik. Melarang tegas untuk tidak mengumpat, hal yang menjadi adat kebiasaan. Bercerita lucu saat mereka jenuh. Atau sekedar melerai saat mereka adu otot untuk hal sepele.

Juga ketika waktun adzan sholat ashar dimulai. Dengan sabar kalian menuntun mereka menuju masjid. Mengajari bagaimana cara berwudlu itu. Walaupun mereka lebih suka bermain air daripada berwudlu. Juga meniti setiap gerakan sholat mereka. Atau hanya sekedar membantu membenarkan letak peci. Kalian tetap tersenyum walaupun basah kuyup karena hujan deras mengguyur lagi.

Huruf semi huruf hijayah kalian eja untuk mereka. Dari Alif sampai Ya’. Dengan metode lari-larian, mirip polisi mengejar maling. Toh, akhirnya kalian mampu menjinakkan mereka untuk belajar huruf Al Qur’an. Dan ketika menjelang pulang, kalian makin tersenyum bangga ketika satu per satu malaikat kecil itu mencium tanganmu untuk berpamitan.

Kalian pulang dengan rasa capek. Rasa lelah. Dan setumpuk tugas dan aktivitas kampus yang siap menanti ditaklukkan. Namun anehnya, minggu depan kalian tetap datang ke sini. Tanpa gaji. Tanpa kompensasi. Merugi materi, waktu dan materi. Tanpa apresiasi. Kalian mengabaikan itu semua. Entah demi apa.
*****
Hingga setahun lebih sejak kali pertama kalian menginjakkan kaki di sini, aku percaya pada hukum histerisis dunia. Bahwa semua hal yang kita lakukan memiliki cermin di masa depan yang akan kembali lagi kepada kita. Percayalah.

Aku bangga dengan kalian, kawan!

# Hal yang paling saya takutkan adalah ketika si pembaca langsung muntah-muntah begitu melafalkan kalimat “Ai Lup Yu Pul”, hahaha

No comments:

Post a Comment