1 Jan 2011

Nikah Atau Kerja Dahulu?



Ini adalah hasil perbincangan kita berempat bersama Pak Triyogi. Kita sendiri didefinisikan sebagai Mirza, Yudis, Huda, Elis dan Nurul. Sambil bengong dan melongo menunggu tanda tangan datang, kita bercengkerama dengan pak Yogi tentang esensi pernikahan. Tanpa aba-aba, tiba-tiba pak Yogi menyinggung suatu pertanyaan “Nikah atau kerja dulu?”

Pemeran utama :
Pak Yogi (PY) ; Yudis (Y) ; Mirza (M) ; Elis (E) ; Nurul (N)
Sutradara : Huda (H), hahaha
ACTION!

Y : “Kalau laki-laki ya kerja dulu Pak”

P : “Lha emang kenapa dengan laki-laki?”

Y : “Kan kita laki-laki Pak, nanti istrinya mau dikasih makan apa?”

PY : “Nah selama ini itu adalah sebuah persepsi yang salah. Karena itu artinya, kamu menyalahi apa yang dititahkan oleh Allah”

Lho kok bisa, mengapa? Dalam anjaran dan anjuran islam yang ada itu adalah “menikahlah, maka rejeki akan terbuka luas” bukan “cari rejeki dulu baru menikah”.
Setelah saya search, mungkin yang dimaksud dengan pak Yogi adalah ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32)

Nah, kalau seperti itu apa ini salah satu tanda kita tidak percaya dengan firman Allah? Kalau berani jujur, sebenarnya ketakutan tentang rejeki menikah sebelum lulus itu adalah ketakutan pribadi akibat kekhawatiran berlebihan terhadap hal-hal duniawi.

Kemudia Pak Yogi menuturkan sebuah kisah tentang dua orang saudara yang kedua-duanya adalah kyai. Kyai A memiliki sejumlah santri dan harta yang melipah (kaya raya). Sedangkan kyai B adalah seorang kyai yang mlarat (miskin). Ketika salah seorang santri Kyai A mau mudik ke kampung halaman (rumahnya dekat dengan rumah Kyai B), Kyai A tak lupa menitipkan salam kepada muridnya untuk disampaikan kepada sobatnya.

Tidak hanya salam, tapi juga menitipkan pesan berbunyi “ojo kedonyan”. Si santri pun terheran-heran karena yang menitipi salam justru jauh lebih kaya dari pada Kyai yang akan mendapatkan salam tersebut. Namun karena ini amanah, santri ini pun menyampaikan salamnya kepada kyai B. Ternyata justru kyai B menangis tersedu-sedu. Lha kok bisa?

“Kyai A benar,” ujar Kyai B. Santri itu pun semakin melongo kebingungan.  Kyai B pun menceritakan kisah hidupnya. Selama ini, pekerjaannya adalah sebagai pemancing ikan. Setiap hari dia memancing dan memakan setiap hasil ikan yang dia dapatkan. Hanya saja, setiap hari itu pula dia selalu bertanya, “apakah besok saya akan mendapatkan ikan lagi?”. Dia senantiasa khawatir terhadap hari esok. Khawatir berlebihan.

Sedangkan kyai A senantiasa ikhlas dengan semua hal yang didapatkan hari ini. Semua yang terjadi di masa depan sepenuhnya diserahkan kepada Sang Pemberi Rejeki. Tentu disertai dengan ikhtiar yang maksimal. Dia tidak pernah mengkhawatirkan atau waswas terhadap hari esok. Karena dia yakin, rejeki setiap makhluk-Nya sudah diatur dengan baik. 

PY : “Maka jangan berspekulasi kalau menikah dulu baru bekerja, bakal tidak dapat rejeki. Kalau kita berpikir seperti itu, itu artinya kita tidak percaya dengan kuasa-Nya”

All : (melongo)

Y : “Tapi kita menikah kan bukan dengan perempuannya saja Pak, bekerja itu sebagai ‘jaminan’ buat orang tua perempuannya bahwa kita bisa ngramut anaknya”

PY : “Nah, itu beda niatnya. Kalau orang memutuskan menikah dulu baru bekerja, sebaliknya atau bersamaan itu punya tujuan masing-masing. Kalau memutuskan untuk bekerja dahulu demi membahagiakan orang tua, itu bagus sekali. Hanya saja jangan sampai kita tidak berani menikah karena takut tidak dapat rejeki. Itu anggapan yang salah.”

All : (melongo lagi)

PY : “Justru kalau orang menikah dahulu sebelum lulus kuliah, banyak orang sukses dengan jalan ini. Lihat saja Pak Nuh dan (menyebut satu nama lagi tapi saya lupa). Nyatanya mereka bisa sukses dan istri mereka juga bisa makan dan hidup sampai saat ini. Ini jauh berbeda dengan kita yang bekerja dahulu baru menikah, hehehe”

All : (nyengir)

PY : “Kalau memang sudah tidak kuat lagi untuk menikah atau takut timbul perzinaan, lebih baik segera menikah. Jangan takut masalah rejeki, karena semua sudah ada yang mengaturnya”

E : “Wes, sesuk ndang nikah”

All : (ngakak)

PY : “Lihatlah berapa banyak mahasiswa ITS yang melakukan perzinaan? Sering SKK memberikan laporan tentang aktivitas ini. Lihat di belakangnya stadion atau di  lantai 4 bangunan ITS. Jangan sampai kalian berhubungan intim sebelum menikah!”

M : (ngakak dewe)

All : (bingung lihat ekspresi M)

PY : “Ada kisah menarik anak Mesin yang menunggu kerja dahulu sebelum menikah”

Anak ini sebut saja namanya Bagus, Kahima Mesin periode tertentu. Dia sudah berpacaran dengan Bunga lama sekali (bertahun-tahun). Takut terjadi hal-hal yang (tidak/iya) diinginkan, Bagus berminat untuk menikahi Bunga sebelum lulus. Trah keluarga besarnya Bunga itu semuanya dokter mulai dari orang tua, paman, sepupu, dll. Ternyata mereka (keluarga besar Bunga) menolak lamaran Bagus dengan satu alasan dia belum bekerja. Apa jaminannya bahwa Bunga hidup dengannya?

Logis, pikirnya. Akhirnya dia memutuskan menunggu lulus kuliah. Pasca lulus dia pun bekerja dan diterima di perusahaan ASTRA. Dan dia kembali kepada keluarga besar pacarnya. Karena merasa persyaratannya sudah dipenuhi, maka dia pun datang dengan pede. Apa jawaban keluarganya Bunga? 

Menolak dengan alasan Bagus bukan dokter. Lha? Dia sudah terlanjur lulus dengan predikat insinyur guys!

PY : “Makanya orang bekerja pun bukan menjadi jaminan untuk bisa menikah. Akhirnya anak ini saya suruh untuk mencari yang lain, hehe”

Pikir H dalam hati: “Coba disegerakan di awal, pasti ceritanya bakal berbeda”

PY : “Makanya kalau kalian sudah tidak kuat (kebelet), mending segera menikah saja. Jangan menunggu bekerja dahulu, karena bukan jaminan untuk menikah. Iya kan?” (sambil menatap tajam ke arah Y, hahaha)

How about you?

#maaf jika ada salah tulis, semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment