27 Dec 2012

Obsesi Kompulsif 20 Menit




Saya itu, sering kali melakukan kejutan aktivitas tanpa memikirkan terlebih dahulu. Ini bukan berarti gak mikir blas ya. Terkadang saya merasa seperti orang sinting, kadang lainnya, saya merasa hal ini sangat perlu. Pelajarannya adalah, dalam melangkah ke depan, pertimbangan itu penting, namun terlampau banyak pertimbangan apalagi khawatir dengan resiko, itu berbahaya.

Dan hari itu adalah hari ketidakwarasan saya. Dimulai dari malam hari. Saat ada orang stess yang ingin berduet dengan saya untuk menjadi parner in crime. Ngapain? Jalan-jalan untuk membunuh stress. Kapan? Besok, sebelum stres yang membunuh dia. Dimana? Gak tahu, bisa dipikir sambil jalan.

"Coba ke Maduraaa," teriak saya girang.

"Boleh. Ayok ke sana. Tapi kemana?"

"Loe tanya gue, terus gue tanya siape?"

Rencana ke Madura pun batal. Dan wangsit google sangat berguna di sini. Seluruh tempat wisata di bawah kolong langit ini bisa dicari dengan google men :)

"Ayok Bawean!" ajak saya mulai gila.

"Nyeberang laut? Aku gak beranii. Nyeberang sungai Musi yang sejengkal saja gak berani"

"Yauda, kita bawa pelampung saja. Kita bawa pelampung bebek,hahaha"

"Boleh. Aku ada satu punya keponakanku"

"Okeehh..aku juga punya pelampung bebek kuning punya adikku"

Nasib orang tidak bisa renang. Semua menjadi ketakutan jika harus di atas air lebih dari 1,5 meter. Mungkin ada benarnya juga perkataan salah satu peserta interview ITS Online yang bercerita bahwa ITS harus punya kolam renang. Alasannya, sebagai negara bahari, skill berenang sangat dibutuhkan. Sangat logis dan kini saya merasakannya lagi.

Tapi, setelah digoogling, ternyata panjang dari pelabuhan gresik ke Bawean memakan jarak hampir 10 kali lipat daripada panjang jembatan suramadu. Nyali pun kandas sebelum berperang. Dan, rencana kembali gagal.

Aneka solusi destinasi diperdebatkan bak politikus ulung. Hingga jam 10 lebih, hasilnya nihil dan terpaksa saya harus googling terus. Hingga pagi menjelang, saya cuman kepikiran untuk ke Trawas. Usulnya sih ke Pacet, tapi karena Pacet lebih jauh daripada Trawas sementara isi wisatanya sama, ya sudah ke Trawas saja.

Hari berganti, dan pagi menjelang, kami sudah harus berjibaku mencari alamat di Brebek, Waru, Sidoarjo demi mengurusi buku. Setelah bercincong ria selama hampir 3 jam, akhirnya bisa juga kami kabur dari percetakan itu. Mendung sudah bergelayut manja di angkasa. Awan hitam menuju kota Surabaya. Dan, kami pun nekad tetap ke Trawas.

Beragam tantangan berhasil kami lewati. Menaiki gunung, lewati lembah, bahkan sampai sungai mengalir indah ke samudera pun harus kita nyanyikan! #ngoook

Lalu, mulailah saya kelayapan menyusuri sejengkal demi sejengkal aspal hitam. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana menuju Trawas? Modal dengkul plus nekad ditambah modal mulut dan SMS. Dari arah menuju mojokerto sebelum masuk, kita berbelok ke kiri menuju Mojosari sampai ujung belok kanan sedikit sampailah di jalan raya Trawas. Horree!

Pertanyaan kembali mencuat: mau kemana kita? Tanpa jawaban. Justru tujuan akhirnya kita tidak tahu. Namun dari rekomendasi teman, ada air terjun Ubalan di Trawas. Oke meluncurlah kami ke sana bersanding dengan awan gelap yang semakin dingin ditambah rintikan hujan. Naik turun lembah-bukit kami lalui dengan cemerlang dan gemilang (kok cemerlang??).


Menemukan Kembaran Diri!
Hingga sampai diujung pertigaan, ternyata kita sudah sampai Pacet men! Niat awal gak ke Pacet, eh ujung-ujungnya kita harus ke Pacet. Satu kilometer sebelum sampai di TKP, kita sholat ashar. Di masjid yang samping ada penjual bakwan, kami memarkir kuda besi.

Tepat sebelum sholat, saya bertemu dengan tiga adik kecil yang sedang istirahat. Adiknya unyu-unyu banged beudh. Yah, gak beda jauh sama guehh *ditabok asbak

"Mas, daleme pundi?," tanya dia.

"Suroboyo dik, ono opo?"

"Gak popo mas. Sampean mirip karo konco kulo"

"Hah?" (dalam hati, senengnya bisa nemu kembaran anak kecil umur 8 tahun. Pasti unyu)

"Koncone sampean daleme pundi, dik?," tanyaku

"Cedek kene Mas,"

"Ohh..Emange bocahe kelas piro?"

"Bocahe wes mboten sekolah, koncoku wes rabi"

Dan dunia mendadak menjadi gelap gulita! Ekspektasi saya terlampau tinggi untuk membayangkan kembaran yang unyu-unyu, tapi kenyataan menjatuhkan muka saya ke jurang. Begitu hal ini saya ceritakan ke Emak, dia hanya ketawa ngakaks berkali-kali. Jambreettt!


Tertipu dan Mau-maunya Ditipu
Kembali ke jalan yang lurus. Kami akhirnya harus bertanya-tanya dimana letak Air Terjun Ubalan. Ternyata, ternyata, dan ternyata, kami adalah seperti domba dungu yang mau saja dikibulin orang. Sampai di plan bertuliskan "Ubalan" yang ternyata bukan air terjun! Maiyaks jaya! Tante uti Aisya ternyata terindikasi sengaja menyesatkan kita!

Namun, ternyata di depan kita ada dua spot air terjun! Tak salah juga kalau kita nekad ke sini demi aliran air yang ditakdirkan menggelantung di atas tebing.


Tralalaa...

Sampailah kami diujug penantian panjang kami. Di ujung jalan, akhirnya ada daerah wisata bernama "Padusan" yang berarti "tempat mandi", tempat yang tidak asing bagi saya karena ternyata saya pernah ke sini dua kali sebelumnya.

Jam sudah beranjak menuju angka 5 lebih dan hari mulai kelabu. Kami menaiki setapak demi setapak jalan menuju ke destinasi. Suasana gelap di sini sungguh cukup menakutkan. Tak satu pun orang kita temui di sepanjang jalan menuju air terjung. Hanya beberapa orang ngendon di warung, selebihnya hanya lebatnya rumput dan pepohonan menjulang tinggi yang menemani kita. Sesekali ada suara serangga menggerutu menyambut malam. Dan tentu suara perut saya yang sudah kerucukan, haha..

Perut saya melilit, sementara si Emak seperti uda kerasukan jin kesenangan. Dengan langkah gontai, saya merayapi setapak demi setapak jalan yang makin meninggi di tepi tebing jurang. Cahaya sudah turut merayap menuju kegelapan. Warna hijau daun pun semerbak menjadi abu-abu. Dan, semua berubah ketika suara gemericik air memanggil kita.




Lagi-lagi, emak seperti kerasukan. Dia berlari ke sana kemari menikmati gemericik air. Wajahnya teramat sangat sumringah, yang menurut saya teramat sangat berlebihan. Lha, air terjun yang berhasil kita temukan hanyalah air terjun mini. Terlalu pendek, debit airnya pun sedikit dan bebatuan dibawahnya pun sangat minim. Tapi ya namanya orang lagi kerasukan, emak berlari-lari seperti anak kecil dan saya hanya duduk termenung sambil minum susu kotak dan fullo, haha. Ini kelihatan banget siapa yang aslinya mirip anak kecil, hehe.

20 menit berlalu. Selepas berpotret-potret ria, bergaya-gaya alay, cuci muka, cuci kaki, cuci mulut sampai mencoba merasakan rasa airnya, kami harus bergegas balik ke tempat tujuan. Hari makin gelap ketika perut saya sudah konser ria. Dan tahu sendirilah, Emak pada siang hari bisa berfotosintesis, jadi perutnya gak bakal kelaparan jam segini. Akhirnya, kita putuskan "hanya" makan gorengan. Saya makan 4 gorengan karena rasanya sangat amat enak. Bahkan, hanya di sini saya bisa menemukan gorengan terenak sepanjang hidup saya. Hal ini diamini oleh emak, amiiin :)

Selepas sholat maghrib-isya, kami meluncur ke kota Buaya. Jalanan sudah gelap gulita. Tepi kanan kiri jurang nampak seperti gua raksasa yang mengaga diam. Ternyata, jalan pulang lebih cepat dari perkiraan. Kami sempat makan bakso dan ngopi di Mojosari. Jam setengah 9 saya sudah nyampai kos, sementara Emak masih harus melanjutkan perjalanan ke Barat mencari kitab suci *lho


Niatnya besok pagi setengah 6, saya mau ke air terjun Madakaripura, Probolinggo. Tapi ternyata teman saya sakit parah dari kemarin. Sampai sekarang, rencana itu telah mengerat menjadi ilusi *apasih


*) sebuah tulisan super-basi

No comments:

Post a Comment