21 Jan 2013

Behind The Djoeang (1)

Perhatian Sebelum Membaca!
1. Awas, Bacaan 17+! Jjika anda belum cukup umur dipastikan anda akan mengantuk atau sakit perut.
2. Tokoh di dalam sini tidak fiktif, jika ada kesamaan nama dan kejadian, itu adalah kesengajaan mutlak!
3. Baca aturan pakai, jika sakit berlanjut, hubungi orang pintar terdekat :)


Inilah sebuah kisah atas di bawah atap pembuatan buku di atas, pastikan barang bawaan anda tidak tertukar. Selamat membaca dan tertawa :)

One upon a time, pasca kelahiran “25 Mahasiswa Inspriatif ITS”, selang tiga bulan kemudian dibentuklah tim buku baru. Saya tidak tahu pasti kapan tim ini bentuk, jadi kita tidak pernah merayakan hari jadian kita *apasih. Saat itu tim kita cuman dua orang: saya dan Pak Menteri HubHubYeah. 

Titah dari tetua kita menyarankan agar setiap angkata ITS Online bisa melahirkan 1 buku. Namun, entah kutukan darimana angkatan saya justru tinggal dua orang saja. Bahkan tak sampai sebulan setelah pembentukan tim, Pak Menteri lebih memilih PIL-nya di Himpunan daripada saya *cedih nich.

Tidak mau patah hati berlama-lama, saya pun meminang tujuh orang langsung untuk menemani kesendirian saya. Mereka yang tidak beruntung itu adalah Elita, Ukhti Aisya, Emak, Ngek, Erik, GooDad, dan Thong2. Hari pertama, mereka saya tembak satu-satu. Dan, Erik langsung menolak lamaran saya *cedih nich jilid 2.

Tim sudah terbentuk, pertanyaan mendasarnya adalah: kami tidak tahu mau menulis buku apa. Kita seperti kerbau dungu yang disuruh lari di tengah hamparan dedauan kering yang terkoyak *apalagiini. Diskusi demi diskusi dengan Abah Bahtiar mengerucutkan pilihan hingga berujung: menulis buku sejarah ITS dari awal pendirian!

Mengapa buku sejarah? Alasan mendasarnya adalah karena buku ini belum pernah ada di ITS. Kedua, karena sebagai wahana pencerahan untuk seluruh sivitas ITS agar tidak amnesia dengan sejarahnya sendiri. Terakhir, ingin mempersembahkan sebuah karya untuk almamater *muluk banged.

Nafas Pertama seperti Mendengus
Rapat akbar pertama pun digelar dengan BOMBastis! Guyonan demi guyonan mengalir deras bak beruang buas yang sedang kelaparan. Namun, ide mengalir seperti lingkaran setan, berputar-putar terus tanpa jawaban dan justru malah menambah tanda tanya. Hal yang paling saya ingat dari kencan pertama ini adalah betapa semangatnya Thong2 menganugerahkan gelar Miss Melas 2011 pada Ima *ngakakss.

Dan gelar Miss Melas 2012 berhasil Ima pertahankan dengan runner up-nya adalah saudara kembarnya, Miss Ngek. Dan, siapakah Miss Melas 2013? Akankah Ima mempertahankan gelarnya? Eits...kok malah bahas melasisasi sih? Ayo kembali ke jalan yang lurus.

Nafas awal kita adalah mendengus seluruh informasi tentang sejarah 50 tahun silam, saat kita bahkan orang tua kita belum dilahirkan. Ibarat kucing yang kelaparan, insting dan penginderaan kami harus mendengus bau ikan pindang setengah matang di planet Mars sekalipun *lebay. 

Cerita yang sebenarnya adalah kita menyebarkan diri ke seluruh dosen sangat amat tua yang ada di ITS. Karena variable “sangat amat”, beberapa yang kami cari justru sudah pensiun bahkan ada yang sudah almarhum(ah). Untuk yang terakhir itu, terkadang kami harus membiasakan untuk ngrasani orang yang sudah meninggal.

Kebiasaan baru kita lainnya adalah melatih fungsi telinga dan kesadaran. Pengalaman saya, satu kali wawancara bisa sampai 3 jam non-stop dengan hasil tak sampai 1 halaman tulisan saja. Pertanyaannya soal pengalaman kuliah zaman dulu, yang diceritakan malah risetnya, labnya, anaknya, mahasiswanya, sampai foto-foto perjalanan. Maklum, orang tua memang hobi bernasehat ria :)

Menambah Pejantan
Di tengah perjalanan yang berliku, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir deras sampai Jakarta banjir....satu demi satu anggota mutung seperti daun rontok. Tanpa bisa kita cegah, logis dan sangat alamiah.

Thong2 mundur duluan karena kesibukannya yang cetar sekali di PENS. Praktis, saya sendirian bak sang raja dengan 5 istri. Eits, sejujurnya saya tidak pernah menganggap mereka cewek tulen, saya lebih suka menjadi seperti raja dengan 5 patihnya. Mengapa? Ssstt..Tahu gak sih loe? Mereka jauh lebih galak daripada gueeeh *rahasia umum.

Dan, akhirnya kita putuskan untuk menambah pejantan lagi. Dipilihlah Aldrin. Mengapa Aldrin? Alasan bohongnya adalah karena (tampang) Aldrin yang terkenal playboy seantero LPPM pasti bisa menaklukan tim cewek Djoeang yang setengah cowok itu. 

Dan, nahas. Pada detik-detik terakhir pun, akhirnya Elita mendadak harus migrasi menjadi preman di Pattaya, Thailand *meminjam istilah Thong2. Terakhir, GoDad pun mundur karena alasan yang tidak bisa saya ungkapkan di sini. Wah, andai saya boleh mundur, saya ingin mundur saat tim ini belum terbentuk *lupakan.

Tidur Saat Wawancara Sampai Ngemper
Bagian subjudul ini akan  saya akan curcol 1/3 kali panjang kali lebar tentang pengalaman mewawancarai narsum dari yang gokil sampai melas dan heroik!

Yang paling heroik tentu menjelajah hutan belantara bernama “Jakarta”. Di tengah hutan beton yang semakin lebat, saya menjelajahi bermodalkan sepeda motor dan map pinjaman. Di sini, saya pernah mengalami mewawancarai narasumber sampai tidur hingga nyasar berjam-jam di jalan sampai nyasar ke Bekasi. Kisah lengkapnya bisa di baca berseri di sana, sini dan situ.

Mungkin pada bagian saat kami melepaskan duet Miss Melas 2012 ke belantara Jakarta-Bekasi-Bandung-Bogor bisa diceritakan oleh si Empunya sendiri. Karena mereka ke sana naik kereta ekonomi dan pulang naik pesawat –tiketnya dari hasil jernih payah melas ke Pak Irnanda. Dan mereka kemana-mana bermodalkan sepeda motor saja. Bener-bener preman jalanan! Salut sama kemampuanmu, Ima!

Lainnya, bagian memilah dan memilih satu demi satu hasil wawancara seluruh kru untuk dijadikan semacam “panduan berjalan” ke mana arah tulisan akan dibawa. Mungkin ini bagian paling membingungkan bagi saya, karena saking banyaknya narasumber dan tanpa adanya kontrol kendali dari orang lain. Mengurai mind-map satu per satu kru menjadi kerangka jalan terang, itu bahasa gampang saya.

Ambillah contoh kasus di Jurusan Teknik Mesin bagian saya. Karena sesepuh di jurusan ini banyak yang berkediaman di Surabaya, ada 8 orang yang harus diwawancarai untuk mendapatkan angle apa yang bisa diulas di jurusan ini. Dari 8 orang itu dibagi menjadi 3 reporter, salah satunya saya. Dan tanggung jawab saya adalah merangkai benang merah dari seluruh reporter. Itu belum termasuk menulis dan tentu mengeditnya.

Itu masih satu fakultas! Padahal ada 7 fakultas meennn! Belum juga untuk profil dan seluruh tulisan feature yang menjadi tanggung jawab saya. Mau nulis apa, bagaimana model tulisannya, sampai harus bisa menyajikan versi website dan versi buku adalah bagian saya. Jadi, ibaratnya saya disini adalah tumbal dari korban bencana kemanusiaan yang tidak beradab *cedih nich jilid 3

Bagian susah lainnya adalah “menyadarkan” para kru lainnya untuk menuliskan hasil wawancara. Saya memang bukan tipe pemimpin yang baik untuk suatu aktivitas yang sifatnya “sukarela”. Saya juga bukan tipe motivator ulung yang bisa membangun semangat menulis orang lain. Dan terakhir, saya tidak memarahi teman sendiri. Paling banter ya menasehati, mengingatkan dan semua itu tidak mempan di tim ini *melas.

Inilah hal paling mendasar mengapa membuat buku terasa tidak jelas ujungnya dan lama sekali pembuatannya. Karena kesadaran personal setiap kru tidak ada dalam jiwa buku itu sendiri. Kita seperti penonton yang berharap bisa menyaksikan seekor kepompong dengan sendirinya berubah menjadi kupu-kupu cantik.

Insiden Atas Nama “CUK!”
Ada beban moral yang senantiasa bergeyut di depan mata kita setiap kali ada yang menanyakan kapan buku ini dicetak. DICETAK? Boro-boro dicetak, nulis aja belum kelar. Belum lagi setiap edisi majalah, saya kebagian “Redaksi in Action” yang jika saya umpamakan itu buah salak pasti sudah membusuk dan bijinya sudah tumbuh tanaman baru. Mirip sekali dengan sinetron Indonesia, dari edisi Tersanjung, Kemilau Cinta Kamila, Putri yang Ditukar, sampai semua tokohnya meninggal dunia dan berenkarnasi menjadi Pocong Ngesot.

Hatta, entah pada edisi RedInAct yang keberapa ada berita mengejutkan: bukunya akan dicetak pada edisi Dies Natalis ke-52! Sebelum edisi itu, sebenarnya kita sudah mengalami perombakan cover sampai 3x. Pun begitu dengan judul, setiap edisi ganti judul! Bener-bener ababil, haha.

Pertama judulnya “Kampoes Perdjoeangan”, kedua entah apa judulnya, yang terakhir adalah “Kampus Djoeang, CUK”. Judul pertama dan kedua tak ada respons jadi kita masih bisa menambah jatah malas-malasan menulis *miris. Nah, yang ketiga ini justru membuat cetar-membahan-petir-halilintar-topan-badai-katrina seantero ITS.

Hari itu, seharusnya hari wisuda yang damai dan tenteram namun semua dikacaukan oleh hape saya yang tak henti-hentinya bordering. Semua complain soal judul yang sangat seronok! Mulai dari Tim Character Building (CB) ITS, TPKI, Bagian Kemahasiswaan, sampai PR 2. Benar-benar cetar kan?

Mari kita berjalanan ke belakang *awas nabrak! Mengapa kami menggunakan judul itu? Alasan dasarnya adalah karena tidak ada pilihan lain selain judul itu, haha. Judul itu adalah usulan saya dengan alasan bahwa ITS pernah memakai jargon “CUK” sebelum “CAK”. Kedua, kata “CUK” adalah kata pengakrab sekaligus penggerak heroisme khas Surabaya. Jadi, bukan bermaksud menjadikan judulnya sebagai objek amoralisasi.  BUKAN!

Tapi, yang namanya kritik harus diterima karena itu tanda bahwa mereka peduli dengan kita :) . Apa kita lantas mengubah nama itu? TIDAK! Bukan Tim Djoeang kalau tidak keras kepala. Apalagi isinya adalah orang-orang yang keras kepala semua. Apalagi Ima, bak batu karang (tapi hati batunya sudah berhasil digerus oleh ombak :P). 

“Kita pertahankan saja, makin kontroversi makin bagus. Nanti bukunya bisa terjual banyak!”

“Sippp..Menjual kontroversi, Syahrini banget. Nanti bukunya menjadi sesuatu yang cetar membahana”

Dan, kami pun tertawa lepas. Karena kami menyadari bahwa kami adalah sekumpulan orang yang arif bijaksana, kami ambil jalan tengah dengan cara membuat sebuah petisi ke beberapa orang yang kami “penting”, yakni tokoh berpengaruh dari kalangan mahasiswa, dosen dan tentu narasumber kami.

Hasilnyaaa...

Narasumber sih okeh-oke saja, tapi dosen dan mahasiswa mayoritas kontra! Akhirnya kita baru menyadari bahwa persepsi kami soal kata CUK sangat berbeda jauh dengan kebanyak orang. Maklum ya, memang kita agak gimanaaa gitu. Ssttt..baru kami menyadari kami bukan arif bijaksana -.-'

Tanpa mau menambah masalah dengan birokrasi, kami memutuskan untuk mengganti judulnya. Hari berganti hari, tulisan demi tulisan kami hasilkan, namun judul baru bisa kita temukan hampir satu bulan pasca insiden protes itu. Judulnya pun cuman ada satu alternatif dari saya saja “Titik Nol Kampus Perdjoeangan”. Karena hanya satu pilihan, maka pemilu pun tidak jadi digelar. Menang mutlak.


Nantikan episode selanjutnya...

6 comments:

ibnu hamzah said...

aku ngantuk waktu baca ini. berarti aku masih 16 tahun, dong. yes!

Unknown said...

weeeh,,, protes aku,,
melalui tulisan mas huda sebagai bukti, saya akan mengadukan mas huda ke pengadilan perdata atas tujuan Percemaran Nama BAIK..
saya merasa nama baik saya tercemarkan,, :S

hahahaha
mesti,, setiap behind de djoeang aku selalu kena yang nggakl enak2,, terbongkar..
pdahal kan aku katanya Ukhy Aisyaaa :((

hudahoe said...

Raminten: wah, maaf mbah. Kalau itu sebenarnya karena faktor ketuaan. Maklum ya, orang tuwir memang sering ngantuk klo baca apa pun :P

hudahoe said...

To: Orang yang ngaku2 sbgai Ukhti Aisya :P
bagian mana yang mencemarkan nama baikmu? Bukankah namamu sudah dr sononya tercemar? haha..

Btw, kamu kan suka yg kontroversi gitu. Makin kontroversi, makin cetar! Hahaha..
sudah yah, terima saja takdirmu :P

haris ganteng said...

izin enkripsi jadi profile mas :)

Eka S said...

ma, sebutanmu paling keren pek--> ukhti aisya hahaha
keliling jakarta dengan sangar dan baru bilang 1 tahun setelahnya kalau kita menjelajah bumi belantara jakarta tanpa SIM haha
luv u sist :p

Post a Comment