19 Jul 2013

Melihat ke Bawah



Kemarin saya bertemu senior jurusan saya, panggil saja Mr. George. Kita ngobrol banyak hal hampir empat jam. Di sela-sela obrolan yang sangat amat sungguh terlalu panjang itu, ada bagian 'menyedihkan' yang justru menjadi bagian untuk tertawa. Ya, soal nasib dan takdir yang telah dilalui masnya.

Alkisah, sejak semester satu kuliah di ITS, Mr. George itu sudah bekerja untuk menyambung hidup karena impitan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Yah, ini aslinya cerita klasik. Di sinetron, film, buku atau FTV juga banyak. Bahkan lebih tragis dan sangat drama korea (listilah ini lebih manusiawi daripada "sinetronisasi").

Cerita di awali dengan kisah aktivitas banting tulang Mr. George. Dituturkan, Masnya pernah menjadi buruh kasar sampai buruh halus. Buruh halusnya adalah dengan ngajar privat. Buruh kasarnya dengan menjadi pemulung botol bekas, penata tanaman hias, pemotong rumput rumah dan lain-lainnya

Saya hanya bisa geleng-geleng ada orang cerita bahwa ada mahasiswa yang nyambi potong tumput. Apalagi hanya berbekal gunting, bukan alat elektronik.

"Saya awalnya pinjem gunting kakak saya. Awal motong rumput, dikasih upah 15 ribu. Yang 10 ribu saya belikan gunting rumput biar gak pinjem lagi," ceritanya santai.

"Harga botol itu satu kilogram cuman 3 ribu dengan isi sekitar 50-an botol per kg. Jadi satu botol kira-kira ya cuman 50 rupiah saja," tuturnya ringan.

Saya hanya diam menyaksikan kisahnya dari awal sampai tidak berakhir karena saking banyaknya. Ujung-ujungnya saya juga ikut nimpali dengan curcol senada.

"Kalau saya dulu pernah dari ITS-Tandes naik bemo selama 3 semester, termasuk pas pengaderan. Untuk PP kurang lebih 4 jam, biasanya jam 5 kurang saya sudah berangkat. Pulangnya tergantung aktivitas , pernah juga jam 2 dini hari baru pulang. Itu belum kalau ada kegiatan rutin konsolidasi yang sampai tengah malam," curhatku.

"Tapi itu masih belum seberapa Mas, teman saya ada yang jalan kaki dari ITS sampai Pasar Turi karena tidak ada motor dan tidak ada duwit buat ongkos," kata ku. Masnya pun sedikit kaget.

"Ada lagi, teman seangkatan yang punya kelainan tulang rapuh. Di kakinya ada belasan baut yang menghubungkan tulangnya agar menyatu. Sering setiap malam tidak ada angkot dia harus jalan kaki dari ITS-Wonokromo. Tidak jauh sih, tapi juga tidak dekat. Dan biasanya, besoknya dia langsung tidak masuk kuliah karena kakinya bengkak dan tulangnya retak. Berkali-kali kejadian seperti itu, namun justru banyak yang tidak percaya dengan kisahnya karena secara tampak luar, dia sehat wal afiat," ungkapnya.
 
"Jadi, terkadang saya sering mendengar ada teman mengeluhkan pulang larut malam, begadang sampai tidak tidur adalah hal sangat dikasihani. Bagi saya, lihatlah sekelilingnya. Banyak yang lebih di bawah kita. Asal kita mau melihat dan mendengar, atau (kebanyakan) kita memilih untuk tutup mata, telinga dan hati"

Jangan melihat ke atas, bersyukur itu melihat ke bawah :)

No comments:

Post a Comment