“Menulis membuat anda tetap waras”
begitu kata orang bijak. Saya sepenuhnya setuju dengan kalimat itu, dan
kesimpulan yang bisa saya ambil adalah “saya sudah tidak waras lagi. Titik”
Tidak gampang menjaga konsistensi menulis, jika tidak ada ‘sesuatu’ yang
membuat anda harus menulis. Jika bicara tentang diri sendiri, zaman dahulu kala
saya terperangkap dalam satu lingkaran yang aturan utamanya mewajibkan saya
untuk menulis. Sekarang tidak ada, jadinya saya kembali ke zaman pra sejarah
lagi yang tak mengenal tulisan sama sekali.
Bicara tentang zaman pra sejarah, saya sudah tidak menulis hampir dua
bulan! Itu rekor saya sejak saya percaya bahwa menulis adalah bentuk lain dari
kewarasan itu sendiri. Mengapa? Mungkin saya merasa diri sendiri sudah tidak
waras, sehingga saya tidak menulis. Atau karena saya tidak pernah menulis,
sehingga saya merasa tidak waras. Keduanya. Mungkin.
Sudahlah, saya tidak mau memperpanjang durasi ketidakwarasan saya melebih
zona merah alias gila beneran. Biarkan saya memulai untuk menulis. Dari sini.
Langsung saja ya, saya sudah mulai kaku untuk memberikan sebuah pengantar tulisan. Jadi ya ini dia, isinya curhatan saja. hehehe
Entah dimulai darimana, selama periode itu saya ditarik oleh gaya tak kasat mata yang menbuat saya berjalan dengan percepatan positif menuju satu titik. Pikiran saya bereaksi atas aksi yang tak bisa dianggap logis itu. Mungkin karena terlalu emosional memaknainya atau karena saya sendiri bingung mengapa dengan tiba-tiba saya merasa diri saya baru melek akan hal ini.
Entah dimulai darimana, selama periode itu saya ditarik oleh gaya tak kasat mata yang menbuat saya berjalan dengan percepatan positif menuju satu titik. Pikiran saya bereaksi atas aksi yang tak bisa dianggap logis itu. Mungkin karena terlalu emosional memaknainya atau karena saya sendiri bingung mengapa dengan tiba-tiba saya merasa diri saya baru melek akan hal ini.
Titik itu adalah titik asal dimana saya memulai langkah pertama, dunia
pertama dan kehidupan pertama saya. Titik itu bernama keluarga.
Sudah hampir sepuluh tahun saya berada di Surabaya, dengan semua hal yang
pernah saya alami di sini, baik buruknya telah membuat saya melangkah mundur
pelan-pelan dari keluarga. Setelah sekian lama mundur, tiba-tiba saya berlari
maju menuju mereka. Ada sesuatu yang mendorong saya untuk berada di
tengah-tengah mereka.
Selama dua bulan, saya terlah menemukan hal-hal baru yang tidak pernah saya
temukan seumur hidup dalam keluarga saya.
Sebelum titik kulminasi itu terjadi, selama ini saya merasa (subjektif)
bahwa saya selalu dianggap seperti anak kecil. Walaupun ketika saya sudah
berusia 20 awal, walaupun saya sudah bisa kuliah mandiri tanpa minta uang sama
sekai, bahkan sampai saat saya sudah kerja, saya masih diperlakukan seperti
anak kecil.
Apa definisi anak kecil versi saya?
Setiap makan, saya selalu dijadwal! Kalau tidak nurut bakal dimarahi. Saya
tahu itu bentuk perhatian, tapi menurut saya itu sangat aneh bagi saya. Bahkan
ketika makan, saya selalu dikomentari. Lauknya kurang lah, sayurnya kebanyakan
lah, sampai saat makan saya ditemani kayak anak bayi baru belajar makan. Dan
itu terjadi sampai sekarang. Sehingga sering kali saya harus makan sambil
ngumpet.
Hal yang sama untuk jadwal mandi, saya masih sering diobrak-obrak. Setiap
kali pulkam, saya mesti dapet “uang saku” entah dari mbah, lek, bulek, pak dhe,
atau yang lainnya. Rasanya kok saya masih TK ya? Dan masih banyak hal yang
kekanak-kanakan lainnya. Kejadian-kejadian seperti itulah yang membuat saya
jengah untuk pulang.
Kini, hal itu masih sering terjadi. Dan saya harus berdamai dengan keadaan,
percuma harus menjelaskan panjang lebar kalau saya tidak (atau belum) dianggap
dewasa. Sampai tiba-tiba entah darimana awalnya, banyak keluarga saya mendadak
menjadikan saya sebagai bagian dari mereka.
Keluarga saya itu saya bagi menjadi empat kategori: keluarga inti
(bapak-ibu,adik,adik ipar, dan Angga, satu-satunya ponakanku yang super
tembem), keluarga dari bapak yang saudaranya mencapai 13 (belum anak cucu dan
cicitnya), keluarga dari ibu yang berjumlah 6 saudara (belum anak cucunya),
keluarga dari adik ipar (berjumlah 13 juga, ini yang paling tidak bisa saya
hafalkan), dan terakhir keluarga di Surabaya. Super big family :)
Beberapa diantara sekian banyak itu, terkadang mereka bertanya, bercurcol
ria, meminta pendapat, atau sekedar dengan guyonan garing-garingan. Kalau
ngobrol, sudah biasa. Tapi ini konteksnya berbeda sekali, mereka menempatkan
saya sebagai pusat (center).
Dengan jumlah keluarga sebanyak itu, persoalan dalam keluarga saya itu
sangat amat rumit dengan karakter persoalan yang berbeda satu sama lainnya.
(tidak perlu saya curcol di sini). Dulu, saya tidak pernah mendapatkan akses
informasi tentang dunia mereka karena saya sangat jarang pulang. Sekarang,
setidaknya saya tahu walaupun belum mampu untuk membantu menyelesaikannya.
Ujungnya, dengan gaya tarik abstrak tersebut, saya menyadari bahwa suatu
saat saya harus pulang kampung. Target saya, dalam lima tahun mendatang, saya
harus kembali ke desa. Untuk sekarang, saya masih harus banting tulang dulu.
Cemungudh!
“Orang bisa dihargai oleh sesamanya karena tiga hal: usia, pengalaman dan
ilmu” –hoe
*) mencoba istiqomah untuk tidak kembali ke zaman pra sejarah
No comments:
Post a Comment