24 Nov 2016

Rumah dan Kediaman

Hello blog, maaf lama gak disambangi kamu. Sudah setahun lebih gak ada tulisan nyantol di sini. Terlampau banyak hal yang ingin saya share di sini, dari dunia saya yang sudah berkeluarga. Insya Allah, habis ini menyusul tulisan yang lain. Berharap kelak, anak cucu bisa mendengar cerita saya lewat sini. Jadi ceritanya, ini first post pasca nikah.
 
Banjir di Ruang Tengah


Kemarin rumah kami -lebih tepatnya kontrakan, kebanjiran. Air merembes dari atas plavon memenuhi seluruh ruangan dalam rumah. Teras penuh bletokan (kotoran dari got), ruang tamu menggenang air kuning, sampai ruang tidur juga tak luput dari jamahan air. Lima kasur kuyup, baju dua lemari kepeh, sofa bermandi ria, genangan dimana-mana.

Malam itu kami tidur dengan air masih tetap menggenang, menunggu hujan reda hingga keesokan harinya.

Pagi-pagi saya ke atap rumah. Dan ternyata talang airnya penuh dengan daun. Balada suami muda yang gak ngerti dunia pertukangan dan per-rumah-an. Hehe. Akhirnya saya beresin semua, plus ditambal bagian talang yang  bocor.

"Hujan dan banjir di rumah". Dua kalimat nostalgia yang sama-sama kami entas dari masa lalu. Malam-malam setelahnya, kita saling bercerita tentang rumah orang tua kita -juga langganan banjirnya.

*******

"Atap bocor itu biasa, Yah. Setiap hujan, air masuk dari bawah lantai juga dari atas genteng," ujar istri mengawali cerita.

Dulu, setiap musim penghujan dan setiap hujan, rumah istri yang lebih rendah daripada rumah di sekitarnya, menjadi langganan banjir karena usia memakan kualitas material genteng dan plesterannya.

"Kita tidur ndempis (mojok) di ujung kasur, supaya gak kena tetesan air bocor. Sementara air menggenang di bawah. Besoknya nyeroki air sampai bersih," tambah istri.

Begitu seterusnya, setiap hujan datang. FYI, istri tidur sekamar dengan Ibu saja. Sementara di rumah ada Mbah Uti (nenek), dan keluarga pak Dhe.

Giliran saya. Dua puluh lima tahun saya besar dan tinggal di rumah yang sama. Berdindingkan papan (bukan tembok), beralas tanah dan beratap genteng yang sudah keropos sana sini. Fondasi menjorok dari jalan utama. Tanah lebih rendah daripada jalan raya.

"Pas hujan datang, biasanya saya sama ibu siap-siap pasang tujuh bak buat menadah air. Saking banyaknya bocornya, kadang baknya gak cukup"

Sesekali ada tikus lewat atas reng berlari-lari menghindari air. Apalagi pas musim panen padi, jumlah tikus serupa krupuk di warung. Lalu, jika petir menyambar, DUARRR! suaranya seolah terdengar pas kita di sawah.

"Tikus? Aku bahkan pernah digigit tikus pas tidur!" teriak istri.

Ceritanya, dinding kamar tidur terbuat dari sesek, berlubang sampai luar. Nah, di situlah jalur lalu lintas tikus membanting tulang. Pas ada kaki melintang, gigit saja (mungkin begini batinnya si Mickey Mouse).

Banjir? Ah, kata itu adalah pelanggan tetap rumah saya. Berada dalam barisan des sekitar Bengawan Solo, luapan bah rutin menyapa setiap hujan. Pas zaman saya SD, banjir bandang pernah menyapu desa kami. Rumah kami menggenang sampai dua hari. Hasilnya, karena lantainya tanah, jadi lautan lumpur memenuhi ruangan, dinding kayu melepuh, dan bau kotoran sapi dimana-mana.

******

Puluhan tahun berselang, sejak saya mengenal dunia per-duit-an (dulu tahunya duit cuman buat makan), saya punya tekad untuk membangunkan rumah buat orang tua. Titik.

Istri berujar, "Setelah kerja, aku cuman mau fokus buat rumah buat ibu". Tiba-tiba saya tergelak.

Semesta berkonspirasi. Takdir telah memilih kita, jauh sebelum kita saling kenal. Masa menyapa kita untuk saling kenal, dari masa depan ke selamanya. Tuhan telah mengenalkan kita dari kecil, dari tekad besar untuk orang tua.

Dua rumah kami (satu untuk orang tuaku, kedua untuk ortu istri), kini telah berdiri. Tidak mewah, namun inshaa Allah bisa menjadi rumah dan kediaman berteduh dalam kelayakan seperti yang kami inginkan.

Yah, walapun bangun rumah dari fondasi sampai atap itu tidak murah, tapi kami senantiasa berusaha bersyukur atas kekuatan dan rejeki yang telah diberikan-Nya. Bersyukur banget punya istri yang bisa ngajari syukur dan ikhlas (aslinya saya ini pengikut aliran kebatinan, dikit-dikit mbatin, wakaka).

Dan untuk sementara kita ngalah dulu dengan ngontrak rumah, hehe.

Teruntuk banjir, lantai lumpur, genteng bocor, bau kecoak, tikus, bla bla bla,maafkan kami yang telah mengusir kalian *eh


Surabaya, 20 November 2016

2 comments:

.... said...

Hidupmu huud.. huud..
Sing sabar po'o rek..
Semangat! Aku yo pernah merasakannya..

Unknown said...

Maaannnsss! Siap meniru wkwk!

Post a Comment