9 Sept 2011

Stresses






Lewat tengah malam, tubuhku belingsatan tak karuan. Kepalaku seperti ingin meledak. Mataku sudah basah dengan air mata. Ingin tanganku memukul isi dalam otak ini. Sementara hawa dingin hanya menyisir pelan, diam seribu bahasa menatapku. Rasanya, jiwaku sedang berada dalam fisik orang lain.

Cerita kala 8 Sept menjelang dini hari.

Jujur, tubuhku hari itu seperti remuk redam. Fisikku sepertinya sedang kolaps. Hari itu tubuhku ku lempar-lempar sampai 89 kilometer dalam sehari saja. Ngalor ngidul dari pagi hingga larut malam. Sehari sebelumnya tak kalah heboh. Bahkan sudah seminggu lebih fisikku seperti uang, berputar dari lokasi ke wilayah lain.

Pikiranku? Ia dengan jujur berkata, "sedang tidak ada di tempat". Ia sedang jalan-jalan, berlari tak tau arah. Bersama dengan hembusan pasrah si pemilik tubuh, ia membuncah seperti ingin meledak. Berkontraksi kuat menekan alam bawah sadarnya. Memaksanya untuk berpikir, dan berpikir saja.

Ya Allah. Ini baru sepekan pasca Lebaran bung! Jika dilanjutkan terus, apakah saya akan menjadi GILA?

Di dalam kamar, saya menuliskan hal ini. STRES yang saya buat plot mind map bercabang menjadi empat hal, yaitu: diselesaikan, dibiarkan, gila atau bunuh diri. Pilih mana? Saat saya benar-benar frustasi, sering opsional ini hadir tanpa diminta. Mereka berbondong-bondong memenuhi kepalaku. Beradu argumen tanpa mau dihentikan. Mereka memaksaku untuk dipilih.

Ya, saya sedang stres berat. Bermula saat pertengahan bulan, merambah ke akhir bulan, pas lebaran, pasca lebaran, dan memuncak terus tanpa ku ketahui dimana titik puncaknya.

Saat tabunganku habis hampir tak bersisa untuk membayar SPP semester plus plus  dan ganti plat sepeda motor. Tanpa penghasilan, saya seperti Pengacara (pengangguran banyak acara). Uang yang sengaja saya tabung sejak dua tahun lalu dengan komitmen mandiri finansial 100 % dan menabung, hari itu lenyap begitu saja. Saya seperti tukang pengemis. Benar-benar bingung memikirkan "bagaimana besok saya makan?".

Kedua, musibah itu datang. Saya harus beberapa hari i'tikaf di rumah sakit. Ritme bulan Ramadhan ku sedikit berubah dengan status saya mulai hari itu. Pikiran ku saat itu seperti ditampar oleh petir, seolah diberi sambal di atas luka yang belum kering. Saya ingin marah, tapi saya tidak boleh marah, saya ingin menangis keras tapi tidak boleh, saya ingin memaki tapi tidak boleh, saya ingin mengadu tapi...Semua hanya saya lakukan di setiap sujudku.

Hari raya dan di setiap hari raya Ied, trauma itu langsung menyeruak bebas. Ia datang memenuhi otakku. Dalam setiap seruan takbir, trauma itu menari-nari bersama air mata yang seperti pompa air banjir, saya bisa menangis bombay selama semalaman. Trauma puluhan tahun, yang hingga kini saya tidak tahu cara untuk menghilangkannya. Trauma yang akan selalu ku hadapi hampir setiap hari. Kisah yang tidak akan disembuhkan oleh waktu, selama apa pun lamanya masa akan memeluk umurku.

Inilah, trauma terberat dalam hidup saya yang justru akan selalu hadir dalam Ied. Saya sudah berusaha menghindari konflik yang bisa memicu trauma ini, tapi apa daya? Orang itu selalu memancingnya. Karena dia tidak pernah tahu, betapa berat trauma ini. Trauma yang beberapa kali membawa saya pada pisau dapur, silet, pingsan, linglung dan anti-sosial. Ya, ia terkenang bersama bekas luka di nadi kiriku ini. Sampai kapan ia akan hilang?

Hari keempat Lebaran, saat di Surabaya. Pikiranku masih belum normal. Emosiku masih sedang memasuk musim ababil. Namun, tiba-tiba boomerang itu datang kembali. Dalam kondisi yang seperti ini, aku sering tersulut oleh trauma saat SMA yang sangat aku benci. Hal yang membuat aku tidak pernah menghargai diri sendiri. Stimulus yang selalu memberitahu betapa bodoh dan tidak bergunanya diriku.

Sekali lagi, tiba-tiba orang itu (beda dengan yang pertama) menyulut korek trauma itu. Mentalku drop, seperti enam tahun silam. Aku merasa terasingkan dari dunia ini. Ia hadir beruntun dan membabibuta menenggelamkan kenyataan. Aku benar-benar frustasi dengan hidup!

Namun, selalu dan selalu, dalam setiap trauma yang menyayat-nyayat motivasi itu, ada satu hal di dunia ini yang membuat saya tegar. Walaupun ia tidak pernah hadir dalam setiap keseharianku, tapi beliaulah sosok inspirasi sepanjang masaku. Sosok yang menggadaikan hidupnya demi hidupku. Beliau adalah Ibuku. Saat mengenangnya, sedikit demi sedikit nalarku bisa bekerja. Emosiku bisa ku kontrol. Dan pelan-pelan, aku bisa berdiri lagi.

Tapi, tak sampai 24 jam, musibah itu datang lagi. Kali ini adalah sambungan musibah sepekan sebelum Ramadhan. Ini lah yang cukup menyita fisik saya selama sebulan. Juga menyita pikiran saya. Sering saya harus menaruh logika di atas cangkir, karena masalah ini bukanlah masalah yang segampang menyediakan persamaan La Place, juga tidak segampang mencari persamaan osilasi getaran. Dia tidak bisa dilogika. Rumit, harus pelan-pelan, butuh kesabaran ekstra dengan harapan yang mengucur setetes-tetes saja.

Malah terkadang ditengah usaha yang membuncah, harapan itu tiba-tiba mati, ia padam! Nyala kecil asa itu harus kita mulai lagi dari nol, lagi dan lagi. Puluhan orang sudah hampir frustasi, pun begitu dengan saya. Tapi apakah saya harus lari? Apakah saya bisa seegois itu? Walaupun kenyataannya, saya bukan siapa-siapa dan saya juga tidak mendapatkan apa-apa dari pertolongan yang saya berikan. Yang saya dapatkan adalah persoalan demi persoalan yang semakin rumit dan tidak bisa dirasionalkan. Logika saya runtuh untuk urusan ini.

Akhirnya, saya memang merasa harus selalu ada dan selalu kuat untuk menyalakan asa itu, pelan-pelan sekali. Malah saking pelannya, saya sering tidak sabaran menunggu. Bayangkan, hampir sebulan berlalu tapi sepertinya kita hanya mendapatkan asa setengah sendok teh. Benar-benar kompleks dan menguras air mata!

Kapal yang mau karam itu meraung keras, tak satu pun yang menyadarinya. Banyak yang sudah meninggalkannya pergi, ada juga yang tidak tahu bahwa kapal mau karam. Saya? Yang tahu dari kejauhan, ingin menolongnya. Tapi saya kan tidak bisa berenang? Apa yang harus saya lakukan? Inilah edisi cerita personifikasi dari kondisi ITS Online.

Estafet korlip yang disampaikan lewat SMS itu seperti menerima durian satu pick up yang runtuh. Pertama karena saya tidak suka durian, kedua adalah durian itu berduri-duri. Saya harus membenahi dari satu per satu komponen. Telephone sana sini, lari sana-sini, pikir sana sini (rodo lebai sih), tapi bener-bener menyita pikiran.

Saya seperti dikejar-kejar anjing setiap hari. Beratus-ratus SMS masuk tiap hari, dan semua harus saya balas. Dengan Hape saya yang butut itu, SMS sebegitu banyak itu sering membuat hang. Mengirip SMS jarkom ke 18 orang, Hape saya harus ngadat dulu. Huft. Dasar orang nggak sabaran, saya sering jarkom di tengah jalan, biar bisa nungguin dengan menyetir.

Nah, dari sini semua harus ditambah dengan tunggakan Buku Sejarah ITS yang sedang berada di musim galau akut. Statuta ITS yang semakin geje membuat saya seperti anak yang diterlantarkan oleh kedua orang tuanya. Buku "tak bernama" juga buntu. Lha bagaimana tidak? Mood tulisan fiksi saya tidak akan keluar dengan aksi kejar-kejaran anjing seperti ini.

TA? Tiga riset saya juga tertatih-tatih saya kerjakan. Kabar adik-adik Dolly? Pekerjaan lain? Arrrrrggghhh.....

Kepala saya berputar-putar, semua kisah itu berlari-lari semua. Menari-nari sambil menginjak-nginjak kepala saya. Ia selalu hadir dengan wajah muram, wajah murka, tangisan, makian dan cacian dalam setiap waktu istrihatku. Ia menyisipi alam bawah sadarku. Hingga aku tidak sadarkan diri, bahwa aku sendiri bermasalah. Aku sedang stresses mendekati gila!!!!!


*) ditulis bersama layanan curhatannya Mas Yudha  :)

6 comments:

Staccato said...

Mas Huda kenapa ? Tetap semangat yah, apapun jalani dengan ikhlas, insyaalah tidak akan terlalu terbebani *gak jago menghibur orang*

hudahoe said...

Who are u? Dari tulisannya, icha ya?

Bingung juga, caranya ikhlas itu bagaimana ya? :)

Staccato said...

Hmmmm caranya .. gak tahu... hehe. Mungkin seperti cerita yang pernah dibilang teman ku *langsung gelar tikar*


Katanya suatu hari seorang pria bertemu dengan sang buddha. Terus dia curhat segala macam permasalahan pada sang buddha, dari finansial, keluarga,dsb. Dan memohon agar sang buddha mau membantunya.

" saya tidak bisa membantu anda " jawab sang buddha.

" kenapa ? anda kan orang suci "

" Karena pada dasarnya setiap manusia akan selalu memiliki 83 masalah, bila yang satu hilang, maka segera datag yang lain " jawab sang buddha.

" Terus kalo gitu, apa dong gunanya saya mengikuti ajaran anda ? " Pria itu muai jengkel.

" Ajaranku bisa membantu mengatasi masalah yang ke 84 " kata sang Buddha.

" Heh ?? Bukannya cuma 83 ? Terus yang ke 84 itu apa ? "

" Masalah ke 84 ialah bahwa manusia tidak mau punya masalah apapun "

*intinya ? hmmm pokoknya begitu lah* masalah akan selalu ada, dan bahkan upaya menghindari masalah lah yang justru akan menambah-nambah masalah. Jalani aja.Usahakan apa yang bisa diusahakan. Biarpun gak tau akan berakhir seperti apa, tapi tetep akan ada akhirnya kan...

Soal trauma..hmm..hidup itu lucu yah, setelah puluhan tahun belajar ini itu, saya juga baru sadar kalau rupanya pelajaran paling sulit itu adalah melupakan.

*ngetik2 gak jelas itung2 menasehati diri sendiri yang juga lagi galau, hahaha*

nah kalau udah panjang lebar gini, jadi malu ngaku, huhuhu,bukan mbak icha. Malu aku kalau dikirain mbak icha. Yah pokoknya gitu,tolong jangan stres apalagi bunuh diri. Good luck !

*eh tikarnya ketinggalan :P *

hudahoe said...

klo nggak Icha ya Tyzha, dari cara nulisnya uda kelihatan :)

Memang, dalam keyakinan ku, optimisme adalah fondasi utama. Tapi di kala rapuh seperti ini dan ditambah rasa frustasi puluhan tahun, mentalku seperti "orang buangan".

Pasrah...aku bener-bener pasrah total!

tyzha said...

bukan tyzha juga --'' ngapain aku pake anonim sgala.fansmu kali huda.cihuiii

hudahoe said...

Hahaha...
Siapapun kamu, apakah orang dengan "tuksedo bertopeng" atau siapapun kamu, makasih buat wejangannya.

Tyz, dtunggu kepastian undangannya yak :)

Post a Comment