23 Apr 2010

Dolly, Siapa Yang Salah?


Kawan, dalam teori dasar fisika, ada sebuah hukum universal yang dikemukakan oleh Isaac Newton. Menurut mbahnya fisika klasik ini, semua materi di dunia ini mempunyai kesetimbangan gaya yang sistematis. Jika ada aksi pasti ada reaksi, itu simpelnya. Jadi tidak akan mungkin ada benda bisa bergerak tanpa dengan sendirinya tanpa sebab. Semua system itu terukur, memenuhi hukum sebab akibat dan berlaku di seluruh jagad raya ini.

Pun demikian dengan siklus kehidupan ini, itu konklusi yang saya kemukakan. Baik atau buruk suatu keadaan semua berproses dari efek sebab akibat yang terakumulasi menjadi sebuah fenomena. Tidak ada yang ujuk-ujuk  atau bim salabim orang bisa pintar tanpa belajar, orang masuk penjara tanpa kesalahan atau orang sukses tanpa usaha. Namun ada yang mengganjal bagi saya. Bukan tentang hukum alam ini, tapi kawan, terkadang kisah dunia ini terkesan berat sebelah. Kawan tidak setuju?


 Dolly oh Dolly. Bukan bermaksud untuk memelas dengan ekspresi mata berkaca-kaca. Tapi tempat ini telah menghadirkan seribu tiga kisah bagi diriku. Pamornya dari ujung kota Surabaya hingga ke mancanegara, menyilaukan semua tempat prestis se-Surabaya. Orang-orangnya, ehmmm… no comment untuk ini. Kulturnya, maknyos abies. Semua serba luar biasa dan heboh. Sama menggelegarnya dengan suara sound karaoke wisma yang berada tepat 3 meter di sampingku minggu itu. Dan yang pasti, kehidupan di sini penuh dengan seni paradoksal kelas dunia-akherat. Inilah kisah kecil di tempat yang menjadi tujuan mingguan kita setiap akhir pekan, Taman Baca di Dolly Surabaya.

“Ayo dik, kakak ada pertanyaan. Bapakmu kan punya Ibu, kamu memanggil Ibunya Bapakmu itu apa?”

Kisah ini ku awali dengan pertanyaan yang ku tujukan kepada anak kecil berumur 7 tahun. Rambutnya ikal dengan raut muka polos. Malah teramat polos sekali menurutku. Sesaat setelah pertanyaan itu ku lontarkan, dia malah nggak nyambung blas dengan pertanyaan itu. Ku ulang sekali lagi. Tetep nggak nyambung. Ku ulangi lagi sampai 5 kali bertanya dan 5 kali ku jelaskan pertanyaannya lagi dan lagi.

5 menit berlalu. Senyumku mulai mengeras, proses sedimentasi “ketulusan untuk bersenyum” mulai bereaksi. 7 menit. Sepoi angin sukses menjadi latar senyumku yang siap menjadi fosil. Dan sebelum senyumku dimuseumkan, ku coba untuk memompa semangatku dengan kekuatan 10 MW (Mega Watt, untuk yang nggak ngerti).

“Gimana dik? Sudah tau jawabannya?,” tanyaku dengan ekspresi mirip besi yang karatan.

“Apa ya Kak…. Ehmm… Apa ya?”

Nnnnnnnnnnngggggggggggennnnnnnkkkkkkkkkkkkkk……

(sepoi angin sukses beraksi kembali. Wussshhhh….)

“Nggak tahu Kak. Aku nggak nyambung dengan pertanyaannya. Susah sekali,” jawabnya ekstra polos. Aku bengong tanpa ekspresi. Yang ku rasakan sama persis dengan ketika diriku berusaha mati-matian belajar untuk ujian, tapi justru ketika hari H semuanya buyar gara-gara lupa tidak membawa Kartu Ujian. Brakkkkk, senyumku jatuh dari ketinggian 12 meter. Remuk.

Kok bisa, pertanyaan sederhana seperti itu tidak bisa dijawab dengan penyebab utama tidak mengerti pertanyannya. Padahal itu kan pertanyaan dalam konteks kesehariannya dia. Dengan menanggung senyum yang tinggal kepingannya, ku jelaskan detail bagaimana runtutan pertanyaan dan jawabannya.

“Jadi adik harus memanggilnya dengan Nenek”

“Terus kalau Bapakmu punya Bapak, kamu memanggil Bapaknya Bapakmu itu siapa?,” ku coba dengan pertanyaan yang berberkaitan. Dan hasilnya, tidak jauh beda dengan aksi jamurisasi sebelumnya. Nihil. Dengan ekspresi yang tersisa, ku jelaskan jawabannya secara gamblang.

Dari pada diberi pertanyaan tapi bingung jawabnya, dia ku ajak ngobrol-ngobrol. Mulai pertanyaan sederhana, tentang kesukaannya di rumah, biasanya tidur jam berapa, ngaji dimana, belajarnya gimana, di rumah tinggal sama siapa….. (hingga jawaban pertanyaan teakhir menghentikan wawancara eksklusifku)

“Di rumah aku sama Ibu, orang-orang tua yang ada di sana sama mbak-mbaknya yang kerja di sini,”

Mentalku ambruk. Nuraniku melepuh tercecer-cecer di tanah. Aku… seperti katak dalam tempurung. Sok tahu, sok pinter, sok pengertian, sok-sokan....

“Maafkan aku Dik,” pekik ku dalam hati. Kalau pun harus ku ucapkan pasti dia yang bingung dengan alasanku. Karena inilah dia tidak tahu figure kakek atau nenek dari Bapaknya. Pasti dia tidak pernah merasakan apa yang ada di pikiranku. Pasti dia juga tidak mengerti kata “…. mbaknya yang kerja sini”. Dia.… terlalu kecil untuk mengerti hal ini. Terlalu polos untuk disesaki dengan keadaan yang seperti itu. Adikku, tidak seharusnya kamu mengalami hal ini.

Sekali lagi di tempat ini melalui Dwi Agustina, Allah menegur sekaligus mengajariku untuk senantiasa bersyukur dengan apapun yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Tidak hanya mensyukuri, ada sekelumit pesan penting bahwa banyak orang yang jauh lebih tidak beruntung dari pada dirimu. Sebagai orang yang lebih beruntung, ulurkan tanganmu untuk mereka. Selama tidak ada orang yang bisa memberikan sedikit pelita, konstruksi lingkungan sosialnya lah yang akan mematri pola pikirnya. Baik buruknya perbuatan dan tabiat manusia dewasa sangat dipengaruhi bagaimana alam bawah sadarnya terbentuk ketika dia masih kecil.

Ayo kawan, sing semangat bro n sis! Di tempat ini, usaha kita bukanlah jaminan untuk merubah mereka. Nasehat bijak dari kita juga belum tentu menjadi pilihan hidupnya nanti. Dan yang pasti, segala keringat yang kita teteskan untuk mereka, belum tentu bisa mengubah masa depannya kelak. Hampir seperti menegakkan benang basah. Tapi di sini pula, ketidakpastian itu harus kita perjuangkan. Upayakan dengan kemampuanmu dan serahkan semua hasilnya kepada-Nya. Biarlah Dia yang menilai, karena orang lain hanya kan melihat hasilnya saja tanpa mau peduli denga usaha kita.

Kawan, yakinlah bahwa setiap jengkal langkah kita menuju tempat ini, ada seruas senyuman yang senantiasa menanti kehadiran kita  ^_^

Di Kontrakan “Kapal Pecah”
19 April 2010

No comments:

Post a Comment