19 Jun 2010

Dolly Apa Mungkin Bisa?



Iseng-iseng berhadiah, muter-muter Surabaya menjelma ide tulisan. Alkisah pada sebuah negeri Buaya, eits kota Surabaya maksudnya. Lagi panas nan menyengatnya kota Surabaya, saya bersama dengan seorang kawan bernama Sinichi Kudody Vicktorio Sprite menyusuri sekitar 50 km perjalanan. Dimulai dari jurusan kita, Mechanical Engineering Sepuluh, Nopember Institute of Technology merayap satu demi satu jalan di Surabaya.

Beradu dengan para biker jalanan Surabaya selalu menantang bagi saya untuk tidak mau kalah. Salib menyalib menjadi satu, hehehe. Walaupun jalanan Surabaya tidak mungkin mengharamkan kata “macet”, namun hidup 6 tahun di Kota Pahlawan mengajariku harus lebih cepat dengan orang di sebelahku. Siapa cepat, dia dapat. Gak nyambung ya?

Jalan Kertajaya, Kertajaya Indah, Sulawesi, Dinoyo, Polisi Istimewa, Dr Soetomo, Indragiri, Adtyawarman, Mayjen Sungkono, Dukuh Kupang. Nah di sinilah keanehan terjadi. Di urut paling ujung, ada gedung TVRI, ada Alfamart yang telag berubah menjadi Carrefour, Islamic Center dan Dolly. Wooow, Dolly guys…



Setelah Islamic Center kebelakang sekitar 200 meter sudah ada Dolly. Sungguh nampak unik paradoksal kehidupan di kota ini. Saya jadi teringat daerah Kramat Tunggak di Jakarta. Hampir sama statusnya dengan Dolly, namun sudah ambles ditelah oleh bagungan Islamic Center. Menurut sejarah nih, Ramtung (Singkatan Kramat Tunggak) pernah dihuni oleh 1.615 wanita tunasusila, 258 germo, 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, serta 155 tukang ojek dan tukang cuci. Lha Dolly? Apa sensus penduduk kemarin juga mendata sedetail ini di kawasan Dolly.

Seberapapun data mengatakan, saya sangat berharap Dolly bisa berubah menjadi lebih baik dan positif sama atau berbeda cara dengan Pemkot Jakarta membungihanguskan Ramtung. Saya mengenal Islamic Center karena tempat tinggal saya dekat dengan kediaman ini. Plus ketika perpisahan SMAN 5 Surabaya angkatan 2007 juga diadakan di tempat ini. Suasana mengharukan ketika mendengarkan kata “Putih abu-abu tidak akan kembali”. Dan tentunya kali terakhir kita bergurau missal dengan teman-teman gokil EURO Smalabaya. Miss U all.

Lha, saya kenal Dolly kali pertama menginjakkan kaki di Surabaya. Saya mencari warnet muter-muter Dukuh kupang namun tidak ketemu. Muteeerr terus. Eh, malah nyasar di tempat gemerlap. Tempat apa ini pula? Pikirku kala itu. Ramai sekali, padahal sudah jam sebelas lebih. Awalnya kepolosan saya menyeruak keluar, namun akhirnya saya sadar juga dengan kata Dolly yang sering digaungkan teman-teman satu Gang kampung. Ini tho Dolly iku.

Dan sekarang saya justru lebih fasih dengan seluk beluknya kota para buaya darat ini. Apa kelak Dolly bisa berubah seperti Kramat Gantung? Saya hanya berharap sembari mencoba meneteteskan sedikit hal positif yang bisa saya lakukan. Dolly, apa mungkin bisa?

No comments:

Post a Comment