19 Jun 2010

Ketika Insinyur Juga Berbisnis

Kuliah di kampus teknik itu banyak seni dan tantangannya. Tak hanya seni menghafalkan ribuan rumus dan berjuang untuk lulus tepat waktu. Lebih dari itu, bagi saya Engineering itu paduan dari sains, seni dan teknologi. Ada sebuah seni tersendiri ketika otak kiri harus beradu dengan otak kanan. Dan pertunjukkan seni itu akan nampak lebih memukau ketika anda menjadi pemeran seorang technopreneur.

Konon kata Mbah Dukun, kuliah di kampus teknik itu susahnya minta ampun. Banyak calon mahasiswa yang mundur akibat jampi-jampi berupa stigma negatif tersebut. Masih kata Mbah Dukun, “Terlebih kuliah di ITS”. Selaras dengan nama panggilannya, Kampus Perjuangan. Untuk menjadi seorang Insinyur, setiap mahasiswa harus rela berjuang habis-habisan layaknya Gatotkaca yang di-godhok di kawah Candradimuka. Sekedar menjadi mahasiswa ITS saja, kita harus berjuang menyingkirkan ribuan pendaftar lainnya. “Untuk masuk di ITS itu sangat susah, namun untuk bisa keluar dari ITS itu justru yang paling susah,” ujar kakak kelas saya melengkapi pernyataan Mbah Dukun yang masih nampak komat kamit.

Itu adalah sekilas pandangan saya ketika memutuskan untuk kuliah di Kampus ITS. Tidak dipaksa atau memaksakan diri. Bukan pula karena melarikan diri akibat sering gagal masuk PTN, kan tidak mungkin melarikan diri kok malah masuk kandang macan? Ada banyak terobosan teknolgi yang lahir dari tangan insinyur, pikir saya. Insinyur itu adalah sosok perpaduan antara sains, teknologi dan seni. Ya, bisa dikatakan saya terlalu silau dengan sosok insinyur.

Hampir tiga tahun kemudian...


Ada sebuah pertanyaan yang sering saya tanyakan pada diri sendiri, “Apakah saya bisa menciptakan sebuah teknologi sebelum lulus?”. Layaknya profil insinyur yang ada dalam benak pikiran saya. Sebelum lulus, karena saya bisa menjamin meluangkan waktu pasca kuliah jauh lebih susah. Kalau dipikir saja, impossible is nothing. Tapi kalau mau realistis, bakal susah juga. Waktu empat tahun, pekerjaan, manajemen waktu yang amburandul ditambah perasaan “sok sibuk” (bagi yang merasa aktivis) senantiasa saling bekejar-kejaran di atas kepala.

Menurut saya sendiri, ada dua tipe mahasiswa yang mampu mempersembahkan karya berupa terobosan teknologi. Pertama, mahasiswa yang memang concern di bidang penelitian dan pengembangan Iptek. Umumnya mereka akan selalu berkibar di setiap event kompetisi teknologi. Biasanya nama mereka sering terpampang pada spanduk dengan untaian kalimat “Selamat atas bla bla bla”. Tipe kedua, mahasiswa yang Tugas Akhir-nya diharuskan membuat sebuah alat. Kalau tipe ini biasanya harus memaksakan diri untuk research karena jika tidak, fenomena klasik bakal diterima yakni kuliahnya dijamin molor.

Dan menjadi technopreneur adalah impian saya, ini kalimat singkatnya. Calon insinyur yang mampu mengaplikasikan ilmunya untuk memecahkan permasalahan manusia lewat jalur teknologi engineering. Enterpreneur bidang tekonolgi. Ya, di bidang teknologi karena setelah lulus bisa dipastikan kita akan menjadi seorang insinyur, bukan ekonom, akuntan, sosiolog apalagi seorang seksolog. Betul, betul, betul.

Ketika Insinyur Juga Berbisnis
Dalam kurikulum 2009/2014, ITS telah memasukkan technopreneur sebagai mata kuliah wajib untuk seluruh program pendidikan. Walaupun menggunakan kata technopreneur, namun kenyataan yang ada lebih cocok dengan kata entrepreneur. Wirausaha di segala bidang, tidak harus bidang teknologi. Tanpa tendensi apapun dan tanpa bermaksud menjustifikasi, ulasan ini hanya sependek yang saya ketahui.

Pernah ada jurusan yang mengadakan pameran kecil yang ditujukan sebagai tahap akhir mata kuliah technopreneurship. Di situ dipamerkan segala bentuk karya mahasiswa dengan beragam bentuk. Yang aneh, sebagian besar inovasi yang dipajang bukan inovasi teknologi namun bentuk makanan yang semakin unik-unik dan aneh-aneh. Usut punya usut, ternyata dari awal proposal bisnis yang biasanya menjadi tugas besar mata kuliah technopreneurship memang dibebaskan dalam memilih tema. Dan hal ini hampir terjadi di semua jurusan. Dimana-mana, makanan memang menggiurkan.

Apalagi ketika melihat kenyataan, jumlah PKM bidang Teknologi yang lolos seleksi DIKTI pasti paling sedikit di antara bidang lainnya. Pertanyaannya, Ada Apa Dengan Calon (AADC) Insinyur ITS?

Sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan kondisi tersebut. Toh, entrepreneur juga tidak memandang latar belakang pendidikan. Banyak entrepreneur muda justru menyeberang bidang keahliannya. Pendiri Facebook asalnya mahasiswa psikologi, Bill Gates awalnya adalah mahasiswa Hukum, juragan Kebab Turki dulunya mahasiswa informatika ITS, dll. Bahkan hampir semua pemenang Wirausaha Muda Mandiri (kompetisi para entrepreneur muda se-Indonesia) adalah para pelawan arus. Menekuni bidang yang berlawanan arah dengan latar belakang pendidikannya.

Namun sebagai orang yang paling dekat dengan sains, ada hal yang patut disayangkan. Masak kuliah empat tahun (Itu pun kalau tepat waktu), ilmu yang didapat harus berakhir di atas ijazah dan gelar Sarjana Teknik. Begitu banyak persamaan, teorema, aksioma dan rumus yang harus diterlantarkan. Apalagi jika mengingat perjuangan untuk lulus dari mata rantai mata kuliah “maut” seperti rancang bagun, gambar, membuat alat dan lain-lain. Bagi mahasiswa Arsitektur atau Teknik Sipil pasti menghayati sekali tugas besar mereka. Bersemedi di atas kertas A0 berhari-hari sampai tidak bisa dibedakan mana mata kaki, mana mata yang untuk melihat. Itu hanya untuk satu tugas. Dan semua akan ditinggal menjadi kenangan. Relakah?

Ada Banyak Peluang
Dalam urusan prestasi ilmiah, memang ada beberapa jurusan yang begitu menyilaukan, prestasi yang ditorehkan seakan gulungan ombak. Namun ada pula jurusan yang tidak pernah bergaung sama sekali. Hingga tak jarang mahasiswa ITS sendiri lupa diri, “Lho, emang ada jurusan XXX di ITS?”. Walaupun semua jurusan memiliki kekhasan ilmu yang didalami, pastinya tidak akan sama dengan jurusan lain.

Semua jurusan di kampus ini pasti ada mata kuliah aplikatif, entah berbentuk desain, membuat produk atau analisis eksperimental sesuai dengan spesifikasinya. Tak jarang dari karya-karya tersebut sangat revolusioner. Namun yang lebih banyak ditemukan ketika karya tersebut hanya berakhir sampai penilaian dari dosen, tidak ada follow up. Pernah ada karya mahasiswa yang menurut saya sangat spektakuler, berupa sistem navigasi pembalakan dan kebakaran hutan. Alatnya aplikatif, mudah dioperasikan dan biayanya pun tidak terlalu mahal. Namun ketika saya tanya tentang kelanjutan karyanya, mereka hanya tersenyum tipis. Saya paham maksudnya.

Namun ternyata masih ada segelintir mahasiswa yang sangat menghargai karya sains. Tidak puas dengan hanya menemukan produk/karya, mereka menguji karyanya diberbagai kompetisi keilmiahan. Sehingga tak jarang, mahasiswa model ini berhasil memboyong berbagai prestasi dengan modal satu karya. Bahkan ada yang sampai mendapatkan hibah jutaan rupiah plus hak paten. Ini yang namanya technopreneur.

Sinergi Beragam Ilmu
Terkadang jurusan itu seakan kotak penjara, mengukung saya dari ilmu yang sangat bertolak belakang dengan bidang ilmu yang saya tekuni. Dan hal itu kembali saya rasakan saat ada keinginan membuat karya tulis bertema bio ethanol. Sebenarnya sangat sederhana, semua referensi sudah ada di tangan. Dosen pembimbing yang ahli bidang ini pun banyak, bahkan ada profesor yang bersedia menjadi konsultan.

Namun sebagai orang mekanika, saya lebih mengerti urusan “makanan” engine yang minim gas buang. Tapi dalam hal pembuatan bahan bakarnya, hanya ada dalam teori otak. Pernah dalam kesempatan forum, ada dosen Biologi menjelaskan detail proses pembuatan bio ethanol dari bahan mentah sampai aplikasinya. Tiba-tiba muncul istilah esterifikasi. “Makanan apa pula ini?” pikir saya. Apa bedanya dengan bunga ester atau apakah ada hubungan saudara dengan Mbak Ester, tetangga saya?

Dari sini, saya tertarik untuk berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu. Mungkin mahasiswa Teknik Kimia/Kimia/Biologi yang berurusan dengan pembuatan bio ethanolnya. Sedangkan kami dari ilmu mekanika, bisa mencarikan inovasi pemakaiannya. Entah dibuat campuran bahan bakar mesin, dijadikan bahan bakar murni, membuat kompor ethanol atau bentuk lainnya. Karena ternyata, hal ini pula yang sering dilakukan para teknopreanur baik dari kalangan mahasiswa, dosen atau pun praktisi. Bersinergi dengan beragam disiplin Ilmu.

“Make your passion as your profession, all izz well,” Rancho 3 Idiots

Nur Huda
Mahasiswa Teknik Mesin 2007

Bisa dilihat juga di www.its.ac.id/ berita.php?nomer=7027

No comments:

Post a Comment